Guru di Era Milenial Antara Harapan dan Kenyataan
loading...
A
A
A
Dalam konteks guru, untuk menyiapkan generasi emas, siswa-siswi yang saat ini sedang berada pada jenjang SD, SMP, dan SMA, perlu betul-betul dibantu secara optimal agar mampu memiliki kompetensi sesuai jenjangnya. Misalnya, untuk jenjang sekolah dasar, siswa SD harus lancar membaca.
Jangan sampai terdapat siswa SD yang lulus, tetapi belum atau bahkan tidak lancar membaca. Jika masih ada lulusan SD yang belum bahkan tidak lancar membaca, hal ini miris dan perlu membangun kolaborasi berbagai pihak untuk menyelesaikannya.
Semboyan pendidikan yang dicetuskan K.H. Dewantara Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberikan teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun/merangsang kemauan), Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan/motivasi), (Samho, B., 2013: 87) perlu menjadi bahan internalisasi para guru bahwa peran guru sangat strategis.
Guru dituntut untuk menjadi teladan; teladan dalam tutur kata, sikap, dan perilaku. Guru dituntut untuk mampu membangun kemauaan agar siswa aktif melakukan suatu hal tanpa disuruh atau diperintah. Guru dituntut untuk selalu memberikan dorongan/motivasi terbaik kepada siswa.
Cara-cara konvensional seperti memelototi, membentak, memarahi, mencubit, bahkan memukuli siswa perlu segera ditinggalkan, karena zaman terus berubah. Pilihan menjadi guru yang memberikan teladan, membangun karsa (kemauan), dan memotivasi siswa patut diinternalisasi dan diimplementasikan hari demi hari.
Ke depannya guru harus mampu meningkatkan kualitasnya. Apalagi di era milenial ini perubahan paradigma dan derasnya arus informasi membuat anak didik lebih cerdas tiga kali hingga empat kali dibandingkan generasi baby boom di era tahun 70an, 80 an, atau 90an.
Kecerdasan psikomotorik itu muncul karena anak didik dapat dengan mudah mengakses informasi melalui teknologi informasi, mesin pencarian data dan media sosial.
Oleh karena itu guru perlu terus menerus memotivasi diri untuk mengembangkan kompetensi diri melalui beberapa cara. Salah satu contohnya guru harus mampu beradaptasi dengan teknologi. Memahami derasnya arus informasi yang tersebar melalui media sosial.
Sehingga guru mampu memahami cepatnya arus perubahan jaman, mampu memetakan kemampuan anak didik, membaca situasi dan perkembangan zaman, dan tidak tertinggal dalam membaca daya pikir anak didik.
Untuk hal ini, proses belajar mengajar tidak lagi dilakukan dengan pola lama yakni satu arah. Namun guru harus sudah menjadikan anak didik sebagai sahabat dalam belajar.
Jangan sampai terdapat siswa SD yang lulus, tetapi belum atau bahkan tidak lancar membaca. Jika masih ada lulusan SD yang belum bahkan tidak lancar membaca, hal ini miris dan perlu membangun kolaborasi berbagai pihak untuk menyelesaikannya.
Semboyan pendidikan yang dicetuskan K.H. Dewantara Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberikan teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun/merangsang kemauan), Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan/motivasi), (Samho, B., 2013: 87) perlu menjadi bahan internalisasi para guru bahwa peran guru sangat strategis.
Guru dituntut untuk menjadi teladan; teladan dalam tutur kata, sikap, dan perilaku. Guru dituntut untuk mampu membangun kemauaan agar siswa aktif melakukan suatu hal tanpa disuruh atau diperintah. Guru dituntut untuk selalu memberikan dorongan/motivasi terbaik kepada siswa.
Cara-cara konvensional seperti memelototi, membentak, memarahi, mencubit, bahkan memukuli siswa perlu segera ditinggalkan, karena zaman terus berubah. Pilihan menjadi guru yang memberikan teladan, membangun karsa (kemauan), dan memotivasi siswa patut diinternalisasi dan diimplementasikan hari demi hari.
Ke depannya guru harus mampu meningkatkan kualitasnya. Apalagi di era milenial ini perubahan paradigma dan derasnya arus informasi membuat anak didik lebih cerdas tiga kali hingga empat kali dibandingkan generasi baby boom di era tahun 70an, 80 an, atau 90an.
Kecerdasan psikomotorik itu muncul karena anak didik dapat dengan mudah mengakses informasi melalui teknologi informasi, mesin pencarian data dan media sosial.
Oleh karena itu guru perlu terus menerus memotivasi diri untuk mengembangkan kompetensi diri melalui beberapa cara. Salah satu contohnya guru harus mampu beradaptasi dengan teknologi. Memahami derasnya arus informasi yang tersebar melalui media sosial.
Sehingga guru mampu memahami cepatnya arus perubahan jaman, mampu memetakan kemampuan anak didik, membaca situasi dan perkembangan zaman, dan tidak tertinggal dalam membaca daya pikir anak didik.
Untuk hal ini, proses belajar mengajar tidak lagi dilakukan dengan pola lama yakni satu arah. Namun guru harus sudah menjadikan anak didik sebagai sahabat dalam belajar.