Ambang Batas Pencapresan Tidak Diperlukan, Ini Sejumlah Alasannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pentingnya penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) terus disuarakan sejumlah pihak. Alasannya, ambang batas yang berlaku saat ini menafikan kedaulatan rakyat.
Diketahui, dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".
Menurut peneliti senior yang juga pengamat politik Siti Zuhro, meskipun pemilihannya langsung, namun dengan adanya ambang batas pencalonan presiden dan wapres sebesar itu, sebetulnya rakyat di-fait accompli untuk memilih pilihan partai atau koalisi parpol.
"Ambang batas pilpres pada dasarnya tidak diperlukan karena membuat kompetisi tak berlangsung adil. Jadi kompetisi tidak berlangsung adil. Pasangan calon yang muncul kemungkinan hanya nama lama. Paslon yang muncul sangat terbatas, dua paslon saja," ujar Siti Zuhro dalam diskusi "Pilpres 2024 : Menyoal Presidential Threshold" yang tayang di YouTube Forum INSAN CITA, Minggu (14/11/2021) malam.
Selain itu, lanjut perempuan yang akrab disapa Wiwik ini, ambang batas pilpres tersebut juga menyulitkan kaum perempuan dalam mencalonkan diri sebagai presiden. "Jangan lupa, jumlah kaum perempuan saat ini sudah 49 persen, jadi tipis sekali, tipis sekali perbedaannya dengan laki-laki. Karena itu, memang seharusnya proporsional, memberikan peluang kepada perempuan untuk mencalonkan diri," katanya.
Dia melanjutkan, anak muda, figur parpol, tokoh daerah yangtidak terafiliasi parpol juga dirugikan dengan ambang batas pilpres tersebut. Dia pun mengingatkan, dua kali pilpres (2014 dan 2019) yang diikuti dua paslon menghasilkan polarisasi dan disharmoni sosial yang mengancam persatuan nasional.
"Ambang batas pilpres membuat fungsi representasi tidak efektif karena pasangan calon yang muncul berasal dari kubu tertentu saja. Sementara kita tahu, Indonesia ini Bhinneka Tunggal Ika, masyarakatnya majemuk," tegasnya.
Dia melanjutkan, sistem multipartai banyak dan masyarakat majemuk tak seharusnya hanya memunculkan dua paslon. "Mengapa ambang batas pilpres tidak dibutuhkan? Karena Indonesia butuh variasi paslon yang berkompetisi dalam pilpres. Dengan penduduk 270 juta lebih dan tantangan baru yang dihadapi negeri ini semakin kompleks, wajar kalau muncul beberapa pasangan calon yang bisa merepresentasikan aspirasi dan kepentingan pemilih yang majemuk," jelasnya.
Diketahui, dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".
Menurut peneliti senior yang juga pengamat politik Siti Zuhro, meskipun pemilihannya langsung, namun dengan adanya ambang batas pencalonan presiden dan wapres sebesar itu, sebetulnya rakyat di-fait accompli untuk memilih pilihan partai atau koalisi parpol.
"Ambang batas pilpres pada dasarnya tidak diperlukan karena membuat kompetisi tak berlangsung adil. Jadi kompetisi tidak berlangsung adil. Pasangan calon yang muncul kemungkinan hanya nama lama. Paslon yang muncul sangat terbatas, dua paslon saja," ujar Siti Zuhro dalam diskusi "Pilpres 2024 : Menyoal Presidential Threshold" yang tayang di YouTube Forum INSAN CITA, Minggu (14/11/2021) malam.
Selain itu, lanjut perempuan yang akrab disapa Wiwik ini, ambang batas pilpres tersebut juga menyulitkan kaum perempuan dalam mencalonkan diri sebagai presiden. "Jangan lupa, jumlah kaum perempuan saat ini sudah 49 persen, jadi tipis sekali, tipis sekali perbedaannya dengan laki-laki. Karena itu, memang seharusnya proporsional, memberikan peluang kepada perempuan untuk mencalonkan diri," katanya.
Dia melanjutkan, anak muda, figur parpol, tokoh daerah yangtidak terafiliasi parpol juga dirugikan dengan ambang batas pilpres tersebut. Dia pun mengingatkan, dua kali pilpres (2014 dan 2019) yang diikuti dua paslon menghasilkan polarisasi dan disharmoni sosial yang mengancam persatuan nasional.
Baca Juga
"Ambang batas pilpres membuat fungsi representasi tidak efektif karena pasangan calon yang muncul berasal dari kubu tertentu saja. Sementara kita tahu, Indonesia ini Bhinneka Tunggal Ika, masyarakatnya majemuk," tegasnya.
Dia melanjutkan, sistem multipartai banyak dan masyarakat majemuk tak seharusnya hanya memunculkan dua paslon. "Mengapa ambang batas pilpres tidak dibutuhkan? Karena Indonesia butuh variasi paslon yang berkompetisi dalam pilpres. Dengan penduduk 270 juta lebih dan tantangan baru yang dihadapi negeri ini semakin kompleks, wajar kalau muncul beberapa pasangan calon yang bisa merepresentasikan aspirasi dan kepentingan pemilih yang majemuk," jelasnya.
(zik)