Karya Trimatra Seniman Muda Salihara
loading...
A
A
A
Dalam salah satu karyanya juga, Andrita akan mentransfer suara-suara dan rupa yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Karya ini pengembangan dari gagasan sebelumnya berjudul “Mooi Indie”, pertanyaan atas keindahan lanskap tanah Jawa yang bisa jadi tak lagi sepenuhnya sebagaimana digambarkan dalam lukisan masa kolonial itu.
Andrita dalam karyanya mengambil sampel air dari Sungai Citarum dan Citarik, menemukan bahwa air sungai tersebut telah memiliki corak dari campuran fosfat (jingga), nitrat (kuning), kromium (hijau), dan zat kimia hasil limbah industri tekstil.
baca juga: Menparekraf Sandiaga Apresiasi Ajang Pameran Seni Siswa Difabel
Berikutnya, pada karya-karya Wildan Indra Sugara juga tak jauh dari upaya merekrut sampah-sampah industri yang, ditemukannya baik di Jerman maupun di Indonesia. Berbeda dengan Andrita yang mengolah materi sampah hingga pada bentuknya yang canggih, Wildan membiarkan saja sampah itu sebagaimana adanya. Sampah-sampah itu punya warna, punya riwayat, dan kelak akan mengalami proses kehancuran pada dirinya sendiri. Dengan itu, Wildan mengekstremkan gagasannya dengan langsung menghadirkan kekonkretan.
Dalam karyanya yang baru, Wildan tidak lagi hanya membuat duplikasi televisi dengan material cor semen, melainkan menghadirkan hebel, sejenis bata berwarna putih yang kini makin populer untuk pembuatan tembok rumah. Ia juga menggunakan obyek temuan dalam karya-karyanya seperti; kursi plastik, mesin printer bekas, dan lain sebagainya. Ia rupanya memprovokasi pengunjung lewat-benda temuan.
baca juga: SBY Unggah 5 Lukisan Terbaru, Salah Satunya Analogi Kondisi Demokrat Saat Ini
Sementara itu, Argya Dhyaksa dalam karyanya seperti mengatakan, bahwa tidak akan pernah ada yang sempurna. Hal ini bisa jadi bersangkut paut dengan pengalamannya sebagai seorang keramikus yang, senantiasa berdebar-debar; apakah keramik di dalam tungku itu akan berhasil, atau cacat dan rusak selama proses pembakaran. Keramikus muda ini dalam karya-karyanya menampilkan ketidaksempurnaan itu dalam tulisan plesetan yang diabadikan pada sebuah bentuk menyerupai prasasti.
Sebagai seorang seniman, dibanding dua temannya yang sangat serius dalam berkarya, Argya memiliki daya bermain-main yang kuat. Ia juga membuat keramik-keramik mungil yang dimasukkannya ke dalam botol. Lebih ekstrem lagi, ia menempatkan sebuah headphone di salah satu dinding yang, sebenarnya tidak ada isi suara apa-apa, kecuali kehadiran headphone itu sendiri.
baca juga: Hebat! SBY Telurkan 54 Lukisan Alam Indonesia
“Setelah melalui perjalanan panjangnya—sejak memenangi Kompetisi Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa muda ini memperlihatkan, bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi efek atau pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka,” tutup Asikin Hasan.
Andrita dalam karyanya mengambil sampel air dari Sungai Citarum dan Citarik, menemukan bahwa air sungai tersebut telah memiliki corak dari campuran fosfat (jingga), nitrat (kuning), kromium (hijau), dan zat kimia hasil limbah industri tekstil.
baca juga: Menparekraf Sandiaga Apresiasi Ajang Pameran Seni Siswa Difabel
Berikutnya, pada karya-karya Wildan Indra Sugara juga tak jauh dari upaya merekrut sampah-sampah industri yang, ditemukannya baik di Jerman maupun di Indonesia. Berbeda dengan Andrita yang mengolah materi sampah hingga pada bentuknya yang canggih, Wildan membiarkan saja sampah itu sebagaimana adanya. Sampah-sampah itu punya warna, punya riwayat, dan kelak akan mengalami proses kehancuran pada dirinya sendiri. Dengan itu, Wildan mengekstremkan gagasannya dengan langsung menghadirkan kekonkretan.
Dalam karyanya yang baru, Wildan tidak lagi hanya membuat duplikasi televisi dengan material cor semen, melainkan menghadirkan hebel, sejenis bata berwarna putih yang kini makin populer untuk pembuatan tembok rumah. Ia juga menggunakan obyek temuan dalam karya-karyanya seperti; kursi plastik, mesin printer bekas, dan lain sebagainya. Ia rupanya memprovokasi pengunjung lewat-benda temuan.
baca juga: SBY Unggah 5 Lukisan Terbaru, Salah Satunya Analogi Kondisi Demokrat Saat Ini
Sementara itu, Argya Dhyaksa dalam karyanya seperti mengatakan, bahwa tidak akan pernah ada yang sempurna. Hal ini bisa jadi bersangkut paut dengan pengalamannya sebagai seorang keramikus yang, senantiasa berdebar-debar; apakah keramik di dalam tungku itu akan berhasil, atau cacat dan rusak selama proses pembakaran. Keramikus muda ini dalam karya-karyanya menampilkan ketidaksempurnaan itu dalam tulisan plesetan yang diabadikan pada sebuah bentuk menyerupai prasasti.
Sebagai seorang seniman, dibanding dua temannya yang sangat serius dalam berkarya, Argya memiliki daya bermain-main yang kuat. Ia juga membuat keramik-keramik mungil yang dimasukkannya ke dalam botol. Lebih ekstrem lagi, ia menempatkan sebuah headphone di salah satu dinding yang, sebenarnya tidak ada isi suara apa-apa, kecuali kehadiran headphone itu sendiri.
baca juga: Hebat! SBY Telurkan 54 Lukisan Alam Indonesia
“Setelah melalui perjalanan panjangnya—sejak memenangi Kompetisi Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa muda ini memperlihatkan, bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi efek atau pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka,” tutup Asikin Hasan.