Karya Trimatra Seniman Muda Salihara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Karya tiga perupa pemenang Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019, yaitu Andrita Yuniza, Argya Dhyaksa, dan Wildan Indra Sugara, hadir di pameran seni rupa “Three for Plastic Heart”. Pameran yang berlangsung secara hibrid di Galeri Salihara, pada 29 Oktober-30 November 2021, ini hendak merespons fenomena terkini dunia seni rupa .
baca juga: Kembali Digelar, Pameran Seni Biennale Jogja XVI Disambut Positif
Kurator Seni Rupa Komunitas Salihara Asikin Hasan menyebut, ketiga perupa yang karyanya ditampilkan di pameran ini merupakan darah muda dunia seni rupa Indonesia. “Sebelumnya mereka memenangi Kompetisi Trimatra Salihara 2019, kompetisi yang melibatkan perupa usia di bawah 35 tahun, dan diselenggarakan setiap tiga tahun sekali. Dengan pameran ini kami ingin memotret karya-karya dan gagasan mereka, baik dari dekat maupun jauh, dalam rentang sekitar dua tahun terakhir,” ungkap Asikin Hasan.
Teknologi yang merasuk dalam keseharian adalah faktor utama yang membentuk cara pandang dan gagasan pada karya-karya seni rupa ketiga seniman muda ini, di mana teknologi hadir sebagai idiom dan medium sekaligus. Pertanyaan yang muncul ketika berhadapan dengan karya-karya semacam ini terkadang tidak lagi pada tataran rupa semata, melainkan bagaimana efek estetis dapat timbul dari kemajuan teknologi dan peradaban masa kini?
baca juga: Mengaktualisasikan Kembali Gagasan Seni Rupa Basuki Resobowo
Kepekaan rasa yang bertaut pada rupa dan bentuk tidak lagi menjadi satu-satunya aspek dalam karya-karya mereka. Kehangatan emosi yang biasanya membawa kita terharu, kini tergerus oleh soal-soal yang selama ini tidak kita anggap sebagai bagian dari seni itu sendiri. Obyek-obyek bahkan hadir dengan suasana dingin, sebagai implikasi dari gagasan dan konsep para perupa.
“Bahkan, para perupa berjarak dengan subyektivitas, berlaku layaknya seorang periset, dan menempatkan aspek kuantitatif yang berlawanan arah dengan produk seni sebelumnya. Mereka tertarik pada masalah lingkungan, pencemaran air, nasib planet bumi dan umat manusia,” tutur Asikin Hasan.
Setelah melalui perjalanan panjang—sejak memenangi Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa ini memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi pengaruh luas pada kelahiran karya-karya mereka. Hal ini segera bisa kita lihat pada karya-karya Andrita Yuniza, yang secara khusus punya perhatian terhadap masalah lingkungan.
baca juga: Peran dan Potensi Seni Rupa dalam Ekonomi Kreatif saat Pandemi
Dalam karya-karyanya pada sebuah kotak berlampu, Andrita menampilkan pelbagai sampah organik, yang telah mengalami transformasi bentuk simbol-simbol, dan yang lain dalam bentuk lembaran. Karya-karya tersebut tersebab oleh dirinya sendiri menghadirkan warna-warna yang menarik.
Dalam salah satu karyanya juga, Andrita akan mentransfer suara-suara dan rupa yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Karya ini pengembangan dari gagasan sebelumnya berjudul “Mooi Indie”, pertanyaan atas keindahan lanskap tanah Jawa yang bisa jadi tak lagi sepenuhnya sebagaimana digambarkan dalam lukisan masa kolonial itu.
Andrita dalam karyanya mengambil sampel air dari Sungai Citarum dan Citarik, menemukan bahwa air sungai tersebut telah memiliki corak dari campuran fosfat (jingga), nitrat (kuning), kromium (hijau), dan zat kimia hasil limbah industri tekstil.
baca juga: Menparekraf Sandiaga Apresiasi Ajang Pameran Seni Siswa Difabel
Berikutnya, pada karya-karya Wildan Indra Sugara juga tak jauh dari upaya merekrut sampah-sampah industri yang, ditemukannya baik di Jerman maupun di Indonesia. Berbeda dengan Andrita yang mengolah materi sampah hingga pada bentuknya yang canggih, Wildan membiarkan saja sampah itu sebagaimana adanya. Sampah-sampah itu punya warna, punya riwayat, dan kelak akan mengalami proses kehancuran pada dirinya sendiri. Dengan itu, Wildan mengekstremkan gagasannya dengan langsung menghadirkan kekonkretan.
Dalam karyanya yang baru, Wildan tidak lagi hanya membuat duplikasi televisi dengan material cor semen, melainkan menghadirkan hebel, sejenis bata berwarna putih yang kini makin populer untuk pembuatan tembok rumah. Ia juga menggunakan obyek temuan dalam karya-karyanya seperti; kursi plastik, mesin printer bekas, dan lain sebagainya. Ia rupanya memprovokasi pengunjung lewat-benda temuan.
baca juga: SBY Unggah 5 Lukisan Terbaru, Salah Satunya Analogi Kondisi Demokrat Saat Ini
Sementara itu, Argya Dhyaksa dalam karyanya seperti mengatakan, bahwa tidak akan pernah ada yang sempurna. Hal ini bisa jadi bersangkut paut dengan pengalamannya sebagai seorang keramikus yang, senantiasa berdebar-debar; apakah keramik di dalam tungku itu akan berhasil, atau cacat dan rusak selama proses pembakaran. Keramikus muda ini dalam karya-karyanya menampilkan ketidaksempurnaan itu dalam tulisan plesetan yang diabadikan pada sebuah bentuk menyerupai prasasti.
Sebagai seorang seniman, dibanding dua temannya yang sangat serius dalam berkarya, Argya memiliki daya bermain-main yang kuat. Ia juga membuat keramik-keramik mungil yang dimasukkannya ke dalam botol. Lebih ekstrem lagi, ia menempatkan sebuah headphone di salah satu dinding yang, sebenarnya tidak ada isi suara apa-apa, kecuali kehadiran headphone itu sendiri.
baca juga: Hebat! SBY Telurkan 54 Lukisan Alam Indonesia
“Setelah melalui perjalanan panjangnya—sejak memenangi Kompetisi Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa muda ini memperlihatkan, bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi efek atau pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka,” tutup Asikin Hasan.
Bagi penikmat seni yang hendak mengikuti pameran seni rupa ini atau mendapatkan informasi lebih jauh, silakan klik. Pengunjung juga dapat menghadiri pameran https://salihara.org secara langsung, mulai 30 Oktober - 30 November (Senin tutup), dengan melakukan registrasi di https://salihara.org/three-for-plastic-hearts/.
baca juga: Kembali Digelar, Pameran Seni Biennale Jogja XVI Disambut Positif
Kurator Seni Rupa Komunitas Salihara Asikin Hasan menyebut, ketiga perupa yang karyanya ditampilkan di pameran ini merupakan darah muda dunia seni rupa Indonesia. “Sebelumnya mereka memenangi Kompetisi Trimatra Salihara 2019, kompetisi yang melibatkan perupa usia di bawah 35 tahun, dan diselenggarakan setiap tiga tahun sekali. Dengan pameran ini kami ingin memotret karya-karya dan gagasan mereka, baik dari dekat maupun jauh, dalam rentang sekitar dua tahun terakhir,” ungkap Asikin Hasan.
Teknologi yang merasuk dalam keseharian adalah faktor utama yang membentuk cara pandang dan gagasan pada karya-karya seni rupa ketiga seniman muda ini, di mana teknologi hadir sebagai idiom dan medium sekaligus. Pertanyaan yang muncul ketika berhadapan dengan karya-karya semacam ini terkadang tidak lagi pada tataran rupa semata, melainkan bagaimana efek estetis dapat timbul dari kemajuan teknologi dan peradaban masa kini?
baca juga: Mengaktualisasikan Kembali Gagasan Seni Rupa Basuki Resobowo
Kepekaan rasa yang bertaut pada rupa dan bentuk tidak lagi menjadi satu-satunya aspek dalam karya-karya mereka. Kehangatan emosi yang biasanya membawa kita terharu, kini tergerus oleh soal-soal yang selama ini tidak kita anggap sebagai bagian dari seni itu sendiri. Obyek-obyek bahkan hadir dengan suasana dingin, sebagai implikasi dari gagasan dan konsep para perupa.
“Bahkan, para perupa berjarak dengan subyektivitas, berlaku layaknya seorang periset, dan menempatkan aspek kuantitatif yang berlawanan arah dengan produk seni sebelumnya. Mereka tertarik pada masalah lingkungan, pencemaran air, nasib planet bumi dan umat manusia,” tutur Asikin Hasan.
Setelah melalui perjalanan panjang—sejak memenangi Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa ini memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi pengaruh luas pada kelahiran karya-karya mereka. Hal ini segera bisa kita lihat pada karya-karya Andrita Yuniza, yang secara khusus punya perhatian terhadap masalah lingkungan.
baca juga: Peran dan Potensi Seni Rupa dalam Ekonomi Kreatif saat Pandemi
Dalam karya-karyanya pada sebuah kotak berlampu, Andrita menampilkan pelbagai sampah organik, yang telah mengalami transformasi bentuk simbol-simbol, dan yang lain dalam bentuk lembaran. Karya-karya tersebut tersebab oleh dirinya sendiri menghadirkan warna-warna yang menarik.
Dalam salah satu karyanya juga, Andrita akan mentransfer suara-suara dan rupa yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Karya ini pengembangan dari gagasan sebelumnya berjudul “Mooi Indie”, pertanyaan atas keindahan lanskap tanah Jawa yang bisa jadi tak lagi sepenuhnya sebagaimana digambarkan dalam lukisan masa kolonial itu.
Andrita dalam karyanya mengambil sampel air dari Sungai Citarum dan Citarik, menemukan bahwa air sungai tersebut telah memiliki corak dari campuran fosfat (jingga), nitrat (kuning), kromium (hijau), dan zat kimia hasil limbah industri tekstil.
baca juga: Menparekraf Sandiaga Apresiasi Ajang Pameran Seni Siswa Difabel
Berikutnya, pada karya-karya Wildan Indra Sugara juga tak jauh dari upaya merekrut sampah-sampah industri yang, ditemukannya baik di Jerman maupun di Indonesia. Berbeda dengan Andrita yang mengolah materi sampah hingga pada bentuknya yang canggih, Wildan membiarkan saja sampah itu sebagaimana adanya. Sampah-sampah itu punya warna, punya riwayat, dan kelak akan mengalami proses kehancuran pada dirinya sendiri. Dengan itu, Wildan mengekstremkan gagasannya dengan langsung menghadirkan kekonkretan.
Dalam karyanya yang baru, Wildan tidak lagi hanya membuat duplikasi televisi dengan material cor semen, melainkan menghadirkan hebel, sejenis bata berwarna putih yang kini makin populer untuk pembuatan tembok rumah. Ia juga menggunakan obyek temuan dalam karya-karyanya seperti; kursi plastik, mesin printer bekas, dan lain sebagainya. Ia rupanya memprovokasi pengunjung lewat-benda temuan.
baca juga: SBY Unggah 5 Lukisan Terbaru, Salah Satunya Analogi Kondisi Demokrat Saat Ini
Sementara itu, Argya Dhyaksa dalam karyanya seperti mengatakan, bahwa tidak akan pernah ada yang sempurna. Hal ini bisa jadi bersangkut paut dengan pengalamannya sebagai seorang keramikus yang, senantiasa berdebar-debar; apakah keramik di dalam tungku itu akan berhasil, atau cacat dan rusak selama proses pembakaran. Keramikus muda ini dalam karya-karyanya menampilkan ketidaksempurnaan itu dalam tulisan plesetan yang diabadikan pada sebuah bentuk menyerupai prasasti.
Sebagai seorang seniman, dibanding dua temannya yang sangat serius dalam berkarya, Argya memiliki daya bermain-main yang kuat. Ia juga membuat keramik-keramik mungil yang dimasukkannya ke dalam botol. Lebih ekstrem lagi, ia menempatkan sebuah headphone di salah satu dinding yang, sebenarnya tidak ada isi suara apa-apa, kecuali kehadiran headphone itu sendiri.
baca juga: Hebat! SBY Telurkan 54 Lukisan Alam Indonesia
“Setelah melalui perjalanan panjangnya—sejak memenangi Kompetisi Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa muda ini memperlihatkan, bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi efek atau pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka,” tutup Asikin Hasan.
Bagi penikmat seni yang hendak mengikuti pameran seni rupa ini atau mendapatkan informasi lebih jauh, silakan klik. Pengunjung juga dapat menghadiri pameran https://salihara.org secara langsung, mulai 30 Oktober - 30 November (Senin tutup), dengan melakukan registrasi di https://salihara.org/three-for-plastic-hearts/.
(ymn)