Kemenag Hadiah untuk NU

Kamis, 28 Oktober 2021 - 09:14 WIB
loading...
Kemenag “Hadiah” untuk NU
Wakil Sekretaris LP Ma’arif NU PBNU Yanto Bashri. Foto/Dok Pribadi
A A A
Yanto Bashri
Wakil Sekretaris LP Ma’arif NU PBNU

JUDUL
tulisan ini dipinjam dari sambutan Gus Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang disampaikan pada peringatan Hari Santri 2021 yang diselenggarakan oleh RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah). Sambutan tersebut menyebutkan bahwa Kementerian Agama merupakan hadiah yang diberikan pemerintah kepada Nahdlatul Ulama (NU).

Kehadiran Gus Menteri menarik perhatian santri meski sebelumnya telah hadir dalam kegiatan sama yang diselenggarakan Kemenag. Seperti tergambar dalam sambutannya bahwa NU merupakan organisasi besar yang memiliki kontribusi terhadap pendirian dan tegaknya bangsa ini.

Misalnya disebutkan bahwa NU memiliki banyak jamaah, besar badannya. Orang besar cenderung melindungi yang lemah, yang kecil. Ini sifat NU, melindungi yang kecil.

Masyarakat kita memiliki ragam pilihan untuk berpatisipasi dalam politik, misalnya pada zaman Orde Lama ada PNI (Partai Nasional Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), NU, Masyumi, PSI (Partai Sosialis Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Partai Katolik, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), dan lainnya. Di tingkat pelajar ada HMI, PII, PMII, IMM, dan lainnya.

Di era moderan, sejak pemerintahan Soeharto, partisipasi politik masyarakat terwadahi dalam tiga politik yaitu PDI, PPP, dan Golkar. Bahkan, memasuki era reformasi, partisipasi politik menjadi sangat beragam sejak munculnya partai politik baru seperti PAN, PKB, PBB, PKS, PDI-P, PD (Partai Demokrat), dan lainnya.

Meski telah menjadi fenomena baru masyarakat Indonesia, partisipasi politik masyarakat nyatanya belum tersalurkan melalui partai-partai yang ada. Akibatnya, kita saksikan pada pemilu 2019, partai-partai politik baru juga lahir yang memperkuat nilai politik.

Di tengah dinamika kebangsaan, partisipasi dapat dimaknai sebagai simbol tingkat cinta tanah air (nasionalisme). Politik memang memiliki daya tarik cukup penting, tidak hanya bagi kaum nasionalis dan modernis, tetapi juga bagi kaum tradisional, pemimpin agama, dan organisasi buruh.

James J Fox (2004) menggambarkan, sebagai organisasi terbesar –tidak kurang 40 juta angota—sejarah NU adalah sejarah elite-elite pesantren dalam kubangan bola bumi yang turut menentukan arah politik dan wajah Indonesia.

Seperti disampaikan Gus Menteri dalam sambutannya, salah satu peran NU dalam sejarah kebangsaan tampak dalam hal berikut. Pertama, penerimaan Pancasila. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara mendorong Muslim santri dan nasionalis sekuler untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.

Dalam hal ini, karisma Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim memainkan peran penting dalam mengatasi ancaman persatuan nasional ketika tujuh kata masuk dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter).

Kedua, sistem parlementer. Sejak 1950-an ketika Presiden Soekarno menerapkan sistem parlementer telah membuka kesempatan pada organisasi-organisasi anti-kolonial bermetaformosa menjadi partai politik.

Ada Partai Nasional Indonesia (PNI) dipimpin Seokarno dan Hatta, Masyumi kembali dibentuk sebagai partai Muslim Modern dipimpin Mohammad Natsir, Muslim tradisional (NU) dipimpin oleh KH Idham Chalid, dan lainnya.

Ketiga, lepasnya NU dari Masyumi. Selama NU tergabung dalam Partai Masyumi sepanjang 1945-1951, keberadaannya hanya ditempatkan sebagai pelengkap. Partai gabungan dari berbagai ideologi Islam tersebut tidaklah proporsional menempatkan NU dibandingkan kelompok ideologi keagamaan lainnya sehingga Muktamar di Palembang pada 26 April-1 Mei 1952 NU melepaskan diri. Pernyataan ini dibacakan langsung oleh KH Wahab Chasbullah.

Kita melihat NU telah menjadi sumber kekuatan pembaruan baik dalam khazanah politik nasional untuk menjaga keseimbangan dan pemelihara keberagaman maupun khazanah keilmuan yang melahirkan peradaban baru keberagamaan Indonesia. NU tampil jauh dari kesan pejoratif tradisionalistik yang mengejutkan banyak kalangan, dan sebaliknya sebagai organisasi keagamaan yang jadi sumber kekuatan politik.

Fenomena demikian, seperti digambarkan Kees van Dijk dalam Islamic Political Parties and Socio-Relegious Organisations, NU jadi aktor utama untuk menanamkan agama dalam Undang-undang nasional dan regional dan dalam masyarakat. NU bertindak baik sebagai motor (penggerak) maupun rem (brake).

NU didirikan pada 1926 oleh kiai yang berbasis di pesantren, dengan tujuan menjaga dan mempromosikan Islam tradisional seperti terkandung dalam empat mazhab Sunni ortodoks dan ditetapkan sebagai tradisi. Teks-teks yang dipelajari di pesantren adalah kitab kuning yang ditolak oleh Muslim reformis dan modernis. Ia tumbuh menjadi kelompok besar yang mewakili lingkungan pesantren yang disatukan oleh karisma “kiai khos” dan diikat oleh rumitnya ikatan patronase antara guru dan murid.

Martin van Bruinessen (1990) menjelaskan bahwa partisipasi NU dalam politik parlemen di masa lalu membawanya memperoleh banyak penghargaan (reward). Salah satu hadiah yang diberikan Presiden Soekarno adalah Kementerian Agama untuk dipimpin oleh tokoh-tokoh NU terkemuka.

Partisipasi politik NU di masa lalu bukan hanya dukungan terhadap Presiden Soekarno selama periode Demokrasi Terpimpin, tetapi juga karena komitmennya terhadap Pancasila dan UUD 1945 bersama Presiden Soekarno dan kelompok kebangsaan lainnya.

Dalam dokumen rahasia (not for publication) pada 1953 digambarkan, komitmen inilah yang memicu pertentangan dalam tubuh Islam antara kelompok pendukung dasar negara Pancasila dan Negara Islam (Islamic state) atau bahasa lain hukum Islam (Islamic law) dan hukum adat (local customary law). Untungnya perbedaan ini dapat diselesaikan dengan Pancasila dan UUD 1945.
(mpw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1924 seconds (0.1#10.140)