Gelar Pilkada di Masa Pandemi, KPU Tantang Risiko
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kesepakatan pemerintah dan DPR untuk melaksanakan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember dinilai mengundang banyak risiko. Masalah ketersediaan anggaran termasuk yang paling krusial. Selain itu, partisipasi pemilih diperkirakan rendah karena masyarakat waswas datang ke tempat pemungutan suara akibat ada pandemi Covid-19. Kondisi ini terutama terjadi di daerah yang masuk kategori zona merah seperti Jawa Timur.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya mengusulkan anggaran Rp535 miliar untuk pengadaan alat pelindung diri petugas dan logistik tambahan demi memenuhi protokol kesehatan. Di tengah mepetnya waktu yang tersisa, pencairan anggaran ini dinilai masih menjadi tanda tanya.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyangsikan anggaran akan siap tepat waktu. Masalahnya, DPR, pemerintah, dan KPU baru membahas penambahan anggaran melalui rapat kerja kemarin. Artinya, hanya ada waktu 12 hari untuk pemerintah mencairkan anggaran agar KPU bisa segera mempersiapkan segala kebutuhan pilkada sebelum tahapan dimulai pada pertengahan Juni mendatang. KPU pun masih harus berjibaku untuk menyiapkan tahapan, personel, dan pengadaan barang dan jasa yang menyesuaikan dengan protokol kesehatan. “Ini unik karena kita berhadapan dengan tahapan pilkada yang sudah di depan mata,” ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, dalam diskusi bertajuk “Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi: Kedaulatan Rakyat atau Keselamatan Rakyat?” yang digelar kemarin. (Baca: Serba Mepet, Pilkada Serentak 2020 Dianggap Tak Siap Dilaksanakan)
Menurut Titi, setidaknya ada empat hal yang harus siap dan menjadi prasayarat terselenggaranya pilkada yang baik. Selain anggaran, tiga lainnya yakni regulasi, kesiapan penyelenggara pilkada, dan pemilih. “Dari sisi regulasi sejauh ini belum ada beleid yang mengatur pilkada di tengah pandemi Covid -19. Sementara tahapan akan dimulai pada 15 Juni 2020,” ujarnya.
KPU juga diprediksi akan menghadapi tantangan pada saat awal harus menjalankan tahapan pilkada. Pada 15 Juni nanti KPU daerah harus melakukan verifikasi faktual untuk syarat calon perorangan dan pencocokan dan penelitian daftar pemilih. Pendataan di lapangan diperkirakan akan menemui hambatan karena banyak warga yang kemungkinan menolak pertemuan tatap muka. Kegiatan tatap muka juga berisiko bagi petugas KPU di lapangan sehingga pendataan pemilih bisa tidak optimal.
Di satu sisi, pilkada dianggap sebagai simbol kedaulatan rakyat, maka harus tetap dilaksanakan. Di sisi lain, perlu ada perlindungan terhadap keselamatan masyarakat di tengah ancaman virus korona. “Kita tidak harus memilih. Kita tidak perlu membenturkan antara kedaulatan dan keselamatan rakyat. Itu instrumen atas pemenuhan HAM. Yang harus dilakukan adalah menyinkronkan keduanya,” ujar Titi.
Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Darah (DPD) Abdul Kholik mengatakan, di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus menyebar di berbagai daerah, putusan menggelar pilkada pada 9 Desember 2020 berisiko tinggi menjadi sarana penyebaran wabah. "Banyak daerah masih dalam status tanggap darurat bencana dan jumlah kasus positif Covid-19 masih terus meningkat. Sulit diterima apabila dalam kondisi seperti itu dibuka kembali tahapan pilkada," ujar Kholik kemarin.
Menurut Kholik, sejumlah tahapan pilkada seperti penyusunan daftar pemilih mengharuskan adanya pertemuan langsung dengan cara mendatangi rumah untuk pencocokan dan penelitian data pemilih. "Jika hal ini dilakukan, dipastikan risiko penyebaran virus meningkat. Baik bagi PPDP (petugas pemutakhiran data pemilih) maupun pemilih terancam tertular atau menularkan," urainya. (Baca juga: Anggaran Pilkada Sebaiknya Dialihkan untuk Penanganan Covid-19)
Tahapan yang juga dinilai riskan adalah pengecekan dukungan calon independen yang juga menggunakan model sensus dan petugas harus mengecek keabsahan dukungan langsung ke rumah warga. Merujuk jadwal pilkada yang dikeluarkan KPU, tutur Kholik, kedua tahapan ini berjalan di masa awal sekitar Juni-Juli, di mana kondisi pandemi masih berlangsung
Menurut Kholik, KPU sebagai penanggung jawab pilkada semestinya memastikan dulu tata cara pilkada di era pandemi. Baru bicara tahapan pilkada. Namun, yang terjadi sebaliknya, KPU menyiapkan tahapan pilkada sementara peraturan KPU tentang teknis pilkada di era pandemi belum disiapkan. "Jika tetap dipaksakan, risiko ada pada penyelenggara pilkada di tingkat daerah. Mereka menjadi ujung tombak sementara KPU Pusat hanya meregulasi dan menyupervisi. Jangan sampai terulang, banyak korban terjadi di tingkat penyelenggara terbawah seperti Pemilu 2019," tuturnya. (Kiswondari/Abdul Rochim)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya mengusulkan anggaran Rp535 miliar untuk pengadaan alat pelindung diri petugas dan logistik tambahan demi memenuhi protokol kesehatan. Di tengah mepetnya waktu yang tersisa, pencairan anggaran ini dinilai masih menjadi tanda tanya.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyangsikan anggaran akan siap tepat waktu. Masalahnya, DPR, pemerintah, dan KPU baru membahas penambahan anggaran melalui rapat kerja kemarin. Artinya, hanya ada waktu 12 hari untuk pemerintah mencairkan anggaran agar KPU bisa segera mempersiapkan segala kebutuhan pilkada sebelum tahapan dimulai pada pertengahan Juni mendatang. KPU pun masih harus berjibaku untuk menyiapkan tahapan, personel, dan pengadaan barang dan jasa yang menyesuaikan dengan protokol kesehatan. “Ini unik karena kita berhadapan dengan tahapan pilkada yang sudah di depan mata,” ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, dalam diskusi bertajuk “Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi: Kedaulatan Rakyat atau Keselamatan Rakyat?” yang digelar kemarin. (Baca: Serba Mepet, Pilkada Serentak 2020 Dianggap Tak Siap Dilaksanakan)
Menurut Titi, setidaknya ada empat hal yang harus siap dan menjadi prasayarat terselenggaranya pilkada yang baik. Selain anggaran, tiga lainnya yakni regulasi, kesiapan penyelenggara pilkada, dan pemilih. “Dari sisi regulasi sejauh ini belum ada beleid yang mengatur pilkada di tengah pandemi Covid -19. Sementara tahapan akan dimulai pada 15 Juni 2020,” ujarnya.
KPU juga diprediksi akan menghadapi tantangan pada saat awal harus menjalankan tahapan pilkada. Pada 15 Juni nanti KPU daerah harus melakukan verifikasi faktual untuk syarat calon perorangan dan pencocokan dan penelitian daftar pemilih. Pendataan di lapangan diperkirakan akan menemui hambatan karena banyak warga yang kemungkinan menolak pertemuan tatap muka. Kegiatan tatap muka juga berisiko bagi petugas KPU di lapangan sehingga pendataan pemilih bisa tidak optimal.
Di satu sisi, pilkada dianggap sebagai simbol kedaulatan rakyat, maka harus tetap dilaksanakan. Di sisi lain, perlu ada perlindungan terhadap keselamatan masyarakat di tengah ancaman virus korona. “Kita tidak harus memilih. Kita tidak perlu membenturkan antara kedaulatan dan keselamatan rakyat. Itu instrumen atas pemenuhan HAM. Yang harus dilakukan adalah menyinkronkan keduanya,” ujar Titi.
Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Darah (DPD) Abdul Kholik mengatakan, di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus menyebar di berbagai daerah, putusan menggelar pilkada pada 9 Desember 2020 berisiko tinggi menjadi sarana penyebaran wabah. "Banyak daerah masih dalam status tanggap darurat bencana dan jumlah kasus positif Covid-19 masih terus meningkat. Sulit diterima apabila dalam kondisi seperti itu dibuka kembali tahapan pilkada," ujar Kholik kemarin.
Menurut Kholik, sejumlah tahapan pilkada seperti penyusunan daftar pemilih mengharuskan adanya pertemuan langsung dengan cara mendatangi rumah untuk pencocokan dan penelitian data pemilih. "Jika hal ini dilakukan, dipastikan risiko penyebaran virus meningkat. Baik bagi PPDP (petugas pemutakhiran data pemilih) maupun pemilih terancam tertular atau menularkan," urainya. (Baca juga: Anggaran Pilkada Sebaiknya Dialihkan untuk Penanganan Covid-19)
Tahapan yang juga dinilai riskan adalah pengecekan dukungan calon independen yang juga menggunakan model sensus dan petugas harus mengecek keabsahan dukungan langsung ke rumah warga. Merujuk jadwal pilkada yang dikeluarkan KPU, tutur Kholik, kedua tahapan ini berjalan di masa awal sekitar Juni-Juli, di mana kondisi pandemi masih berlangsung
Menurut Kholik, KPU sebagai penanggung jawab pilkada semestinya memastikan dulu tata cara pilkada di era pandemi. Baru bicara tahapan pilkada. Namun, yang terjadi sebaliknya, KPU menyiapkan tahapan pilkada sementara peraturan KPU tentang teknis pilkada di era pandemi belum disiapkan. "Jika tetap dipaksakan, risiko ada pada penyelenggara pilkada di tingkat daerah. Mereka menjadi ujung tombak sementara KPU Pusat hanya meregulasi dan menyupervisi. Jangan sampai terulang, banyak korban terjadi di tingkat penyelenggara terbawah seperti Pemilu 2019," tuturnya. (Kiswondari/Abdul Rochim)
(ysw)