Masalah Baru Pandemi, Gizi Buruk-Stunting Terancam Melonjak

Kamis, 04 Juni 2020 - 09:20 WIB
loading...
Masalah Baru Pandemi, Gizi Buruk-Stunting Terancam Melonjak
Ilustrasi, seorang bayi mendapatkan imunisasi di posyandu. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 tidak hanya membawa dampak buruk pada aspek kesehatan dan perekonomian bangsa Indonesia. Ancaman serius lain yang tidak kalah membahayakan untuk jangka panjang adalah menurunnya kualitas sumber daya manusia akibat banyaknya anak yang mengalami kurang gizi.

Akibat, pandemi Covid-19, banyak keluarga Indonesia yang tidak mampu memenuhi kecukupan gizi keluarga. Akibatnya angka anak yang mengalami kekurangan gizi dan stunting diperkirakan meningkat di tahun-tahun mendatang. Stunting adalah kondisi anak gagal tumbuh optimal yang antara lain disebabkan gizi buruk.

Demi menghindari melonjaknya angka anak yang kekurangan gizi dan mengalami stunting, diperlukan strategi berupa pedoman pelayanan gizi oleh Kementerian Kesehatan. (Baca: Divonis Bersalah karena Blokir Internet Papua, Ini Respons Pemerintah)

Pakar nutrisi The United Nations Children's Fund (UNICEF) Indonesia, Sri Sukotjo mengungkapkan, status gizi bagi anak Indonesia memang belum optimal. Sri mengatakan sebelum pandemi angka stunting di Indonesia sebanyak 7 juta balita. Sementara anak yang mengalami kekurangan gizi sebanyak 2 juta balita.

“Jadi satu dari tiga anak Indonesia atau sekitar 7 juta balita Indonesia mengalami stunting. Kemudian wasting (kekurangan gizi pada anak) itu sekitar 2 juta balita. Jadi memang status gizi kita belum optimal,” kata Sri di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta, kemarin.

Sri pun mengatakan saat ini UNICEF membantu Kemenkes untuk menstabilkan angka-angka tersebut dengan membuat pedoman pelayanan gizi di masa pandemi serta pada masa new normal yang akan segera diberlakukan.

“UNICEF saat ini membantu Kemenkes, bagaimana memastikan anak-anak di daerah itu bisa mendapatkan haknya untuk mendapatkan gizi yang terbaik,” kata Sri.

Pedoman kesehatan yang dimaksud di antaranya memberikan bantuan teknis pada bidan desa di daerah, misalnya saat akan memberikan layanan langsung ke masyarakat. Sebelum pandemi konseling secara langsung dilakukan, namun kini bisa konseling bisa secara virtual.

“Kalau misalnya sebelumnya pakai toa atau surat edaran, sekarang kita pakai WhatsApp. Jadi kita bisa memberikan konseling secara virtual. tapi kalau sudah ada Parah baru kita melakukan kunjungan,” jelas Sri.

Pada Oktober 2019 lalu, Kemenkes mengumumkan angka stunting di Indonesia sebesar 27,67%. Angka itu berdasarkan Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI). Adapun hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi stunting sebesar 30,8%. Dibandingkan dengan hasil SSGBI angka stunting berhasil ditekan 3,1% dalam setahun terakhir. Kemenkes berharap angka stunting dapat terus turun 3% setiap tahun, sehingga target 19% pada tahun 2024 dapat tercapai. (Baca juga: Jangan Jadikan Anak Kami Percobaan)

Guru besar bidang panganteknologi hasil pertanian Unika Santo Thomas Medan, Sumatera Utara Posman Sibuea mengatakan, bayi kurang gizi dan stunting adalah ancaman yang nyata akibat pandemi. Ada dua hal yang menjadi penyebab. Pertama, banyak keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi karena kehilangan pekerjaan. Kedua, banyak masyarakat yang mampu secara ekonomi namun tidak bisa mengonsumsi makanan bergizi akibat terputusnya distribusi makanan. Ini imbas dari pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disejumlah daerah. Akibatnya, distribusi bahan pangan ke pasar lalu ke rumah tangga terhambat.

“Sejak 2018 satu dari tiga balita ada dalam angka stunting, mendekati angka 30%. Dengan kondisi konsumi bahan pangan yang mengalami gangguan karena darurat pangan di masa PSBB, jumlah stunting bisa meningkat,” ujarnya saat dihubungi kemarin. (Baca juga: PKS Tolak Sekolah Dibuka Saat Corona: Itu Sama Saja Pertaruhkan Nyawa)

Dia meminta pemerintah kota dan kabupaten bisa menjamin pasokan bahan pangan ketingkat rumah tangga terjamin. Hanya dengan itu balita bisa mendapatkan makanan yang beragam, bergizi, seimbang danaman (B2SA).

Untuk mengatasi kesulitan akibat terhambatnya distribusi makanan di masa PSBB, Pos-man mengusulkan agar pemerintah daerah menggalakkan pangan lokal. “Saatnya mengonsumsi pangan lokal, ini sekalian membantu ekonomi kerakyatan bisa berjalan,” ujarnya. (Lihat Videonya: Penumpulan Penumpang Saat Jam Pulang Kerja di Stasiun Gindangdia)

Di sisi lain, Kementerian Kesehatan juga perlu berkoordinasi dengan ahli pangan dan gizi soal apa saja yang bisa direkomendasikan tentang perbaikan konsumi bahan makanan masyarakat. Menurutnya, masyarakat perlu mendapatkan asupan penting mineral, yodium, protein, dan vitamin A. (Binti Mufarida/Bakti)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1718 seconds (0.1#10.140)