Kartu Kredit dan Penjara Keuangan

Kamis, 04 Juni 2020 - 05:16 WIB
loading...
A A A
Dalam penelitian Bernthal tersebut ditemukan hanya sedikit yang mampu keluar dari jebakan penjara utang itu, yaitu ketika per bulan hanya mampu membayar minimal pembayaran atau lebih sedikit dari pembayaran minimal.

Pada akhirnya, masyarakat akan bekerja hanya untuk membayar cicilan bunga saja. Dalam banyak kasus, dibutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya mereka bisa membayar lunas tagihan mereka.

Tentu akan ada sanggahan, ah itu kan tergantung manusianya, kalau mereka bisa mengendalikan diri dengan baik, maka mereka tidak akan terjebak dalam jebakan penjara utang tersebut. Ternyata tidak sesederhana itu. Dengan adanya pasar
terbuka, yaitu konsumen dengan mudah bisa melakukan pembelian, apalagi dengan banyaknya platform belanja berbasis daring dan telepon pintar, maka belanja hanya memerlukan beberapa kali klik dan dalam waktu tidak lama barang yang diinginkan akan sampai ke rumah kita.

Bernthal menjelaskan adanya empat hal utama kenapa konsumen sampai terjebak pada penjara utang kartu kredit. Pertama, tentang adanya budaya konsumtif sebagai akibat adanya kartu kredit. Begitu banyaknya platform belanja berbasis daring ataupun gerai yang menerima pembayaran dengan kartu kredit sehingga konsumen tidak perlu membayar dengan uang telah menyebabkan pergeseran perilaku membeli masyarakat.

Sebagai contoh, seorang pria yang mengajak berkenalan seorang wanita dan makan di restoran berkelas akan merasa malu jika pada saat pembayaran nanti harus membayar dengan uang tunai karena akan dianggap kuno dan ketinggalan zaman serta tidak praktis.

Demikian juga jika belanja di supermarket dan harus membayar dengan segepok uang tunai, selain tidak aman juga tidak praktis. Budaya inilah akhirnya mendorong seseorang menjadi konsumtif, karena semuanya tinggal gesek dan urusan membayar dipikir belakangan.

Kedua, adanya praktik jor-joran diskon yang juga berkaitan dengan poin pertama di atas. Sudah jamak terjadi bahwa promosi dan diskon akan lebih besar jika pembayaran dengan kartu kredit. Cobalah cek resto atau kedai kopi yang selalu menawarkan diskon besar sampai 50% bahkan lebih menggunakan kartu kredit tertentu.

Praktik ini ternyata telah mendorong konsumen menjadi konsumtif. Konsumen yang seharusnya tidak membutuhkan barang tersebut atau sebetulnya “belum kelasnya” karena terdorong oleh diskon yang besar akhirnya berani membeli. Apa
akibatnya? Tentu akhirnya hanya bisa membayar pembayaran minimalnya dan terjebak dalam penjara utang.

Ketiga, adanya budaya memberi ke orang lain atau memberi ke diri sendiri. Budaya ini sebenarnya positif telah mendorong terjadinya konsumsi berlebihan. Misalnya, memberi hadiah kepada teman yang ulang tahun, hadiah untuk tetangga yang baru saja melahirkan, bahkan memberi hadiah kepada diri sendiri, misalnya ketika sudah selesai mengerjakan sesuatu,
entah itu secangkir kopi atau jalan-jalan ke luar negeri telah mendorong terjadinya konsumsi, dan jika sedang tidak punya dana cadangan, maka kartu kredit seakan menjadi solusi.

Kebanyakan dari mereka tidak sadar jika ini terus berulang, maka penjara utang telah menanti. Keempat, paling parah adalah budaya gali utang tutup utang. Tidak jarang, seseorang memiliki banyak kartu kredit dan menggunakan fasilitas tarik tunai dari salah satu kartu kreditnya untuk membayar tagihan kartu kredit lainnya. Celakanya, dalam laporan bank, jika masih lancar membayar tagihan minimal, maka debitur tetap dianggap lancar kualitas kreditnya dan tidak masuk daftar hitam di catatan Bank Indonesia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1750 seconds (0.1#10.140)