Kartu Kredit dan Penjara Keuangan

Kamis, 04 Juni 2020 - 05:16 WIB
loading...
Kartu Kredit dan Penjara Keuangan
Prof DR Jony Oktavian Haryanto, Rektor President University, Profesor Manajemen. Foto: Ist
A A A
Prof DR Jony Oktavian Haryanto

Rektor President University, Profesor Manajemen

BERITA baik datang dari Bank Indonesia (BI) yang menurunkan suku bunga kartu kredit dari 2,5% menjadi 2% per bulan berlaku mulai 1 Mei 2020.

Selain itu, BI juga menurunkan minimum pembayaran tagihan kartu kredit dari 10% turun menjadi 5%. Alasan penurunan ini menurut Gubernur BI Perry Warjiyo karena suku bunga kartu kredit di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia, yaitu 26,6% sehingga kurang kompetitif.

Sekilas kebijakan ini seakan berpihak kepada masyarakat, apalagi di tengah pandemi krisis karena Covid-19, maka kebijakan ini seakan-akan membantu meringankan beban masyarakat yang sedang kesusahan. Namun, Brenthal, Crockett, & Rose (2005) dalam tulisannya berjudul “Credit Cards as Lifestyle Facilitators“ yang diterbitkan dalam Journal of Consumer Research telah menemukan bahwa di Amerika Serikat, kartu kredit telah menjadi simbol gaya hidup yang pada akhirnya membawa banyak orang mengalami masalah keuangan karena kesalahan menganggap kartu kredit sebagai salah satu sumber penghasilan.

Kemudahan berbelanja dan bertransaksi oleh kartu kredit telah membuat konsumen merasa nyaman serta gampang dalam berbelanja sampai akhirnya mereka terjebak pada penjara utang, yaitu banyak responden yang diteliti dalam penelitian mereka mengatakan bahwa mereka hanya mampu membayar pembayaran minimum dan terus terjebak dalam penjara hutang sampai bertahun-tahun.

Banyak orang beranggapan bahwa dengan membayar cicilan minimal kartu kredit, maka akhirnya akan bisa melunasi pokok utang. Ternyata tidak demikian yang terjadi. Dari total tagihan minimal yang wajib dibayarkan, ternyata cicilan minimal tersebut hanya untuk membayar bunga dan sedikit pokok utang.

Lebih parah lagi, sisa tagihan tersebut oleh beberapa bank akan terkena kewajiban bunga berbunga sehingga utang semakin membesar dan tidak berkurang atau hanya berkurang sedikit jika hanya di bayar minimalnya saja. Ini tentu masih dengan skema lama, yaitu pembayaran minimum sebesar 10%.

Bahkan, jika membayar 15% dari total tagihan dan tidak lagi menggunakan kartu kredit tersebut, maka estimasi baru satu tahun akan lunas tagihan tersebut.

Belajar dari Pengalaman

Dalam penelitian Bernthal tersebut ditemukan hanya sedikit yang mampu keluar dari jebakan penjara utang itu, yaitu ketika per bulan hanya mampu membayar minimal pembayaran atau lebih sedikit dari pembayaran minimal.

Pada akhirnya, masyarakat akan bekerja hanya untuk membayar cicilan bunga saja. Dalam banyak kasus, dibutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya mereka bisa membayar lunas tagihan mereka.

Tentu akan ada sanggahan, ah itu kan tergantung manusianya, kalau mereka bisa mengendalikan diri dengan baik, maka mereka tidak akan terjebak dalam jebakan penjara utang tersebut. Ternyata tidak sesederhana itu. Dengan adanya pasar
terbuka, yaitu konsumen dengan mudah bisa melakukan pembelian, apalagi dengan banyaknya platform belanja berbasis daring dan telepon pintar, maka belanja hanya memerlukan beberapa kali klik dan dalam waktu tidak lama barang yang diinginkan akan sampai ke rumah kita.

Bernthal menjelaskan adanya empat hal utama kenapa konsumen sampai terjebak pada penjara utang kartu kredit. Pertama, tentang adanya budaya konsumtif sebagai akibat adanya kartu kredit. Begitu banyaknya platform belanja berbasis daring ataupun gerai yang menerima pembayaran dengan kartu kredit sehingga konsumen tidak perlu membayar dengan uang telah menyebabkan pergeseran perilaku membeli masyarakat.

Sebagai contoh, seorang pria yang mengajak berkenalan seorang wanita dan makan di restoran berkelas akan merasa malu jika pada saat pembayaran nanti harus membayar dengan uang tunai karena akan dianggap kuno dan ketinggalan zaman serta tidak praktis.

Demikian juga jika belanja di supermarket dan harus membayar dengan segepok uang tunai, selain tidak aman juga tidak praktis. Budaya inilah akhirnya mendorong seseorang menjadi konsumtif, karena semuanya tinggal gesek dan urusan membayar dipikir belakangan.

Kedua, adanya praktik jor-joran diskon yang juga berkaitan dengan poin pertama di atas. Sudah jamak terjadi bahwa promosi dan diskon akan lebih besar jika pembayaran dengan kartu kredit. Cobalah cek resto atau kedai kopi yang selalu menawarkan diskon besar sampai 50% bahkan lebih menggunakan kartu kredit tertentu.

Praktik ini ternyata telah mendorong konsumen menjadi konsumtif. Konsumen yang seharusnya tidak membutuhkan barang tersebut atau sebetulnya “belum kelasnya” karena terdorong oleh diskon yang besar akhirnya berani membeli. Apa
akibatnya? Tentu akhirnya hanya bisa membayar pembayaran minimalnya dan terjebak dalam penjara utang.

Ketiga, adanya budaya memberi ke orang lain atau memberi ke diri sendiri. Budaya ini sebenarnya positif telah mendorong terjadinya konsumsi berlebihan. Misalnya, memberi hadiah kepada teman yang ulang tahun, hadiah untuk tetangga yang baru saja melahirkan, bahkan memberi hadiah kepada diri sendiri, misalnya ketika sudah selesai mengerjakan sesuatu,
entah itu secangkir kopi atau jalan-jalan ke luar negeri telah mendorong terjadinya konsumsi, dan jika sedang tidak punya dana cadangan, maka kartu kredit seakan menjadi solusi.

Kebanyakan dari mereka tidak sadar jika ini terus berulang, maka penjara utang telah menanti. Keempat, paling parah adalah budaya gali utang tutup utang. Tidak jarang, seseorang memiliki banyak kartu kredit dan menggunakan fasilitas tarik tunai dari salah satu kartu kreditnya untuk membayar tagihan kartu kredit lainnya. Celakanya, dalam laporan bank, jika masih lancar membayar tagihan minimal, maka debitur tetap dianggap lancar kualitas kreditnya dan tidak masuk daftar hitam di catatan Bank Indonesia.

Hal inilah yang terus mendorong terjadinya praktik gali lubang tutup lubang yang sungguh menjerumuskan banyak masyarakat Indonesia. Sebagai buktinya, lihat saja di kolom iklan kecil surat kabar, pasti di situ banyak jasa penutupan kartu kredit.

Bahkan banyak juga iklan yang menawarkan fasilitas gesek tunai, yaitu kartu kredit digesek di gerai tertentu untuk mendapatkan uang tunai, tentu dengan potongan 3% atau lebih di awal. Meskipun hal ini sudah dilarang BI, namun pada praktik nya masih saja terjadi dibuktikan dengan masih adanya iklan gesek tunai di surat kabar.

Melihat uraian keempat hal yang mendorong terjadinya peningkatan penjara utang terjadi di Amerika, saya rasa juga fenomena yang sama terjadi di Indonesia, maka marilah kita semua bijak dalam mengatur keuangan kita. Perlu dicamkan dengan baik bahwa kartu kredit hanyalah sebagai alat bayar dan bukan sumber pemasukan penghasilan. Jika Anda merasa sebagai manusia yang gampang tergoda dengan diskon atau memiliki kecenderungan konsumtif, sebaiknya segera tutup kartu kredit Anda sebelum terjebak dalam penjara utang.

Kartu kredit hanya bermanfaat jika kita bisa mengontrol keinginan kita dan digunakan hanya untuk membeli sesuatu
yang benar-benar dibutuhkan atau dalam kondisi darurat. Apalagi dalam kondisi penuh ketidakpastian seperti saat ini,
memiliki dana segar sangatlah penting untuk berjaga-jaga dan hindarilah perilaku konsumtif, yaitu membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan melainkan hanya mengikuti tren atau untuk menunjang gaya hidup saja.

Hal-hal demikian akan membawa kita berada pada kesukaran jika sampai terjebak di penjara utang. Penyesalan selalu datang terlambat. Oleh karenanya, bijak dalam keuangan seperti pepatah yang mengatakan hemat pangkal kaya.
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1476 seconds (0.1#10.140)