Muktamar NU: Sukses, Sehat, dan Keren
loading...
A
A
A
JAKARTA - Idham Cholid
Kader NU dan Alumni PMII
DUA bulan lagi Muktamar NU (Nahdlatul Ulama) digelar, tepatnya 23-25 Desember 2021 di Bandar Lampung. Forum permusyawaratan tertinggi para kiai ini tentu sangat dinanti. Berbagai harapan pun ditambatkan. Maklum, NU adalah ormas Islam terbesar, bahkan di seluruh dunia.
Lalu, apa yang sebenarnya diharapkan? Tergantung, kepada siapa hal itu ditanyakan. Namun, kepada siapa pun itu, yang pasti kita semua berharap, Muktamar dapat terselenggara dengan baik. "Yang penting, muktamar sukses, muktamar sehat dan keren," demikian Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj usai beraudiensi dengan Presiden RI Joko Widodo (7/1/2021).
Sukses, sehat dan keren, menurut saya menjadi kata kunci. Menarik dikaji untuk melihat perhelatannya nanti. Kesuksesan Muktamar NU tentu tak hanya diukur dengan adanya perubahan kepengurusan. Lebih dari itu, yang terpenting justru bagaimana menghasilkan keputusan-keputusan strategis sebagai panduan arah ke depan.
Baca juga: Said Aqil Siradj: Muktamar NU ke-34 Diputuskan Digelar Akhir Desember
Jika pun berkaitan dengan perubahan kepengurusan, maka proses yang terjadi haruslah demokratis. Tentu, jangan bayangkan model demokrasi langsung ala Pilpres misalnya, di mana konflik terbuka lebar, justru karena masing-masing pihak yang terlibat saling menjatuhkan.
Ukurannya sederhana saja. Karena ini forum tertinggi para kiai, bagaimana para peserta Muktamar, yang lazim disebut muktamirin, tetap teguh menjaga tata krama, meneladani akhlaq para pendiri. Tentu kita tak menginginkan preseden buruk sebagaimana Muktamar Jombang 2015 yang lalu. Saat itu, Pj Rais Aam KH Mustofa Bisri sampai turun tangan mendinginkan persidangan karena perdebatan tentang mekanisme pemilihan.
Soal itu memang paling sensitif. Apalagi menyangkut pemilihan Ketua Umum. Seolah, inti Muktamar hanya di sini. Sehingga agenda-agenda yang lain tak jarang justru terlupakan. Lihat saja, bagaimana perbincangan di media akhir-akhir ini. Semua membahas tentang itu. Wacana seputar Ketua Umum demikian menyita perhatian. Jabatan itu seakan-akan telah diperebutkan.
Beda dengan Rais Aam Syuriyah, misalnya, para kiai sepuh malah tak jarang saling menghindar. Di Muktamar Jombang, KH Mustofa Bisri justru mengundurkan diri, kemudian tampillah KH Ma'ruf Amin. Bahkan dulu, sepeninggal KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang) pada 1980, para kiai malah saling menghindari.
Baca juga: Ketua Umum FKDT Sebut Kredibilitas Gus Yahya Teruji untuk Pimpin PBNU
Kita semua tahu, baik KH Mahrus Aly (Lirboyo), KH As'ad Syamsul Arifin (Situbondo), maupun KH Ali Maksum (Krapyak DIY), tak ada satu pun di antara mereka yang menyatakan kesediaan. Meskipun pada akhirnya, karena berbagai desakan, KH Ali Maksum mau menerima jabatan Rais Aam tapi hanya sampai Muktamar 1984 di Situbondo.
Itulah akhlaq kiai yang harus selalu diteladani. Tak mudah memang, apalagi jika melihat kondisi sekarang. Saat ini semua serba pragmatis. Semua diukur bahkan dengan uang. "Keuangan yang maha segalanya," begitu kata teman saya.
Kader NU dan Alumni PMII
DUA bulan lagi Muktamar NU (Nahdlatul Ulama) digelar, tepatnya 23-25 Desember 2021 di Bandar Lampung. Forum permusyawaratan tertinggi para kiai ini tentu sangat dinanti. Berbagai harapan pun ditambatkan. Maklum, NU adalah ormas Islam terbesar, bahkan di seluruh dunia.
Lalu, apa yang sebenarnya diharapkan? Tergantung, kepada siapa hal itu ditanyakan. Namun, kepada siapa pun itu, yang pasti kita semua berharap, Muktamar dapat terselenggara dengan baik. "Yang penting, muktamar sukses, muktamar sehat dan keren," demikian Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj usai beraudiensi dengan Presiden RI Joko Widodo (7/1/2021).
Sukses, sehat dan keren, menurut saya menjadi kata kunci. Menarik dikaji untuk melihat perhelatannya nanti. Kesuksesan Muktamar NU tentu tak hanya diukur dengan adanya perubahan kepengurusan. Lebih dari itu, yang terpenting justru bagaimana menghasilkan keputusan-keputusan strategis sebagai panduan arah ke depan.
Baca juga: Said Aqil Siradj: Muktamar NU ke-34 Diputuskan Digelar Akhir Desember
Jika pun berkaitan dengan perubahan kepengurusan, maka proses yang terjadi haruslah demokratis. Tentu, jangan bayangkan model demokrasi langsung ala Pilpres misalnya, di mana konflik terbuka lebar, justru karena masing-masing pihak yang terlibat saling menjatuhkan.
Ukurannya sederhana saja. Karena ini forum tertinggi para kiai, bagaimana para peserta Muktamar, yang lazim disebut muktamirin, tetap teguh menjaga tata krama, meneladani akhlaq para pendiri. Tentu kita tak menginginkan preseden buruk sebagaimana Muktamar Jombang 2015 yang lalu. Saat itu, Pj Rais Aam KH Mustofa Bisri sampai turun tangan mendinginkan persidangan karena perdebatan tentang mekanisme pemilihan.
Soal itu memang paling sensitif. Apalagi menyangkut pemilihan Ketua Umum. Seolah, inti Muktamar hanya di sini. Sehingga agenda-agenda yang lain tak jarang justru terlupakan. Lihat saja, bagaimana perbincangan di media akhir-akhir ini. Semua membahas tentang itu. Wacana seputar Ketua Umum demikian menyita perhatian. Jabatan itu seakan-akan telah diperebutkan.
Beda dengan Rais Aam Syuriyah, misalnya, para kiai sepuh malah tak jarang saling menghindar. Di Muktamar Jombang, KH Mustofa Bisri justru mengundurkan diri, kemudian tampillah KH Ma'ruf Amin. Bahkan dulu, sepeninggal KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang) pada 1980, para kiai malah saling menghindari.
Baca juga: Ketua Umum FKDT Sebut Kredibilitas Gus Yahya Teruji untuk Pimpin PBNU
Kita semua tahu, baik KH Mahrus Aly (Lirboyo), KH As'ad Syamsul Arifin (Situbondo), maupun KH Ali Maksum (Krapyak DIY), tak ada satu pun di antara mereka yang menyatakan kesediaan. Meskipun pada akhirnya, karena berbagai desakan, KH Ali Maksum mau menerima jabatan Rais Aam tapi hanya sampai Muktamar 1984 di Situbondo.
Itulah akhlaq kiai yang harus selalu diteladani. Tak mudah memang, apalagi jika melihat kondisi sekarang. Saat ini semua serba pragmatis. Semua diukur bahkan dengan uang. "Keuangan yang maha segalanya," begitu kata teman saya.