Perpres TNI Atasi Terorisme Berpotensi Mengancam Kebebasan Berekspresi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden (Perpes) Pelibatan TNI dalam Memberantas Aksi Terorisme dikhawatirkan memberikan ekses penahanan tanpa dasar, pelanggaran perlindungan data pribadi hingga kebebasan berekspresi.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas menjelaskan, dampak utama jika rancangan tersebut disahkan adalah pelaksanaan dan mekanisme evaluasi atas perluasan mandat TNI dalam melakukan fungsi penangkalan dan pencegahan yang sesuai dengan prinsip proposional serta akuntabel. (Baca juga: Jokowi Diminta Tak Tandatangani Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
Dia mengaku, ada kekhawatiran terkait ekses dalam operasi fungsi penangkalan dan pencegahan selama UU utama yang mengatur fungsi pelibatan TNI dan peradilan militer belum diatur, khususnya terkait subjek hukum militer. “Ekses ini mungkin bisa dalam bentuk penggunaan kekerasaan, penahanan tanpa dasar, pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi, dan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi,” beber Siskha, Rabu (3/6/2020).(Baca juga: Pansus Restui TNI Ikut Berantas Teroris)
Sependapat dengan para aktivis dan akademisi serta tokoh masyakat yang menolak kemunculan rancangan perpres tersebut, Siskha menilai tidak ada urgensi perluasan mandat baru TNI dalam kondisi krisis menghadapi pandemi Covid-19. Dia menyebut, salah satu yang dikritisi adalah pasal 3 dalam rancangan perpres itu tentang fungsi penangkalan yang meliputi operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya.
(Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Rancu)
“Bahkan terminologi penangkalan tidak ditemukan dalam UU No.5/2018 tentang Tindak Pidana Terorisme yang merupakan UU rujukan utama. UU ini menggunakan terminologi fungsi pencegahan yang kewenangannya diberikan kepada BNPT,” kata Siskha yang kini dipercaya sebagai Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy ini.
Pasal lain yang juga bermasalah, adalah pasal 7 yang memberikan fungsi pencegahan terhadap TNI. Dia berpendapat pemerintah seharusnya mendahulukan rancangan undang-undang perbantuan TNI yang mengatur secara khusus tugas perbantuan TNI di dalam operasi militer selain perang (OMSP). “UU Perbantuan TNI ini lebih urgen untuk diprioritaskan karena ada kebutuhan strategis dari penanganan krisis pandemi Covid-19,” pesannya mengingatkan pemerintah agar lebih peka terhadap kondisi krusial di tengah pandemi Covid 19. (Baca juga: Ubah Citra Positif, Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)
Sebagai contoh perlunya UU Perbantuan TNI diprioritaskan di tengah pandemi, sambung Siskha, yakni rencana pengerahan TNI dalam membantu Polri terkait pendisiplinan protokol kesehatan di 1.800 titik di empat provinsi dan 25 Kabupaten/Kota. Beleid itu, untuk memastikan proses pelaksanaan pengerahan TNI berlangsung proposional dan akuntable tanpa ekses penggunaan kekerasan.
“Pendisiplinan ini dilakukan di ruang publik sipil seperti mal, pasar, sarana transportasi massal, tempat pariwisata dan lain sebagainya yang berada di 1.800 tersebut. Dasar pengerahan ini didasarkan pada Keppres Pembentukan Gugus Tugas dan tidak mengatur detail tentang mekanisme dan persyaratan pelibatan TNI. Bagaimana jika terjadi ekses penggunaan kekerasan?” imbuhnya. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
Siskha meminta parlemen turut mengkritisi pemerintah dengan menolak disahkannya rancangan perpres yang telah diserahkan pemerintah sejak awal Mei 2020 lalu ke DPR. “Mungkin tidak perlu frontal dicabut, namun direvisi sesuai dengan UU rujukan utama (UU TNI), khususnya mungkin koordinasi BNPT dengan TNI. Jangan memberikan perluasan mandat baru yang tidak sesuai sebagai turunan dari UU utama,” ucap Siskha yang turut menandatangani Petisi Bersama Tokoh Masyarakat dan Masyarakat Sipil tertanggal 27 Mei 2020 lalu.
Tokoh lain yang menandatangani petisi tersebut di antaranya, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Najib Azca, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed dan Yunizar Adiputera MA, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, PSKP UGM Arifah Rahmawati, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid.
Termasuk pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh Otto Nur Abdullah, pengajar FISIP UIN Jakarta Saiful Mujani, Sekjen PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Al Araf, dan pegiat Antikorupsi Emerson Yuntho.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas menjelaskan, dampak utama jika rancangan tersebut disahkan adalah pelaksanaan dan mekanisme evaluasi atas perluasan mandat TNI dalam melakukan fungsi penangkalan dan pencegahan yang sesuai dengan prinsip proposional serta akuntabel. (Baca juga: Jokowi Diminta Tak Tandatangani Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
Dia mengaku, ada kekhawatiran terkait ekses dalam operasi fungsi penangkalan dan pencegahan selama UU utama yang mengatur fungsi pelibatan TNI dan peradilan militer belum diatur, khususnya terkait subjek hukum militer. “Ekses ini mungkin bisa dalam bentuk penggunaan kekerasaan, penahanan tanpa dasar, pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi, dan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi,” beber Siskha, Rabu (3/6/2020).(Baca juga: Pansus Restui TNI Ikut Berantas Teroris)
Sependapat dengan para aktivis dan akademisi serta tokoh masyakat yang menolak kemunculan rancangan perpres tersebut, Siskha menilai tidak ada urgensi perluasan mandat baru TNI dalam kondisi krisis menghadapi pandemi Covid-19. Dia menyebut, salah satu yang dikritisi adalah pasal 3 dalam rancangan perpres itu tentang fungsi penangkalan yang meliputi operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya.
(Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Rancu)
“Bahkan terminologi penangkalan tidak ditemukan dalam UU No.5/2018 tentang Tindak Pidana Terorisme yang merupakan UU rujukan utama. UU ini menggunakan terminologi fungsi pencegahan yang kewenangannya diberikan kepada BNPT,” kata Siskha yang kini dipercaya sebagai Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy ini.
Pasal lain yang juga bermasalah, adalah pasal 7 yang memberikan fungsi pencegahan terhadap TNI. Dia berpendapat pemerintah seharusnya mendahulukan rancangan undang-undang perbantuan TNI yang mengatur secara khusus tugas perbantuan TNI di dalam operasi militer selain perang (OMSP). “UU Perbantuan TNI ini lebih urgen untuk diprioritaskan karena ada kebutuhan strategis dari penanganan krisis pandemi Covid-19,” pesannya mengingatkan pemerintah agar lebih peka terhadap kondisi krusial di tengah pandemi Covid 19. (Baca juga: Ubah Citra Positif, Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)
Sebagai contoh perlunya UU Perbantuan TNI diprioritaskan di tengah pandemi, sambung Siskha, yakni rencana pengerahan TNI dalam membantu Polri terkait pendisiplinan protokol kesehatan di 1.800 titik di empat provinsi dan 25 Kabupaten/Kota. Beleid itu, untuk memastikan proses pelaksanaan pengerahan TNI berlangsung proposional dan akuntable tanpa ekses penggunaan kekerasan.
“Pendisiplinan ini dilakukan di ruang publik sipil seperti mal, pasar, sarana transportasi massal, tempat pariwisata dan lain sebagainya yang berada di 1.800 tersebut. Dasar pengerahan ini didasarkan pada Keppres Pembentukan Gugus Tugas dan tidak mengatur detail tentang mekanisme dan persyaratan pelibatan TNI. Bagaimana jika terjadi ekses penggunaan kekerasan?” imbuhnya. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
Siskha meminta parlemen turut mengkritisi pemerintah dengan menolak disahkannya rancangan perpres yang telah diserahkan pemerintah sejak awal Mei 2020 lalu ke DPR. “Mungkin tidak perlu frontal dicabut, namun direvisi sesuai dengan UU rujukan utama (UU TNI), khususnya mungkin koordinasi BNPT dengan TNI. Jangan memberikan perluasan mandat baru yang tidak sesuai sebagai turunan dari UU utama,” ucap Siskha yang turut menandatangani Petisi Bersama Tokoh Masyarakat dan Masyarakat Sipil tertanggal 27 Mei 2020 lalu.
Tokoh lain yang menandatangani petisi tersebut di antaranya, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Najib Azca, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed dan Yunizar Adiputera MA, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, PSKP UGM Arifah Rahmawati, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid.
Termasuk pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh Otto Nur Abdullah, pengajar FISIP UIN Jakarta Saiful Mujani, Sekjen PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Al Araf, dan pegiat Antikorupsi Emerson Yuntho.
(cip)