Belajar Komunikasi Krisis di Masa Pandemi Covid-19

Rabu, 03 Juni 2020 - 05:22 WIB
loading...
Belajar Komunikasi Krisis...
Makroen Sanjaya, Praktisi Media, Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi SPS Usahid Jakarta . Foto/dok/SINDOnews
A A A
Makroen Sanjaya
Praktisi Media, Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi SPS Usahid Jakarta

PANDEMI Covid-19 sudah memasuki bulan keempat, Juni 2020 ini. Ke manakah Menkes Terawan Agus Putranto dalam beberapa bulan terakhir? Pertanyaan sinikal itu wajar ada di benak banyak orang, setelah Menkes Terawan surut dari hiruk-pikuk komunikasi publik sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan, 2 Maret 2020. Mengapa ‘panglima di bidang kesehatan’ itu ‘parkir’ (atau ‘diparkirkan’), justru ketika perang semesta melawan Covid-19 ini digelar? Jawabannya hanya satu: Menkes Terawan dianggap memiliki masalah dengan kompetensi komunikasi. Berbagai pernyataan Menkes Terawan di masa prapandemi memancing kontroversi.

Achmad Yurianto, anak buah Menkes Terawan yang kemudian ditunjuk sebagai juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19, juga sempat mengalami ‘keseleo lidah’ terkait ucapannya agar "yang miskin melindungi yang kaya". Tapi, polemik itu tidak berkepanjangan karena ditenggelamkan oleh saturasi berita tentang ledakan kasus Covid-19. Dari perspektif komunikasi krisis, pola komunikasi kedua komunikator kesehatan kunci itu layak kiranya menjadi bahan pembelajaran bagi setiap aktor negara di masa depan untuk meningkatkan kompetensi komunikatifnya. Indonesia sebagai negara yang dilingkupi ring of fire , juga sebagai bagian masyarakat dunia, akan semakin banyak diuji dengan serangkaian krisis, baik berskala nasional, regional, maupun global. Patut pula disadari, di era globalisasi yang menyebabkan terciptanya masyarakat berjaringan (network soceity ), kita seperti hidup layaknya di sebuah "desa virtual", yang karenanya menuntut untuk "berhati-hati dalam berkomunikasi publik" (Katty B. Richardson: 2010).

Komunikasi Krisis

Dalam komunikasi krisis, masyarakat sangat butuh informasi publik yang jelas dan memberi harapan. Dalam situasi krisis dan kedaruratan, "setiap kata (menjadi) penting". Demikian Barbara Reynolds dan Matthew Seeger dalam Crisis and Emergency Risk Communication: 2012 Edition. "Tugas kita sebagai komunikator kesehatan dan darurat masyarakat adalah menawarkan informasi yang dibutuhkan dan melawan perilaku berbahaya."

"Kata" dalam situasi sosial memiliki efek signifikan. "Kata" sebagai "teks", dalam terminologi Norman Fairclough, memberi efek kausal. "Elemen teks (pada) peristiwa sosial memiliki efek kausal, yaitu membawa perubahan. Paling cepat, teks dapat membawa perubahan dari pengetahuan kita (kita bisa belajar hal-hal dari mereka), keyakinan kita, sikap kita, nilai-nilai dan sebagainya" (2003, 8). Jurgen Habermas dalam teori Communicative Action (1984) mensyaratkan urgensi "makna" (meaningful ) pada setiap interaksi dan komunikasi. Makna menjadi klaim validitas utama, setelahnya "kebenaran", "ketepatan", dan "kejujuran". Habermas mengidentifikasi tiga fungsi tindakan komunikatif. Pertama, menyampaikan informasi. Kedua, menjalin hubungan sosial. Ketiga , mengekspresikan pendapat dan perasaan seseorang (Edgard: 2006).

Pelajaran Pandemi Influenza dan Social Distancing

Dunia ini sudah berkali didera pandemi. Pada 1918 dan 1919, pandemi influenza bersumber dari virus burung (avian influenza ) merenggut 25 juta jiwa di seluruh dunia, 700.000 di antaranya di Amerika Serikat (AS). Pandemi influenza subtipe A (H5N1) kembali menghajar dunia awal abad ke-21 ini. Hikmah dari pandemi H5N1 awal 2000-an mendorong banyak inisiatif lembaga, termasuk berbagai inisiatif komunikasi, yang disebut crisis emergency risk communication (CERC). "Otoritas kesehatan harus memperingatkan orang tentang risiko dan menyiapkan psikologis akan kemungkinan wabah flu burung dan terjadinya pandemi. Otoritas kesehatan harus mendorong publik mengambil tindakan pencegahan yang proporsional" (Seeger et al ., 2009).

Menurut Seeger & Reynolds, komunikator kesehatan, wajib memahami pola krisis untuk membantu antisipasi masalah dan menyiapkan respons. Meski setiap krisis memiliki keunikannya, tentu ada pola umum pada setiap krisis. "Dengan memisahkan setiap episode dalam krisis ke dalam fase, komunikator dapat mengantisipasi informasi yang dibutuhkan media, pemangku kepentingan, dan publik secara umum. Selanjutnya, upaya komunikasi harus berkembang sesuai kebutuhan" (2012, 85).

CERC berlaku pada tahap prakrisis dan selama krisis. Pada prakrisis, inisiatif komunikasi berisi "peringatan" harus dimodulasi agar tidak menimbulkan gangguan sosial. Otoritas kesehatan harus meningkatkan "kesadaran dan kepedulian, tanpa membujuk pada perilaku irasional". Dari pandemi H5N1 inilah, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit t (CDC) dan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (DHSS) didukung WHO, merilis formula social distancing atau pembatasan sosial (Beyeler & Min: 2006). Social distancing meliputi pengurangan interaksi sosial, isolasi, dan karantina pasien di rumah, pembatasan kontak hingga pembatasan perjalanan. Inisiatif komunikasi pada tahap ini memang tidak mudah. Otoritas kesehatan pasti "dihantui" dampak gangguan sosial parah, kausalitas massal dan sumber daya medis yang timpang. Untuk itu, diperlukan koordinasi yang solid antarinstansi terkait dan bagaimana menyiapkan sumber daya dan kemampuan respons yang memadai.

Formula CERC pada tahap prakrisis menekankan pesan komunikasi tentang "apa yang harus dikatakan, kapan mengatakannya, dan bagaimana mengatakannya". Jawaban atas tiga pertanyaan itu akan memenangkan kepercayaan publik bahkan menyelamatkan nyawa. Urgensi komunikasi krisis pada tahap ini harus "menjelaskan risiko dan manfaat bagi pemangku kepentingan dan masyarakat. Publik dan pemangku kepentingan menuntut komunikasi segera, kredibel, dan real time selama respons krisis" (Reynolds & Seeger: 2012, 1). Agregasi dari formula CERC dirinci menjadi enam prinsip, meliputi: (1). Be First (komunikasi cepat dan waktu sensitif). (2). Be Right (informasi akurat membangun kredibilitas). (3). Be Credible (jujur dan dapat dipercaya). (4). Express Empathy (kata yang membangun empati dan hubungan baik. (5). Promote Action (memberi makna agar publik tetap tenang dan tertib). (6). Show Respect (rasa hormat di saat publik rentan).

Kompetensi Komunikatif Otoritas Indonesia

Sebelum menjadi pandemi dunia, sejumlah negara sudah lintang pukang melawan Covid-19 ini, termasuk dengan komunikasi publiknya. PM Singapura Lee Hsin Loong, 10 Februari 2020, berkomunikasi dengan rakyatnya secara multibahasa, termasuk bahasa Melayu. Di saat yang sama, Menko Luhut Binsar Panjaitan justru berseloroh. "Corona ? Corona , sudah pergi (kasus di Batam). Corona mobil?" Sepekan berikutnya, Menkes Terawan menolak masker, dengan nada selorohnya. Belakangan, Gugus Tugas PP Covid-19 justru minta semua orang mengenakan masker. Pesan komunikasi dua otoritas tinggi itu, alih-alih melakukan inisiatif komunikatif yang menenangkan publik dan membangun kepercayaan, tapi justru membuat publik abai terhadap bahaya Covid-19.

Ketika ada pejabat tinggi negara positif dan banyak pejabat lainnya harus diisolir 15 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menginstruksikan diberlakukan social distancing, bekerja dari rumah (work from home /WFH), penutupan sekolah, hingga rapat kabinet pun dilaksanakan dari rumah. Apa lacur, arus pulang kampung sudah bergelombang dan jumlah positif terus merangkak naik. Akibat gelombang pulang kampung ini menyebabkan terjadinya pergeseran episentrum penularan. Awal Mei 2020 ini, akselerasi jumlah kasus di DKI Jakarta cenderung melambat, sedangkan kasus di daerah justru melesat.

Indonesia sebenarnya memiliki acuan protokol kesehatan di masa pandemi. Permenkes nomor 300/Menkes/SK/IV/2009, yang diteken Menteri Kesehatan kala itu Fadhilah Supari menetapkan "Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza", tanggal 29 April 2009. Otoritas negara semestinya melakukan revisi atas ratifikasi protokol kesehatan pandemi dari WHO itu, sambil menata tindakan komunikatif kepada publik secara be first, be right, be credible, express emphaty, promote action dan show respect . Realitasnya, otoritas kesehatan bukannya melakukan inisiatif komunikatif secara kompeten, tapi justru "menghamburkan" pernyataan yang tidak kompeten. Tak heran, jika Menkes Terawan mendapat sentimen negatif terbesar dari publik netizen . Datalyst Center Indef yang dikutip Wijayanto, Ph.D dari LP3ES dalam penelitian berjudul "Petaka Karena Kata: Blunder Komunikasi Politik Kabinet Jokowi di Masa Pandemi" (2020) menunjukkan, Menkes Terawan merupakan pihak yang paling banyak mendapat sentimen negatif, bahkan dibandingkan Presiden Joko Widodo. Dari 16.000 tweets , 93% sentimen negatif teruntuk Menteri Terawan.
(mpw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1903 seconds (0.1#10.140)