Optimisme di APBN 2022
loading...
A
A
A
Kamis (30/9), pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2022. Seiring dengan pengesahan UU APBN 2022, juga disepakati sejumlah poin asumsi makro yang akan menjadi acuan dan target-target ekonomi tahun depan.
Pertama dan yang kerap menjadi sorotan adalah soal target pertumbuhan ekonomi. Dalam UU tersebut pemerintah dan DPR menetapkan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%. DPR melalui Badan Anggaran menilai, angka tersebut cukup realistis setelah ekonomi nasional bangkit dari resesi pada kuartal II/2021.
Asumsi makro lain yang disepakati adalah tingkat inflasi sebesar 3%, nilai tukar rupiah yakni Rp14.350 per dolar AS, tingkat suku bunga surat utang negara (SUN) 10 tahun 6,8%, lifting minyak 703.000 barel per hari, dan lifting gas 1,03 juta barel setara minyak per hari.
Selain asumsi-asumsi makro tersebut, DPR dan pemerintah juga menyepakati target angka pengangguran terbuka di kisaran 5,6-6,3%, tingkat kemiskinan 8,5%, dan indeks gini ratio 0,347-0,378.
Dalam keterangannya terkait APBN 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa APBN adalah instrumen penting dalam mendukung pemulihan ekonomi, melanjutkan reformasi, dan melindungi masyarakat dari bahaya Covid-19.
Pemerintah, kata dia, menyadari peranan APBN yang antisipatif dan fleksibel dalam merespons kebutuhan intervensi penanganan kesehatan, perlindungan masyarakat, dan dukungan kepada dunia usaha akan menjadi faktor yang sangat menentukan.
Menurut Sri Mulyani, upaya pemulihan terus dilakukan oleh pemerintah sehingga proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2022 diperkirakan mencapai 5,2%. Perkiraan ini dianggap cukup realistis dengan mempertimbangkan dinamika pemulihan dan reformasi struktural, serta kewaspadaan risiko ketidakpastian kinerja perekonomian ke depan.
Menilik pernyataan resmi Kementerian Keuangan yang diunggah pada situs web Setkab.go.id, kinerja ekonomi 2022 akan ditopang oleh pulihnya konsumsi masyarakat, investasi, dan juga perdagangan internasional. Pemerintah meyakini dukungan kebijakan yang dibuat untuk pemulihan ekonomi dan menjaga stabilitas makroekonomi bisa turut menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pada 2022.
Terkait penanganan dampak pandemi Covid-19, pemerintah masih berkomitmen untuk menjalankan program perlindungan sosial dan menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat. Tujuannya tentu saja agar tingkat kemiskinan dapat ditekan kembali pada kisaran 8,5-9%, serta dan gini ratio atau rasio ketimpangan diharapkan tutun ke kisaran 0,376-0,378.
Adapun dalam upaya menstimulasi perekonomian dan target pembangunan, pemerintah secara umum menetapkan pendapatan negara pada APBN 2022 sebesar Rp1.846,1 triliun dan belanja negara Rp2.714,2 triliun. Dari komposisi tersebut, terdapat defisit Rp868 triliun atau 4,85% produk domestik bruto (PDB).
Defisit APBN tahun depan menurun 6,14% pada 2020, dan 5,7% pada 2021. Meski demikian, angka defisit ini masih relatif tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya pascapandemi di mana selalu ditetapkan di kisaran 3% dari PDB.
Melihat sejumlah asumsi makro yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR pada APBN 2022 terlihat bahwa ada optimisme kembali membaiknya perekonomian tahun depan kendati masih dibayangi dampak pandemi. Kendati demikian, angka pertumbuhan di level 5,2% bisa saja meleset apabila tidak disertai eksekusi belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dua sektor ini menjadi andalan di samping sektor konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional. Sekadar diketahui, sektor konsumsi menjadi kontributor utama PDB dengan persentase sebesar 56% lebih.
Tetapi, pemerintah juga harus tetap mewaspadai sektor konsumsi ini karena dalam dua tahun terakhir terdapat kecenderungan inflasi yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas belanja masyarakat menurun karena daya beli terpukul akibat pandemi.
Untuk itu, perlu tetap diperhatikan agar sektor konsumsi bisa terjaga. Caranya, bisa dengan membuat kebijakan yang prokonsumsi berupa tawaran insentif kepada konsumen. Hanya, strategi ini tampaknya akan sulit dijalankan karena di sisi lain pemerintah justru bersiap menaikkan pertambahan nilai (PPn) bertahap mulai tahun depan menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Bahkan, selanjutnya PPn akan dikerek lagi menjadi 12% pada 2025.
Pertama dan yang kerap menjadi sorotan adalah soal target pertumbuhan ekonomi. Dalam UU tersebut pemerintah dan DPR menetapkan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%. DPR melalui Badan Anggaran menilai, angka tersebut cukup realistis setelah ekonomi nasional bangkit dari resesi pada kuartal II/2021.
Asumsi makro lain yang disepakati adalah tingkat inflasi sebesar 3%, nilai tukar rupiah yakni Rp14.350 per dolar AS, tingkat suku bunga surat utang negara (SUN) 10 tahun 6,8%, lifting minyak 703.000 barel per hari, dan lifting gas 1,03 juta barel setara minyak per hari.
Selain asumsi-asumsi makro tersebut, DPR dan pemerintah juga menyepakati target angka pengangguran terbuka di kisaran 5,6-6,3%, tingkat kemiskinan 8,5%, dan indeks gini ratio 0,347-0,378.
Dalam keterangannya terkait APBN 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa APBN adalah instrumen penting dalam mendukung pemulihan ekonomi, melanjutkan reformasi, dan melindungi masyarakat dari bahaya Covid-19.
Pemerintah, kata dia, menyadari peranan APBN yang antisipatif dan fleksibel dalam merespons kebutuhan intervensi penanganan kesehatan, perlindungan masyarakat, dan dukungan kepada dunia usaha akan menjadi faktor yang sangat menentukan.
Menurut Sri Mulyani, upaya pemulihan terus dilakukan oleh pemerintah sehingga proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2022 diperkirakan mencapai 5,2%. Perkiraan ini dianggap cukup realistis dengan mempertimbangkan dinamika pemulihan dan reformasi struktural, serta kewaspadaan risiko ketidakpastian kinerja perekonomian ke depan.
Menilik pernyataan resmi Kementerian Keuangan yang diunggah pada situs web Setkab.go.id, kinerja ekonomi 2022 akan ditopang oleh pulihnya konsumsi masyarakat, investasi, dan juga perdagangan internasional. Pemerintah meyakini dukungan kebijakan yang dibuat untuk pemulihan ekonomi dan menjaga stabilitas makroekonomi bisa turut menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pada 2022.
Terkait penanganan dampak pandemi Covid-19, pemerintah masih berkomitmen untuk menjalankan program perlindungan sosial dan menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat. Tujuannya tentu saja agar tingkat kemiskinan dapat ditekan kembali pada kisaran 8,5-9%, serta dan gini ratio atau rasio ketimpangan diharapkan tutun ke kisaran 0,376-0,378.
Adapun dalam upaya menstimulasi perekonomian dan target pembangunan, pemerintah secara umum menetapkan pendapatan negara pada APBN 2022 sebesar Rp1.846,1 triliun dan belanja negara Rp2.714,2 triliun. Dari komposisi tersebut, terdapat defisit Rp868 triliun atau 4,85% produk domestik bruto (PDB).
Defisit APBN tahun depan menurun 6,14% pada 2020, dan 5,7% pada 2021. Meski demikian, angka defisit ini masih relatif tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya pascapandemi di mana selalu ditetapkan di kisaran 3% dari PDB.
Melihat sejumlah asumsi makro yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR pada APBN 2022 terlihat bahwa ada optimisme kembali membaiknya perekonomian tahun depan kendati masih dibayangi dampak pandemi. Kendati demikian, angka pertumbuhan di level 5,2% bisa saja meleset apabila tidak disertai eksekusi belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dua sektor ini menjadi andalan di samping sektor konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional. Sekadar diketahui, sektor konsumsi menjadi kontributor utama PDB dengan persentase sebesar 56% lebih.
Tetapi, pemerintah juga harus tetap mewaspadai sektor konsumsi ini karena dalam dua tahun terakhir terdapat kecenderungan inflasi yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas belanja masyarakat menurun karena daya beli terpukul akibat pandemi.
Untuk itu, perlu tetap diperhatikan agar sektor konsumsi bisa terjaga. Caranya, bisa dengan membuat kebijakan yang prokonsumsi berupa tawaran insentif kepada konsumen. Hanya, strategi ini tampaknya akan sulit dijalankan karena di sisi lain pemerintah justru bersiap menaikkan pertambahan nilai (PPn) bertahap mulai tahun depan menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Bahkan, selanjutnya PPn akan dikerek lagi menjadi 12% pada 2025.
(ynt)