Persepsi Kemelut Dua Raksasa

Kamis, 16 September 2021 - 17:53 WIB
loading...
A A A
Bedanya, dengan Uni Soviet adalah bahwa Jepang meruncingkan perseteruan sampai pada arena pertempuran brutal dalam teater perang pasifik. Perang tersebut, merupakan salah satu peperangan yang terberat dalam sejarah AS, selain perang melawan Vietnam dan dengan Nazi Jerman.

Pada titik ini, AS sadar betul bahwa mentalitas negara-negara Asia sama sekali tidak dapat dipandang remeh. Karenanya, kemunculan kekuatan baru dari Asia yang berusaha menantang hegemoni AS, akan disikapi dengan kewaspadaan ekstratinggi.

Namun, sekali lagi, perseturuan AS-China nampaknya sangat berbeda dan jauh lebih kompleks. Tidak saja dari haluan politik kedua negara yang satu sama lain berlawanan dan adanya perlombaan peningkatan kapasitas alustsista, tetapi juga terjadinya perang dagang yang terus meruncing di tengah hubungan ekonomi kedua negara yang saling terhubung.

Narasi dan retorika perang memang terlalu dini dan tidak dapat menggambarkan kondisi AS-China saat ini, tetapi mengabaikan potensi konflik terbuka antara dua kekuatan global tersebut juga bukan tindakan arif. Sebab akan selalu terdapat gejala-gejala yang menjadi variabel potensial lahirnya konflik terbuka antara AS-China, lewat sejumlah tanda-tanda salah satunya dari intensitas kehadiran armada tempur.

Sudah tidak terhitung jumlah armada tempur AS hilir mudik di kawasan Indo-Pasifik. Yang terbaru adalah kehadiran kapal perusak berpeluru kendali USS Curtis Wilbur yang berlayar di selat Taiwan. Sebelumnya, AS juga mengerahkan kapal penjelajah rudal USS Shiloh, dan kapal perusak rudal USS Halsey. Keduanya melakukan misi mengawal kapal induk USS Reagan di Laut China Selatan pada pertengahan Juni 2021.

Dalam satu dekade terakhir, diperkirakan lebih dari 50% kapal perang milik AS, berada di kawasan Indo-Pasifik. Jumlah tersebut nampaknya akan terus dipertahankan dan mungkin akan ditingkatkan sampai akhir masa pemerintahan Presiden Joe Biden.

Aliansi Minim Pengalaman
Sungguh pun AS memiliki hubungan baik dengan sejumlah negara seperti India, Jepang dan Australia, tetapi hubungan tersebut bisa dikatakan belum selevel dengan hubungan AS dengan sekutunya di Eropa, yang sudah teruji dalam keadaan genting/perang. Dengan lain perkataan, AS memerlukan kehadiran sekutu lamanya di Atlantik seperti Inggris, dan Prancis untuk menantang klaim sepihak China di Laut China Selatan.

AS sampai pada kesimpulan bahwa sikap apatis terhadap gejala-gejala yang berlangsung di kawasan ini, berarti suatu bencana. Sekali lagi, AS punya memori kelam di kawasan ini, sebagaimana yang pernah terjadi di masa silam dalam perang pasifik. Pengalaman itu merupakan salah satu modal berharga dalam mencermati kondisi geopolitik yang terus berkembang dan mungkin juga terkait dengan penentuan arah kebijakan.

AS tidak akan terjerumus kedalam lubang yang sama, AS pernah mengabaikan hubungan antara kemajuan industri, peningkatan jumlah alutsista dan meremehkan kalkulasi hasrat hegemoni Jepang di Asia-Pasifik. Padahal para pengamat militer dan geopolitik sudah mewanti-wanti dan meramalkan kemungkinan terjadinya perang besar di Pasifik, seperti yang ditemukan dalam uraian pakar geopolitik Jerman Karl Ernst Haushofer berjudul Geopolitik des Pazifischen Ozeans, dan Hector Bywter tentang Seapower in the Pacific. Karya-karya tersebut dibuat sekitar pertengahan 1920-an, jauh sebelum perang Pasifik meletus.

Bahkan presiden pertama RI, yang pada periode tersebut masih merupakan aktivis pergerakan nasional, menyatakan keyakinan akan terjadinya perang besar di Asia-Pasifik, hal itu sebagaimana yang tercatat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, ”Kami tidak mengetahui, kapan perang lautan teduh itu akan meledak; kami tidak pula mengetahui, akan dimana pusat peledakannya; kami hanyalah mengetahui, Perang Pasifik satu ketika pasti akan meledak”.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2721 seconds (0.1#10.140)