Persepsi Kemelut Dua Raksasa

Kamis, 16 September 2021 - 17:53 WIB
loading...
Persepsi Kemelut Dua...
Muhammad Ilham Gilang (Foto: Ist)
A A A
Muhammad Ilham Gilang
Cendekiawan Muda NU, Dosen Sejarah pada UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu

BELAKANGAN ini, arus utama pemberitaan media-media di dunia tertuju pada kondisi politik di Afghanistan. Para pengamat mulai menerka adanya gairah baru tentang proyeksi dinamika percaturan geopolitik di Asia Tengah setelah kembali berkuasanya Taliban. Tetapi dalam sudut pandang geoekonomi dan geostrategis, Indo-Pasifik terutama wilayah Laut China Selatan (LCS) tetap merupakan kawasan yang tidak akan tergantikan pesonanya. Ekalsinya ditandai dengan kampanye militer China dengan Coast Guard. Di sisi lain hadirnya armada Angkatan Laut AS dengan Kapal Induk USS Reagan dalam misi militer bersama negara-negara ASEAN pada Juni 2021. Hal ini mempertegas meningkatnya aktivitas ekonomi dan politik China yang begitu kuat di wilayah tersebut.

Hal ini terutama disebabkan oleh aktivitas ekonomi dan politik China yang begitu kuat di wilayah tersebut. Bagaimanapun, kebangkitan China sebagai raksasa ekonomi dunia tidak disangkal membuat khawatir Amerika Serikat (AS). Kehawatiran AS bukan tanpa sebab, terutama jika mengikuti tren pengaruh dan pertumbuhan ekonomi China yang tengah menapaki jalan sebagai pemuncak klasemen mitra dagang bagi banyak kawasan di dunia. Bahkan, di tengah suasana pandemi pertumbuhan dan pengaruh China tidak surut.

China tercatat sebagai negara dengan nilai Gross Domestic Product (GDP) tertinggi kedua di dunia dengan nilai USD14,14 triliun. Meskipun masih tertinggal di belakang AS, tetapi dengan modal sumber daya yang dimiliki dan tren positif yang konsisten diperlihatkan, membuatnya diramalkan akan menggeser posisi AS sebagai kekuatan ekonomi dunia pada dekade ini.

Tidak hanya dalam bidang ekonomi, China juga memperlihatkan obsesinya untuk menjadi yang teratas dalam aspek lain seperti teknologi persenjataan. Hal ini seperti yang diungkapkan Xi Jinping awal Juli lalu saat perayaan 100 tahun Partai Komunis China (PKC) di mana ia menjanjikan akan menaikan kapasitas alutsista negerinya ke level tertentu. Meskipun demikian, China menolak upayanya dalam bidang persenjataan diartikan sebagai proyek yang mengancam negara lain.

China selalu mengingatkan negara lain untuk tidak sungkan menengok masa silamnya, agar memperoleh kesimpulan bahwa China tidak duduk dalam barisan negara agresor. Hal itu sering terlontar dari sejumlah pejabat penting di China, saat merespons tuduhan adanya hasrat hegemoni di balik upaya membangun kekuatan militer. Dalam hal ini, AS termasuk pihak yang menginginkan transparansi dan tujuan dari tindakan China tersebut.

Perhatian Utama
China adalah alasan terbesar bagi AS yang selama satu dekade terakhir, terlihat mengarusutamakan kepentingannya di kawasan Indo-Pasifik, dan seolah meminggirkan berbagai kawasan penting lainnya, termasuk Eropa dan Timur Tengah.

Terdapat sejumlah alasan yang melatarbelakangi “hengkangnya” AS dari Eropa dan Timur Tengah menuju Indo-Pasifik. Tetapi saya ingin menghindari alasan yang terlalu umum, seperti misalnya yang terkait dengan fakta bahwa Indo-Pasifik sebagai titik sentral pertumbuhan ekonomi global yang menjadi basis merajalelanya ekonomi China, ataupun persoalan Taiwan dan klaim China atas sebagian besar kawasan di Laut China Selatan. Juga alasan lain seperti keberhasilan China merebut singgasana AS sebagai mitra dagang terbesar bagi banyak negara di kawasan ini.

Semua alasan tersebut terlalu mainstream, dan tampaknya kita menginginkan suatu pandangan baru untuk diketengahkan. Harus diakui, China merupakan negara yang jauh lebih kuat dibanding para pesaing AS sebelumnya, baik Jepang ketika perang pasifik, maupun Uni Soviet saat perang dingin. Uni Soviet jelas-jelas tidak mampu bersaing secara ekonomi dengan AS, di mana capaian tertinggi GDP Uni Soviet bahkan tidak mencapai 50% dari GDP AS.

Sementara Jepang memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya. Jepang tidak memiliki angkatan kerja semelimpah China, yang berguna bagi peningkatan jumlah produksi. Jepang juga banyak melakukan kesalahan fatal melalui strategi pendekatan militeristik yang tidak terukur/sporadis, yang menantang AS jauh sebelum waktunya.

Bedanya, dengan Uni Soviet adalah bahwa Jepang meruncingkan perseteruan sampai pada arena pertempuran brutal dalam teater perang pasifik. Perang tersebut, merupakan salah satu peperangan yang terberat dalam sejarah AS, selain perang melawan Vietnam dan dengan Nazi Jerman.

Pada titik ini, AS sadar betul bahwa mentalitas negara-negara Asia sama sekali tidak dapat dipandang remeh. Karenanya, kemunculan kekuatan baru dari Asia yang berusaha menantang hegemoni AS, akan disikapi dengan kewaspadaan ekstratinggi.

Namun, sekali lagi, perseturuan AS-China nampaknya sangat berbeda dan jauh lebih kompleks. Tidak saja dari haluan politik kedua negara yang satu sama lain berlawanan dan adanya perlombaan peningkatan kapasitas alustsista, tetapi juga terjadinya perang dagang yang terus meruncing di tengah hubungan ekonomi kedua negara yang saling terhubung.

Narasi dan retorika perang memang terlalu dini dan tidak dapat menggambarkan kondisi AS-China saat ini, tetapi mengabaikan potensi konflik terbuka antara dua kekuatan global tersebut juga bukan tindakan arif. Sebab akan selalu terdapat gejala-gejala yang menjadi variabel potensial lahirnya konflik terbuka antara AS-China, lewat sejumlah tanda-tanda salah satunya dari intensitas kehadiran armada tempur.

Sudah tidak terhitung jumlah armada tempur AS hilir mudik di kawasan Indo-Pasifik. Yang terbaru adalah kehadiran kapal perusak berpeluru kendali USS Curtis Wilbur yang berlayar di selat Taiwan. Sebelumnya, AS juga mengerahkan kapal penjelajah rudal USS Shiloh, dan kapal perusak rudal USS Halsey. Keduanya melakukan misi mengawal kapal induk USS Reagan di Laut China Selatan pada pertengahan Juni 2021.

Dalam satu dekade terakhir, diperkirakan lebih dari 50% kapal perang milik AS, berada di kawasan Indo-Pasifik. Jumlah tersebut nampaknya akan terus dipertahankan dan mungkin akan ditingkatkan sampai akhir masa pemerintahan Presiden Joe Biden.

Aliansi Minim Pengalaman
Sungguh pun AS memiliki hubungan baik dengan sejumlah negara seperti India, Jepang dan Australia, tetapi hubungan tersebut bisa dikatakan belum selevel dengan hubungan AS dengan sekutunya di Eropa, yang sudah teruji dalam keadaan genting/perang. Dengan lain perkataan, AS memerlukan kehadiran sekutu lamanya di Atlantik seperti Inggris, dan Prancis untuk menantang klaim sepihak China di Laut China Selatan.

AS sampai pada kesimpulan bahwa sikap apatis terhadap gejala-gejala yang berlangsung di kawasan ini, berarti suatu bencana. Sekali lagi, AS punya memori kelam di kawasan ini, sebagaimana yang pernah terjadi di masa silam dalam perang pasifik. Pengalaman itu merupakan salah satu modal berharga dalam mencermati kondisi geopolitik yang terus berkembang dan mungkin juga terkait dengan penentuan arah kebijakan.

AS tidak akan terjerumus kedalam lubang yang sama, AS pernah mengabaikan hubungan antara kemajuan industri, peningkatan jumlah alutsista dan meremehkan kalkulasi hasrat hegemoni Jepang di Asia-Pasifik. Padahal para pengamat militer dan geopolitik sudah mewanti-wanti dan meramalkan kemungkinan terjadinya perang besar di Pasifik, seperti yang ditemukan dalam uraian pakar geopolitik Jerman Karl Ernst Haushofer berjudul Geopolitik des Pazifischen Ozeans, dan Hector Bywter tentang Seapower in the Pacific. Karya-karya tersebut dibuat sekitar pertengahan 1920-an, jauh sebelum perang Pasifik meletus.

Bahkan presiden pertama RI, yang pada periode tersebut masih merupakan aktivis pergerakan nasional, menyatakan keyakinan akan terjadinya perang besar di Asia-Pasifik, hal itu sebagaimana yang tercatat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, ”Kami tidak mengetahui, kapan perang lautan teduh itu akan meledak; kami tidak pula mengetahui, akan dimana pusat peledakannya; kami hanyalah mengetahui, Perang Pasifik satu ketika pasti akan meledak”.

Mengabaikan analisa historis bukan merupakan pilihan bijaksana ditengah situasi geopolitik kawasan yang sedang memanas, terlebih yang potensial memicu lahirnya konflik besar yang berdampak signifikan bagi banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Para aktor utama di Indo-Pasifik harus terus diingatkan tentang pentingnya memelihara situasi damai yang sudah terpelihara di kawasan ini selama beberapa dekade lamanya.

Dalam hal ini, Indonesia selalu bisa mengambil peran melalui kekuatan diplomasi dalam mempromosikan masa depan kawasan yang diliputi suasana damai sebagaimana yang telah kita lakukan di masa lalu.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1261 seconds (0.1#10.140)