Refleksi Satu Dekade UU Nomor 12 Tahun 2011
loading...
A
A
A
Tenaga Perancang
Tenaga perancang peraturan perundang-undangan memiliki peran yang utama mengingat dalam UU No. 12/2011 disebutkan bahwa setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan perlu mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan. Dalam PP No. 59/2015 juga disebutkan bahwa perancang peraturan perundang-undangan wajib bersikap profesional sesuai dengan disiplin ilmu hukum, ilmu perundang-undangan, dan disiplin ilmu lain yang dibutuhkan. Makna “disiplin ilmu lain yang dibutuhkan” mengharuskan perancang peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan interdisipliner dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk memastikan suatu peraturan perundang-undangan memenuhi kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat atau Eugen Ehrlich menyebutnya sebagai living law.
Selain itu, perancang peraturan perundang-undangan harus mampu mengetahui dengan utuh dan mendalam apa yang menjadi politik hukum dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik hukum pada dasarnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Oleh karena itu, sistem pembentukan peraturan perundang-undangan kedepan perlu lebih menjamin kedudukan dan peran perancang peraturan perundang-undangan dalam rangka mengawal politik hukum suatu peraturan perundang-undangan.
Penataan Bisnis Proses
Salah satu konsekuensi dari penerapan metode omnibus law adalah perlunya penataan kembali bisnis proses pembentukan peraturan perundang-undangan. UU yang disusun dengan metode omnibus law memiliki kompleksitas tersendiri karena mencakup berbagai sektor dengan berbagai bidang hukum. Untuk itu, bisnis proses penyusunan dan pembahasan perlu diatur kembali agar memiliki ruang deliberasi yang cukup untuk membedah dan menelaah pasal demi pasal termasuk melakukan konsultasi publik terutama dengan pihak-pihak terdampak.
Penataan bisnis proses juga berkaitan dengan pembahasan lanjutan RUU yang belum selesai (carry over legislasi). Mesikpun telah diatur dalam UU No. 15/2019, namun jika dicermati kembali keputusan untuk carry over legislasi tersebut masih didasarkan atas kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD serta dirumuskan dengan kata “dapat” yang mengandung makna fakultatif. Kepastian mekanisme carry over legislasi ini diperlukan untuk mewujudkan keberlanjutan dan efektivitas pembentukan RUU yang telah disusun masa keanggotaan DPR sebelumnya.
Partisipasi Masyarakat
Penataan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan kedepan juga mencakup penguatan mekanisme partisipasi masyarakat. Pengaturan partisipasi masyarakat dalam UU No. 12/2011 perlu diatur lebih rinci untuk menjamin partisipasi masyarakat yang lebih luas mulai dari perencanaan, penyusunan hingga pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan. Terlebih jika RUU menggunakan metode omnibus law yang berdampak pada banyak pemangku kepentingan, maka sejak awal RUU tersebut harus dapat diakses dengan mudah oleh setiap lapisan masyarakat di berbagai media informasi dan komunikasi.
Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, pemanfaatan big data juga dapat digunakan untuk menyerap aspirasi masyarakat. Setiap masukan akan dianalisa dengan manajemen big data dan kemudian diolah menjadi keluaran baru. Pemanfaatan big data dapat dilakukan dengan mengintegrasikan sistem teknologi informasi yang ada seperti laman SIMAS PUU (Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang) yang dikelola Badan Keahlian DPR maupun laman Partisipasiku milik BPHN (R.D Putranto, 2020).
Pada akhirnya momentum satu dekade UU No. 12/2011 harus digunakan untuk melakukan penataan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan secara menyeluruh. Melalui sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih baik diharapkan dapat meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan yang selaras dengan Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee) atau Rudolf Stammler menyebutnya sebagai bintang pemandu (Leitstern).
Tenaga perancang peraturan perundang-undangan memiliki peran yang utama mengingat dalam UU No. 12/2011 disebutkan bahwa setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan perlu mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan. Dalam PP No. 59/2015 juga disebutkan bahwa perancang peraturan perundang-undangan wajib bersikap profesional sesuai dengan disiplin ilmu hukum, ilmu perundang-undangan, dan disiplin ilmu lain yang dibutuhkan. Makna “disiplin ilmu lain yang dibutuhkan” mengharuskan perancang peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan interdisipliner dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk memastikan suatu peraturan perundang-undangan memenuhi kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat atau Eugen Ehrlich menyebutnya sebagai living law.
Selain itu, perancang peraturan perundang-undangan harus mampu mengetahui dengan utuh dan mendalam apa yang menjadi politik hukum dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik hukum pada dasarnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Oleh karena itu, sistem pembentukan peraturan perundang-undangan kedepan perlu lebih menjamin kedudukan dan peran perancang peraturan perundang-undangan dalam rangka mengawal politik hukum suatu peraturan perundang-undangan.
Penataan Bisnis Proses
Salah satu konsekuensi dari penerapan metode omnibus law adalah perlunya penataan kembali bisnis proses pembentukan peraturan perundang-undangan. UU yang disusun dengan metode omnibus law memiliki kompleksitas tersendiri karena mencakup berbagai sektor dengan berbagai bidang hukum. Untuk itu, bisnis proses penyusunan dan pembahasan perlu diatur kembali agar memiliki ruang deliberasi yang cukup untuk membedah dan menelaah pasal demi pasal termasuk melakukan konsultasi publik terutama dengan pihak-pihak terdampak.
Penataan bisnis proses juga berkaitan dengan pembahasan lanjutan RUU yang belum selesai (carry over legislasi). Mesikpun telah diatur dalam UU No. 15/2019, namun jika dicermati kembali keputusan untuk carry over legislasi tersebut masih didasarkan atas kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD serta dirumuskan dengan kata “dapat” yang mengandung makna fakultatif. Kepastian mekanisme carry over legislasi ini diperlukan untuk mewujudkan keberlanjutan dan efektivitas pembentukan RUU yang telah disusun masa keanggotaan DPR sebelumnya.
Partisipasi Masyarakat
Penataan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan kedepan juga mencakup penguatan mekanisme partisipasi masyarakat. Pengaturan partisipasi masyarakat dalam UU No. 12/2011 perlu diatur lebih rinci untuk menjamin partisipasi masyarakat yang lebih luas mulai dari perencanaan, penyusunan hingga pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan. Terlebih jika RUU menggunakan metode omnibus law yang berdampak pada banyak pemangku kepentingan, maka sejak awal RUU tersebut harus dapat diakses dengan mudah oleh setiap lapisan masyarakat di berbagai media informasi dan komunikasi.
Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, pemanfaatan big data juga dapat digunakan untuk menyerap aspirasi masyarakat. Setiap masukan akan dianalisa dengan manajemen big data dan kemudian diolah menjadi keluaran baru. Pemanfaatan big data dapat dilakukan dengan mengintegrasikan sistem teknologi informasi yang ada seperti laman SIMAS PUU (Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang) yang dikelola Badan Keahlian DPR maupun laman Partisipasiku milik BPHN (R.D Putranto, 2020).
Pada akhirnya momentum satu dekade UU No. 12/2011 harus digunakan untuk melakukan penataan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan secara menyeluruh. Melalui sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih baik diharapkan dapat meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan yang selaras dengan Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee) atau Rudolf Stammler menyebutnya sebagai bintang pemandu (Leitstern).
(bmm)