Refleksi Satu Dekade UU Nomor 12 Tahun 2011

Rabu, 25 Agustus 2021 - 14:02 WIB
loading...
Refleksi Satu Dekade...
Aji Kurnia Dermawan (Foto: Ist)
A A A
Aji Kurnia Dermawan
Perancang Peraturan Perundang-undangan Kementerian Pertanian, Founder Legal and Policy Drafting Clinic (Lidic), dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran

SAAT ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12/2011) telah memasuki satu dekade pemberlakuan. Dalam rentang waktu ini, UU No. 12/2011 telah mengalami satu kali perubahan dengan UU No. 15/2019 yang berkaitan dengan penguatan eksistensi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam menjalankan fungsi legislasi, mekanisme pengharmonisasian rancangan peraturan daerah inisiatif gubernur, mekanisme carry over legislasi, pemantauan peraturan perundang-undangan, dan pembentukan kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sejak awal, UU No. 12/2011 memiliki pertimbangan filosofis yaitu mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum dengan melaksanakan pembangunan hukum nasional melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Pemikiran negara hukum yang berlandaskan pada peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari pandangan M.C. Burkens yang menyatakan salah satu prasyarat negara hukum yaitu keseluruhan tindakan pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan (wettelijke grondslag).

Namun cita-cita mewujudkan peraturan perundang-undangan yang baik dan efektif sejak dulu hingga sekarang tidak mudah. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang terus menerus lahir di berbagai sektor dan tingkatan telah membawa pada suatu kondisi yang kemudian disebut sebagai hutan belantara peraturan perundang-undangan (Maria Farida, 2021). Dalam satu dekade terakhir ini, peraturan perundang-undangan selalu menjadi momok karena dinilai membebani, menghambat, disharmoni, tumpang tindih, dan minim deliberasi. Di luar itu, pembatalan beberapa UU melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi semakin merefleksikan bahwa sejumlah UU terbukti bertentangan dengan norma-norma dasar dalam konstitusi.

“Fast Track Legislation”
Pengadopsian metode omnibus law dalam penyusunan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja telah membuat proses penyusunan UU ini dilakukan dalam waktu yang relatif cepat sehingga lebih mencerminkan mekanisme fast track legislation yang sebenarnya belum diatur dalam UU No. 12/2011. Pemerintah tetap mengambil opsi ini karena menilai dapat menjadi suatu terobosan untuk mengatasi bottleneck and hyper regulation terutama untuk membuka lapangan kerja melalui kemudahan ekosistem berusaha dan investasi.

Momentum pengadopsian metode omnibus law dan satu dekade UU No. 12/2011 seharusnya digunakan untuk melakukan penataan kembali sistem pembentukan peraturan perundang-undangan melalui proses yang lebih terencana, efektif, transparan, partisipatif, dan terpadu. Setidaknya terdapat lima hal yang penting dalam upaya perbaikan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan.

Perencanaan Legislasi
Penataan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai dari pembenahan kebijakan perencanaan legislasi. Perencanaan legislasi selama ini masih belum sinkron dan harmonis dengan perencanaan pembangunan akibatnya masih ditemukan produk legislasi yang sebenarnya tidak mendukung perencanaan pembangunan. Dalam Program Penyusunan (Progsun) Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) memerlukan penataan kewenangan dan bisnis proses sehingga proses pengusulan, klarifikasi dan verifikasi RPP dan RPerpres menjadi lebih efektif dan efisien. Keterlibatan beberapa lembaga pemerintah seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), termasuk Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet dalam hal memerlukan izin prakarsa memperlihatkan begitu banyaknya instansi pemerintah yang terlibat dalam proses pengusulan RPP dan RPerpres.

Pengharmonisasian
Berdasarkan kewenangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan merupakan leading sector dalam melakukan proses pengharmonisasian. Namun dalam praktik, upaya sinkronisasi juga dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah lain.

Pada tingkat peraturan menteri misalnya pernah diterbitkan Inpres No. 7/2017 dan surat Sekretaris Kabinet Nomor B-0144/Seskab/Polhukam/04/2020 yang memerintahkan peraturan menteri/kepala lembaga perlu mendapat persetujuan Presiden terlebih dahulu yakni yang memiliki kriteria berdampak luas bagi kehidupan masyarakat, bersifat strategis, lintas sektor atau lintas kementerian/lembaga. Hingga pada akhirnya kebijakan tersebut diperkuat dengan Perpres No. 68/2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga.

Ke depan penataan proses pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan akan lebih efektif jika dilakukan dalam sistem satu atap (one roof system). Pembentukan badan/pusat legislasi nasional yang diamanatkan UU No. 12/2011 dapat mengakomodasi kebutuhan one roof system tidak saja dalam upaya pengharmonisasian namun secara keseluruhan dari perencanaan hingga evaluasi.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1185 seconds (0.1#10.140)