Azyumardi Azra Sebut Politik Identitas Sudah Tak Perlu Dikhawatirkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Profesor Azyumardi Azra mengatakan, terkait persoalan sentimen keagamaan dalam pengaruh demokrasi Indonesia sejatinya banyak diskusi yang membahas tentang politik identitas , khususnya Islamic Political Identity di Indonesia. Namun, persoalan politik identitas itu tak harus dikhwatirkan.
Menurutnya, para tokoh kelompok 212 itu saat ini saja ada yang masuk ke berbagai partai politik dan ada juga yang tak ikut partai manapun. Maka itu, tak perlu dikhawatirkan bakal mempengaruhi demokrasi Indonesia meskipun masih ada mungkin yang menginginkan membaktikan politik identitas itu.
"Indonesia itu beda dengan negara lain dimana politik identitas itu muncul, misal salah satu faktor kebangkitan politik identitas di beberapa negara Eropa dan Amerika itu karena kesulitan ekonomi, kecuali yang masih betul-betul sehat itu Jerman, kalau yang lainnya itu sudah payah," tuturnya.
Faktor kedua, kata dia, banyaknya imigran, di negara Eropa banyak imigran, terutama orang Islam, sedangkan di Amerika kebanyakan orang latino dan asia, ditambah lagi orang kulit hitam atau black yang sudah lama hingga mendorong munculnya politik identitas.
Berbeda dengan negara di Eropa dan Amerika, di Indonesia tak ada faktor imigran dan kebanyakan politisi Indonesia relatif bersahabat dengan agama sehingga tak ada politik identitas.
"Sentimen keagamaan, juga belum berhasilnya atau gagalnya komunikasi publik dengan ormas keagamaan dan belum lama ini Ketum PBNU, KH Said Aqil Siroj mengatakan, pemerintah ini seolah bisa menyelesaikan Covid-19 ini dan tidak mau bicara, tak mau mengajak dialog dengan ormas-ormas agama yang sebetulnya pengaruhnya sangat besar dan mempunyai kemampuan filantropi untuk menggalang solidaritas sosial," katanya.
Maka itu tambahnya, persoalan komuniksi itu menjdi masalah agenda penting bagi pemerintah Indonesia bila ingin memajukan kembali demokrasi Indonesia lantaran bagaimanapun faktor keagamaan itu penting.
Apalagi, ormas-ormas wasatia dan jalan tengah, seperti NU-Muhammdiyah itu diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial keagamaan Indonesia, sosial, dan politik Indonesia hingga mempersempit ruang bagi kelompok semacam 212, atau bahkan kelompok radikal dan terorisme untuk mempengaruhi wacana dan arah politik Indonesia.
Menurutnya, para tokoh kelompok 212 itu saat ini saja ada yang masuk ke berbagai partai politik dan ada juga yang tak ikut partai manapun. Maka itu, tak perlu dikhawatirkan bakal mempengaruhi demokrasi Indonesia meskipun masih ada mungkin yang menginginkan membaktikan politik identitas itu.
"Indonesia itu beda dengan negara lain dimana politik identitas itu muncul, misal salah satu faktor kebangkitan politik identitas di beberapa negara Eropa dan Amerika itu karena kesulitan ekonomi, kecuali yang masih betul-betul sehat itu Jerman, kalau yang lainnya itu sudah payah," tuturnya.
Faktor kedua, kata dia, banyaknya imigran, di negara Eropa banyak imigran, terutama orang Islam, sedangkan di Amerika kebanyakan orang latino dan asia, ditambah lagi orang kulit hitam atau black yang sudah lama hingga mendorong munculnya politik identitas.
Berbeda dengan negara di Eropa dan Amerika, di Indonesia tak ada faktor imigran dan kebanyakan politisi Indonesia relatif bersahabat dengan agama sehingga tak ada politik identitas.
"Sentimen keagamaan, juga belum berhasilnya atau gagalnya komunikasi publik dengan ormas keagamaan dan belum lama ini Ketum PBNU, KH Said Aqil Siroj mengatakan, pemerintah ini seolah bisa menyelesaikan Covid-19 ini dan tidak mau bicara, tak mau mengajak dialog dengan ormas-ormas agama yang sebetulnya pengaruhnya sangat besar dan mempunyai kemampuan filantropi untuk menggalang solidaritas sosial," katanya.
Maka itu tambahnya, persoalan komuniksi itu menjdi masalah agenda penting bagi pemerintah Indonesia bila ingin memajukan kembali demokrasi Indonesia lantaran bagaimanapun faktor keagamaan itu penting.
Apalagi, ormas-ormas wasatia dan jalan tengah, seperti NU-Muhammdiyah itu diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial keagamaan Indonesia, sosial, dan politik Indonesia hingga mempersempit ruang bagi kelompok semacam 212, atau bahkan kelompok radikal dan terorisme untuk mempengaruhi wacana dan arah politik Indonesia.
(maf)