Ahli Hukum: Sembarangan Gunakan Pasal TPPU Picu Gangguan Pemulihan Ekonomi Nasional

Senin, 09 Agustus 2021 - 22:15 WIB
loading...
Ahli Hukum: Sembarangan...
Pakar Hukum Pencucian Uang Yenti Garnasih menilai penyitaan uang maupun aset dalam tindak pidana korupsi harus berasal dari hasil kejahatan korupsi. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Pencucian Uang Yenti Garnasih menilai penyitaan uang maupun aset dalam tindak pidana korupsi harus berasal dari hasil kejahatan korupsi. Karenanya, dia menilai penyitaan aset yang bukan kejahatan korupsi berpotensi melanggar HAM.

"Betul-betul harus dicari buktinya bahwa aset yang disita berasal dari kejahatan korupsi. Sehingga hanya harta kekayaan yang murni asalnya dari korupsi kasus tersebut yang layak disita," kata Yenti saat webinar ‘Abuse Of Power Atas Aset Berkedok Penegakan Hukum’, Senin (9/8/2021).

Karenanya agar tak ada polemik dikemudian hari, Yenti menyarankan Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus bisa menyampaikan hasil penelusurannya berikut dengan bukti-buktinya di dalam peradilan. Wanita yang menjabat Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) ini menambahkan, dalam perkara Korupsi Jiwasraya dan Asabri perlu pembuktian dari JPU mengapa ada aset pihak ketiga yang ikut disita dan dilelang.

Sebab, ada hak seseorang secara perdata dalam sebuah kepemilikan aset. Apalagi, lanjutnya, aset tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara. "Mereka inilah yang harus dilindungi hak-haknya. Apalagi mereka tidak berkaitan dengan pihak yang masuk kepada tindak pidana korupsinya, untuk itu kan ada yang namanya hukum acara sehingga para penegak hukum tidak dianggap melakukan abuse of power," jelasnya.

Dalam tindak pidana korupsi, Yenti menyebut, sebenarnya ada perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan atas tindakan perampasan aset tersebut yaitu pada pasal 19 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi. Hanya implementasinya belum dijalankan di pengadilan. "Secara logika pasal ini menampung berbagai keberatan pihak ketiga, yang harapannya untuk mengetahui bisa nggak aset tak terkait perkara tersebut tidak dilakukan eksekusi dalam putusan hakim, itu kan gitu ya," jelasnya.

Namun dalam pelaksanaannya, pasal ini seperti tak sinergi dan tidak masuk akal baginya. Hal ini dikarenakan hakim enggan melindungi hak pihak ketiga sebagaimana diamanatkan undang-undang. "Lalu untuk apa ada pasal 19?" tanya dia. Secara rinci, Yenti menginformasikan pada pasal 19 UU Tipikor, diberikan upaya terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan atas tindakan perampasan aset oleh penyidik untuk melakukan keberatan dengan melakukan pembuktian terbalik.

Dengan demikian, tidak ada warga negara yang tiba-tiba karena permasalahan orang lain lalu harta kekayaannya ikut disita bahkan dilelang. Aturan dan penghitungan harus sesuai dengan saham perusahaan. "Lebih buruk lagi bila penyitaan tersebut hingga mengakibatkan perusahaan yang ikut terdampak karena penyitaan menjadi berhenti bahkan harus mem-PHK karyawannya," ujarnya.

Terkait perkara Jiwasraya-Asabri, Yenti menilai bila benar modus yang digunakan adalah kejahatan pasar modal sebagaimana pernyataan jaksa, maka tidaklah sulit melakukan penelusuran aset-aset nasabah di pasar modal yang tak terkait kasus korupsi, sehingga tak perlu ikut disita. Sebab dalam kasus akan berefek pada perkembangan ekonomi yang sedang dibangun. Ini pun tak selaras dengan program pemulihan ekonomi nasional yang didengungkan Presiden Jokowi. "Kalau memang betul ada bukti bahwa penyitaan-penyitaan ini tidak sesuai dengan prosedur hukum maka bisa dikatakan sebagai satu langkah abuse of power telah terjadi dalam proses penanganan kasus Jiwasraya-Asabri," kata dia.

Sementara Kuasa Hukum PT JBU-PT TRAM, Haris Azhar menemukan keanehan dalam proses penyitaan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Salah satunya nilai saham menjadi nol. "Dalam konteks bisnis action, aset itu dialihkan kemana? Apakah ditahan itu aset hingga menjadi nol. Kalau aset menjadi nol, rugi dong," kata Haris.

Terlebih dalam sitaan ini ada dana program setting plan-nya karyawan PT PAL Indonesia senilai 220 miliar, pengelolaan tambang batubara di Kutai dibawah bendera perseroan PT GBU. Kedua aset itu dinilai tidak dimiliki atau nominee. "Namun mengapa yang selalu muncul ke media dana publik hanya nilai bombastinya dari kerugian negara, sebenarnya yang merugikan itu siapa? Apa perannya orang-orang yang kemudian saham atau asetnya disita? Orang-orang ini kemudian kehilangan akses terhadap aset milinya yang menjadi sitaan jaksa," imbuhnya.

Melihat kondisi demikian, Haris menilai tidak ada satu mekanisme yang dijamin oleh hukum, yang bisa memfasilitasi perlindungan atas aset pihak ketiga. Satu-satunya yang bisa memberikan angin segar, lanjutnya, yaitu temuan dari ombudsman, namun itupun bila hasil temuannya ditindaklanjuti.

"Saya ingin tekankan bahwa penanganan korupsi itu tidak boleh semena-mena, nggak bisa sekedar menyita, merampas dan melelang. Ini kan seolah-olah negara nggak punya duit, lalu tiba-tiba diambillah aset Jiwasraya dan akhirnya nasabah yang harus bayar. Seolah negara lupa bahwa ada keterlibatan keringat, pemikiran, air mata atau mungkin juga darah yang telah berkontribusi dalam proses kapitalisasi aset nasabah," paparnya.

Terlebih saat ini, lanjut Haris para penyidik ini tidak bisa menunjukkan korelasi antara pelaku dengan asetnya sehingga menyebar tuduhan bahwa pemiliknya adalah nominee dari terpidana. "Agar memudahkan hartanya atau asetnya diambil untuk menutupi kerugian negara yang sebenarnya tidak nyata karena BPK masih menghitung potensi dan bukan riil" tegasnya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1307 seconds (0.1#10.140)