Pandemi Covid-19 Mengancam Masa Depan Anak Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 berdampak luas pada kehidupan umat manusia. Bahkan, jika tidak ada solusi, bencana kesehatan yang tengah terjadi bisa mengancam anak dan masa depan mereka, khususnya di Tanah Air. Bagaimana bisa terjadi?
Selama pandemi berlangsung, tercatat lebih dari 87.000 balita serta 300.000 anak dan remaja yang sudah terpapar virus Corona. Sebanyak 395 balita, 435 anak dan remaja di antaranya meninggal dunia akibat virus tersebut.
Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kasus Covid-19 pada anak di Indonesia mencapai 12-13% dan termasuk yang tertinggi di dunia. Kondisi ini diperburuk dengan kematian anak balita yang juga meningkat hampir 50% akibat pandemi.
Namun, lebih dari itu, ada dampak jangka panjang yang tidak kalah memprihatinkan. Menurut data Kementerian Kesehatan pada 2020, selama pandemi Covid-19, sebanyak 83,9% pelayanan kesehatan dasar tidak bisa berjalan dengan optimal, terutama posyandu.
Dampaknya adalah, banyak ibu hamil yang tidak mendapatkan pelayanan antenatal yang memadai dan balita kurang terpantau perkembangan kesehatan dan pertumbuhannya. Situasi ini juga terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Di sisi lain, pandemi yang memukul perekonomian, secara langsung berdampak pada daya beli masyarakat, termasuk untuk membeli susu dan makanan bergizi untuk anak-anak mereka. Kondisi ini tentu berdampak pada kualitas tumbuh kembang anak Indonesia di masa mendatang.
Pandemi yang berlarut ini pun pada akhirnya menghambat upaya pemerintah untuk mengatasi stunting. Dalam laporan UNICEF mengenai level malnutrisi anak edisi 2021, diungkapkan ada jutaan anak-anak yang kegemukan, kurang nutrisi, hingga stunting di dunia. Khusus stunting, ada sekitar 149,2 juta anak atau setara 22% anak-anak balita di dunia pada 2020.
Data di Indonesia, jumlah anak stunting di Indonesia masih tinggi meski menurun dibanding 2012. Berdasarkan estimasi UNICEF, terdapat 31,8% anak stunting di Indonesia, sehingga meraih predikat “very high”. Lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan (2,2%), Jepang (5,5%), Malaysia (20,9%), China (4,7%), Thailand (12,3%), Filipina (28,7%), dan Kenya (19,4%).
Selama pandemi berlangsung, tercatat lebih dari 87.000 balita serta 300.000 anak dan remaja yang sudah terpapar virus Corona. Sebanyak 395 balita, 435 anak dan remaja di antaranya meninggal dunia akibat virus tersebut.
Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kasus Covid-19 pada anak di Indonesia mencapai 12-13% dan termasuk yang tertinggi di dunia. Kondisi ini diperburuk dengan kematian anak balita yang juga meningkat hampir 50% akibat pandemi.
Namun, lebih dari itu, ada dampak jangka panjang yang tidak kalah memprihatinkan. Menurut data Kementerian Kesehatan pada 2020, selama pandemi Covid-19, sebanyak 83,9% pelayanan kesehatan dasar tidak bisa berjalan dengan optimal, terutama posyandu.
Dampaknya adalah, banyak ibu hamil yang tidak mendapatkan pelayanan antenatal yang memadai dan balita kurang terpantau perkembangan kesehatan dan pertumbuhannya. Situasi ini juga terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Di sisi lain, pandemi yang memukul perekonomian, secara langsung berdampak pada daya beli masyarakat, termasuk untuk membeli susu dan makanan bergizi untuk anak-anak mereka. Kondisi ini tentu berdampak pada kualitas tumbuh kembang anak Indonesia di masa mendatang.
Pandemi yang berlarut ini pun pada akhirnya menghambat upaya pemerintah untuk mengatasi stunting. Dalam laporan UNICEF mengenai level malnutrisi anak edisi 2021, diungkapkan ada jutaan anak-anak yang kegemukan, kurang nutrisi, hingga stunting di dunia. Khusus stunting, ada sekitar 149,2 juta anak atau setara 22% anak-anak balita di dunia pada 2020.
Data di Indonesia, jumlah anak stunting di Indonesia masih tinggi meski menurun dibanding 2012. Berdasarkan estimasi UNICEF, terdapat 31,8% anak stunting di Indonesia, sehingga meraih predikat “very high”. Lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan (2,2%), Jepang (5,5%), Malaysia (20,9%), China (4,7%), Thailand (12,3%), Filipina (28,7%), dan Kenya (19,4%).