PPN Hasil Pertanian, Layakkah?
loading...
A
A
A
Sedangkan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN antara lain jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa angkutan umum, jasa perhotelan, dan jasa boga atau katering.
Banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pemungutan PPN mengakibatkan dampak ekonomi berupa distorsi ekonomi, tax incidence, dampak sosial, dan tentunya dampak terhadap penerimaan pajak akibat tingginya belanja pajak atau tax expenditure.
Tax expenditure didefinisikan sebagai penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system). Dengan kata lain, tax expenditure merupakan jumlah pajak yang mestinya diterima oleh pemerintah, tapi dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas sehingga tidak perlu disetorkan ke kas negara.
Dalam Tax Expenditure Report (TER) 2019 yang dibuat oleh BKF Kemenkeu disebutkan bahwa jumlah tax expenditure di bidang PPN mencapai Rp166,92 triliun. Sebelum itu, tax expenditure PPN berjumlah Rp142,81 triliun pada tahun 2018 dan Rp132,84 triliun pada tahun 2017.
Angka tersebut berasal dari fasilitas PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omset sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun dan juga pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat seperti barang kebutuhan pokok, jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
PPN Hasil Pertanian
Sebelum revisi kedua UU PPN pada tahun 2000, barang hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan, yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya bukan objek PPN alias tidak kena PPN. Hal itu sebagaimana Pasal 4A UU PPN yang dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 50 Tahun 1994. Demikian juga barang hasil peternakan, perburuan/penangkapan, penangkaran, serta barang hasil penangkapan atau budidaya perikanan yang diambil langsung dari sumbernya.
UU Nomor 18 Tahun 2000 menghapus barang-barang sebagaimana di atas dari kelompok “tidak dikenai PPN”. Dengan kata lain, sejak saat itu barang hasil pertanian dan sejenisnya menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
Meskipun demikian, melalui PP No. 12 Tahun 2001 pemerintah memberikan fasilitas “pembebasan PPN” atas impor dan penyerahan di dalam negeri untuk bibit dan/atau benih dari barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan. Demikian juga untuk penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani.
Konsekuensi dari adanya fasilitas ini, pengusaha yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian dan sejenisnya tidak dapat melakuan pengkreditan pajak masukan yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
Sebagai informasi, pajak masukan adalah PPN yang dibayar pengusaha pada saat memperoleh BKP. Lawannya adalah pajak keluaran, yaitu PPN yang dipungut pengusaha dari konsumen saat BKP diserahkan atau dijual. Selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan adalah jumlah yang harus dibayarkan ke kas negara (mekanisme pengkreditan).
Banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pemungutan PPN mengakibatkan dampak ekonomi berupa distorsi ekonomi, tax incidence, dampak sosial, dan tentunya dampak terhadap penerimaan pajak akibat tingginya belanja pajak atau tax expenditure.
Tax expenditure didefinisikan sebagai penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system). Dengan kata lain, tax expenditure merupakan jumlah pajak yang mestinya diterima oleh pemerintah, tapi dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas sehingga tidak perlu disetorkan ke kas negara.
Dalam Tax Expenditure Report (TER) 2019 yang dibuat oleh BKF Kemenkeu disebutkan bahwa jumlah tax expenditure di bidang PPN mencapai Rp166,92 triliun. Sebelum itu, tax expenditure PPN berjumlah Rp142,81 triliun pada tahun 2018 dan Rp132,84 triliun pada tahun 2017.
Angka tersebut berasal dari fasilitas PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omset sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun dan juga pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat seperti barang kebutuhan pokok, jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
PPN Hasil Pertanian
Sebelum revisi kedua UU PPN pada tahun 2000, barang hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan, yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya bukan objek PPN alias tidak kena PPN. Hal itu sebagaimana Pasal 4A UU PPN yang dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 50 Tahun 1994. Demikian juga barang hasil peternakan, perburuan/penangkapan, penangkaran, serta barang hasil penangkapan atau budidaya perikanan yang diambil langsung dari sumbernya.
UU Nomor 18 Tahun 2000 menghapus barang-barang sebagaimana di atas dari kelompok “tidak dikenai PPN”. Dengan kata lain, sejak saat itu barang hasil pertanian dan sejenisnya menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
Meskipun demikian, melalui PP No. 12 Tahun 2001 pemerintah memberikan fasilitas “pembebasan PPN” atas impor dan penyerahan di dalam negeri untuk bibit dan/atau benih dari barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan. Demikian juga untuk penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani.
Konsekuensi dari adanya fasilitas ini, pengusaha yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian dan sejenisnya tidak dapat melakuan pengkreditan pajak masukan yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
Sebagai informasi, pajak masukan adalah PPN yang dibayar pengusaha pada saat memperoleh BKP. Lawannya adalah pajak keluaran, yaitu PPN yang dipungut pengusaha dari konsumen saat BKP diserahkan atau dijual. Selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan adalah jumlah yang harus dibayarkan ke kas negara (mekanisme pengkreditan).