Dilema Energi Terbarukan di Tengah Melemahnya Harga Minyak
loading...
A
A
A
Sampe L. Purba
Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan,
Alumni Lemhannas
Aktif di Komunitas Energi.
HARGA minyak saat ini berada di kisaran USD25 per barel. Harga ini jatuh 50% dari Januari 2020. Banyak kalangan melihat hal ini sebagai momentum percepatan transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah didorong agar memberi insentif baik fiskal, non-fiskal maupun relaksasi regulasi di EBT.
Hal ini didasari premis bahwa tidak berkembangnya sektor EBT adalah karena faktanya harga listrik per KwH dari EBT lebih mahal dibanding energi primer fosil (utamanya gas dan batubara). Atas nama perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, negara negara maju khususnya Eropa mendorong nihilisasi penggunaan energi fosil, yang dibungkus dengan jargon energi transisi. (Baca juga: Harga Minyak Dunia Jatuh Dibayangi Ketegangan Hubungan AS-China )
Untuk Indonesia, mendorong energi baru terbarukan dengan menomorduakan energi fosil bukan pandangan yang bijak. Alasanya, pertama, keunggulan kompetitif Indonesia adalah pada energi primer berbasis fosil, bukan pada EBT. Indonesia bersama dengan China, India, Australia dan Amerika Serikat adalah lima besar penghasil utama batu bara di dunia.
Negara-negara ini tidak terlalu peduli dengan alasan proteksi iklim yang diributkan itu. China dan India adalah importir terbesar batu bara Indonesia. (Baca juga: Harga BBM dan Wabah Virus Korona )
Batu bara tidak saja merupakan sumber energi primer murah bagi kelistrikan. Batubara adalah salah satu andalan modal pembangunan. Penggerak ekonomi, menyerap tenaga kerja dan penerimaan negara dan penghasil devisa bagi daerah maupun nasional. Sekitar 60% pembangkit listrik terpasang di Indonesia saat ini menggunakan batubara, kemudian disusul pembangkit gas sekitar 25%.
Kedua, sistem kelistrikan di Indonesia belum sepenuhnya terkoneksi (on grid) dengan sumber energi primer berbasis EBT. Pembangkit listrik berbasis airyang baru (PLTA) bersama dengan batu bara lebih banyak ditujukan untuk penggunaan sendiri di industri smelter.
Adapun energi panas bumi (geo thermal) atau biomassa, hanya akan ekonomis apabila disubsidi Pemerintah dengantipping fee, fit-in tariff atau harga patokan dan volume untuk diserap PT PLN berdasarkan penugasan. Penugasan yang tidak didasarkan pada urgensi kebutuhan dan harga keekonomianakan memberatkan PLN sebagai korporasi satu satunya Badan Usaha Kelistrikan terintergrasi di Indonesia.
Pada akhirnya apabila dipaksakan demi pertumbuhan EBT, beban kemahalan tersebut akan ditanggung masyarakat banyak baik melalui kenaikan tarif listrik PT PLN atau subsidi listrik melalui APBN.
Ketiga, pertumbuhan permintaan listrik memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Perekonomian dan aktivitas masyarakat saat ini mengkerut. Tidak bijaksana menambah beban PT PLN yang sedang berjuang untuk tetap eksis dan sehat.
Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan,
Alumni Lemhannas
Aktif di Komunitas Energi.
HARGA minyak saat ini berada di kisaran USD25 per barel. Harga ini jatuh 50% dari Januari 2020. Banyak kalangan melihat hal ini sebagai momentum percepatan transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah didorong agar memberi insentif baik fiskal, non-fiskal maupun relaksasi regulasi di EBT.
Hal ini didasari premis bahwa tidak berkembangnya sektor EBT adalah karena faktanya harga listrik per KwH dari EBT lebih mahal dibanding energi primer fosil (utamanya gas dan batubara). Atas nama perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, negara negara maju khususnya Eropa mendorong nihilisasi penggunaan energi fosil, yang dibungkus dengan jargon energi transisi. (Baca juga: Harga Minyak Dunia Jatuh Dibayangi Ketegangan Hubungan AS-China )
Untuk Indonesia, mendorong energi baru terbarukan dengan menomorduakan energi fosil bukan pandangan yang bijak. Alasanya, pertama, keunggulan kompetitif Indonesia adalah pada energi primer berbasis fosil, bukan pada EBT. Indonesia bersama dengan China, India, Australia dan Amerika Serikat adalah lima besar penghasil utama batu bara di dunia.
Negara-negara ini tidak terlalu peduli dengan alasan proteksi iklim yang diributkan itu. China dan India adalah importir terbesar batu bara Indonesia. (Baca juga: Harga BBM dan Wabah Virus Korona )
Batu bara tidak saja merupakan sumber energi primer murah bagi kelistrikan. Batubara adalah salah satu andalan modal pembangunan. Penggerak ekonomi, menyerap tenaga kerja dan penerimaan negara dan penghasil devisa bagi daerah maupun nasional. Sekitar 60% pembangkit listrik terpasang di Indonesia saat ini menggunakan batubara, kemudian disusul pembangkit gas sekitar 25%.
Kedua, sistem kelistrikan di Indonesia belum sepenuhnya terkoneksi (on grid) dengan sumber energi primer berbasis EBT. Pembangkit listrik berbasis airyang baru (PLTA) bersama dengan batu bara lebih banyak ditujukan untuk penggunaan sendiri di industri smelter.
Adapun energi panas bumi (geo thermal) atau biomassa, hanya akan ekonomis apabila disubsidi Pemerintah dengantipping fee, fit-in tariff atau harga patokan dan volume untuk diserap PT PLN berdasarkan penugasan. Penugasan yang tidak didasarkan pada urgensi kebutuhan dan harga keekonomianakan memberatkan PLN sebagai korporasi satu satunya Badan Usaha Kelistrikan terintergrasi di Indonesia.
Pada akhirnya apabila dipaksakan demi pertumbuhan EBT, beban kemahalan tersebut akan ditanggung masyarakat banyak baik melalui kenaikan tarif listrik PT PLN atau subsidi listrik melalui APBN.
Ketiga, pertumbuhan permintaan listrik memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Perekonomian dan aktivitas masyarakat saat ini mengkerut. Tidak bijaksana menambah beban PT PLN yang sedang berjuang untuk tetap eksis dan sehat.