Dilema Energi Terbarukan di Tengah Melemahnya Harga Minyak
loading...
A
A
A
Keempat, energi fosil sesungguhnya memiliki prospek dan nilai ekonomi yang besar kalau dihilirisasi. Batu bara misalnya. Produk akhir Methanol atau ethanol dari hilirisasi batu bara selain memberi nilai tambah yang signifikan, juga membantu lingkungan bersih. Dalam konteks ini penguasaan teknologi, pasar, kebijakan dan kerja sama antara pemerintah, badan litbang, dan korporasi sangat diperlukan.
Mendorong EBT akan menunjukkan Indonesia sangat koperatif di mata dunia. Tetapi di sisi lain itu akan mengikis keunggulan kompetitif. Dilematis. Kebijakan energi adalah mencari titik optimum keseimbangan antara memastikan tersedianya energi (availability), harga yang terjangkau (affordability) serta sustainabilitasnya bagi lingkungan dan manfaat kepada masyarakat (sustainability), yang dikenal sebagai trilemma energi.
Kelistrikan adalah penyerap utama energi primer dari EBT. Secara agregat listrik per KwH dari EBT harganya di atas dua kali lipat dari listrik yang dihasilkan oleh energi fosil seperti batu bara dan gas. Negara negara maju mendesak agar externality cost (biaya eksternal) seperti kerusakan lingkungan akibat emisi CO2 dari energi fosil dibebankan sebagai biaya tambahan ke produsen energi fosil. Sebaliknya agar listrik yang dihasilkan EBT disubsidi.
Pada 2005 porsi EBT dalam bauran energi telah mencapai sekitar 5%. Berdasarkan Perpres No 5/2006, target energi baru dan energi terbarukan dalam bauran energi primer dipatok 17% untuk dicapai pada tahun 2025.
Target tersebut direvisi menjadi 23% untuk tahun 2025, dan 31% untuk tahun 2050. Hingga awal tahun 2020 porsi EBT dalam sistem pembangkit kelistrikan Indonesia belum sampai 10%.
Kemampuan fiskal terbatas untuk mensubsidi EBT. Harga minyak yang rendah memberikan pukulan ganda ke kantong pemerintah. Di sisi hulu, sekitar 25% pendapatan negara menurun. Di sisi hilir, rendahnya penjualan produk minyak dan melemahnya mata uang menambah pukulan lain. Di sisi lain, Pemerintah menghadapi begitu banyak prioritas mendesak untuk ditangani karena dampak terkait pandemi ini.
Pemerintah tetap komit untuk memajukan energi baru terbarukan. Pasca Covid-19 – di zaman new normal ini - strategi kebijakan energi baru terbarukan adalah dengan melakukan restrukturisasi dan refocussing program. EBT dikembangkan bersamaan dengan pengembangan ekonomi daerah daerah via pendekatan klaster seperti proyek listrik tenaga surya yang dapat hybrid dengan bio massa yang diintegrasikan dengan klaster ekonomi maritim daerah yang off grid.
Walau skala kecil 1-5 MW, namun kalau jumlah dan persebarannya banyak, itu akan jauh lebih bermanfaat bagi daerah dan masyarakat. Dalam hal ini Pemerintah telah berada pada jalur yang tepat.
Memaksakan penggunaan EBT untuk mencapai target bauran energi sebagaimana diharapkan oleh negara-negara Eropa/Barat, bukanlah pilihan bijak. Masih lebih mendesak bagi Indonesia untuk memperluas jangkauan desa dan pedalaman berlistrik, pada harga yang terjangkau, dari pada sekedar menitik beratkan pada pengurangan emisi CO2.
Lagi pula, emisi CO2 lebih banyak dihasilkan negara negara industri maju. Sementara negara negara tropis seperti Indonesia, malah lebih banyak menyumbang oksigen (O2) yang dinikmati warga dunia termasuk Eropa.
Mendorong EBT akan menunjukkan Indonesia sangat koperatif di mata dunia. Tetapi di sisi lain itu akan mengikis keunggulan kompetitif. Dilematis. Kebijakan energi adalah mencari titik optimum keseimbangan antara memastikan tersedianya energi (availability), harga yang terjangkau (affordability) serta sustainabilitasnya bagi lingkungan dan manfaat kepada masyarakat (sustainability), yang dikenal sebagai trilemma energi.
Kelistrikan adalah penyerap utama energi primer dari EBT. Secara agregat listrik per KwH dari EBT harganya di atas dua kali lipat dari listrik yang dihasilkan oleh energi fosil seperti batu bara dan gas. Negara negara maju mendesak agar externality cost (biaya eksternal) seperti kerusakan lingkungan akibat emisi CO2 dari energi fosil dibebankan sebagai biaya tambahan ke produsen energi fosil. Sebaliknya agar listrik yang dihasilkan EBT disubsidi.
Pada 2005 porsi EBT dalam bauran energi telah mencapai sekitar 5%. Berdasarkan Perpres No 5/2006, target energi baru dan energi terbarukan dalam bauran energi primer dipatok 17% untuk dicapai pada tahun 2025.
Target tersebut direvisi menjadi 23% untuk tahun 2025, dan 31% untuk tahun 2050. Hingga awal tahun 2020 porsi EBT dalam sistem pembangkit kelistrikan Indonesia belum sampai 10%.
Kemampuan fiskal terbatas untuk mensubsidi EBT. Harga minyak yang rendah memberikan pukulan ganda ke kantong pemerintah. Di sisi hulu, sekitar 25% pendapatan negara menurun. Di sisi hilir, rendahnya penjualan produk minyak dan melemahnya mata uang menambah pukulan lain. Di sisi lain, Pemerintah menghadapi begitu banyak prioritas mendesak untuk ditangani karena dampak terkait pandemi ini.
Pemerintah tetap komit untuk memajukan energi baru terbarukan. Pasca Covid-19 – di zaman new normal ini - strategi kebijakan energi baru terbarukan adalah dengan melakukan restrukturisasi dan refocussing program. EBT dikembangkan bersamaan dengan pengembangan ekonomi daerah daerah via pendekatan klaster seperti proyek listrik tenaga surya yang dapat hybrid dengan bio massa yang diintegrasikan dengan klaster ekonomi maritim daerah yang off grid.
Walau skala kecil 1-5 MW, namun kalau jumlah dan persebarannya banyak, itu akan jauh lebih bermanfaat bagi daerah dan masyarakat. Dalam hal ini Pemerintah telah berada pada jalur yang tepat.
Memaksakan penggunaan EBT untuk mencapai target bauran energi sebagaimana diharapkan oleh negara-negara Eropa/Barat, bukanlah pilihan bijak. Masih lebih mendesak bagi Indonesia untuk memperluas jangkauan desa dan pedalaman berlistrik, pada harga yang terjangkau, dari pada sekedar menitik beratkan pada pengurangan emisi CO2.
Lagi pula, emisi CO2 lebih banyak dihasilkan negara negara industri maju. Sementara negara negara tropis seperti Indonesia, malah lebih banyak menyumbang oksigen (O2) yang dinikmati warga dunia termasuk Eropa.