Dilema Energi Terbarukan di Tengah Melemahnya Harga Minyak

Rabu, 27 Mei 2020 - 12:44 WIB
loading...
Dilema Energi Terbarukan di Tengah Melemahnya Harga Minyak
Sampe L. Purba, Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Sampe L. Purba
Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan,
Alumni Lemhannas
Aktif di Komunitas Energi.

HARGA minyak saat ini berada di kisaran USD25 per barel. Harga ini jatuh 50% dari Januari 2020. Banyak kalangan melihat hal ini sebagai momentum percepatan transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah didorong agar memberi insentif baik fiskal, non-fiskal maupun relaksasi regulasi di EBT.

Hal ini didasari premis bahwa tidak berkembangnya sektor EBT adalah karena faktanya harga listrik per KwH dari EBT lebih mahal dibanding energi primer fosil (utamanya gas dan batubara). Atas nama perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, negara negara maju khususnya Eropa mendorong nihilisasi penggunaan energi fosil, yang dibungkus dengan jargon energi transisi. (Baca juga: Harga Minyak Dunia Jatuh Dibayangi Ketegangan Hubungan AS-China )

Untuk Indonesia, mendorong energi baru terbarukan dengan menomorduakan energi fosil bukan pandangan yang bijak. Alasanya, pertama, keunggulan kompetitif Indonesia adalah pada energi primer berbasis fosil, bukan pada EBT. Indonesia bersama dengan China, India, Australia dan Amerika Serikat adalah lima besar penghasil utama batu bara di dunia.

Negara-negara ini tidak terlalu peduli dengan alasan proteksi iklim yang diributkan itu. China dan India adalah importir terbesar batu bara Indonesia. (Baca juga: Harga BBM dan Wabah Virus Korona )

Batu bara tidak saja merupakan sumber energi primer murah bagi kelistrikan. Batubara adalah salah satu andalan modal pembangunan. Penggerak ekonomi, menyerap tenaga kerja dan penerimaan negara dan penghasil devisa bagi daerah maupun nasional. Sekitar 60% pembangkit listrik terpasang di Indonesia saat ini menggunakan batubara, kemudian disusul pembangkit gas sekitar 25%.

Kedua, sistem kelistrikan di Indonesia belum sepenuhnya terkoneksi (on grid) dengan sumber energi primer berbasis EBT. Pembangkit listrik berbasis airyang baru (PLTA) bersama dengan batu bara lebih banyak ditujukan untuk penggunaan sendiri di industri smelter.

Adapun energi panas bumi (geo thermal) atau biomassa, hanya akan ekonomis apabila disubsidi Pemerintah dengantipping fee, fit-in tariff atau harga patokan dan volume untuk diserap PT PLN berdasarkan penugasan. Penugasan yang tidak didasarkan pada urgensi kebutuhan dan harga keekonomianakan memberatkan PLN sebagai korporasi satu satunya Badan Usaha Kelistrikan terintergrasi di Indonesia.

Pada akhirnya apabila dipaksakan demi pertumbuhan EBT, beban kemahalan tersebut akan ditanggung masyarakat banyak baik melalui kenaikan tarif listrik PT PLN atau subsidi listrik melalui APBN.

Ketiga, pertumbuhan permintaan listrik memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Perekonomian dan aktivitas masyarakat saat ini mengkerut. Tidak bijaksana menambah beban PT PLN yang sedang berjuang untuk tetap eksis dan sehat.

Keempat, energi fosil sesungguhnya memiliki prospek dan nilai ekonomi yang besar kalau dihilirisasi. Batu bara misalnya. Produk akhir Methanol atau ethanol dari hilirisasi batu bara selain memberi nilai tambah yang signifikan, juga membantu lingkungan bersih. Dalam konteks ini penguasaan teknologi, pasar, kebijakan dan kerja sama antara pemerintah, badan litbang, dan korporasi sangat diperlukan.

Mendorong EBT akan menunjukkan Indonesia sangat koperatif di mata dunia. Tetapi di sisi lain itu akan mengikis keunggulan kompetitif. Dilematis. Kebijakan energi adalah mencari titik optimum keseimbangan antara memastikan tersedianya energi (availability), harga yang terjangkau (affordability) serta sustainabilitasnya bagi lingkungan dan manfaat kepada masyarakat (sustainability), yang dikenal sebagai trilemma energi.

Kelistrikan adalah penyerap utama energi primer dari EBT. Secara agregat listrik per KwH dari EBT harganya di atas dua kali lipat dari listrik yang dihasilkan oleh energi fosil seperti batu bara dan gas. Negara negara maju mendesak agar externality cost (biaya eksternal) seperti kerusakan lingkungan akibat emisi CO2 dari energi fosil dibebankan sebagai biaya tambahan ke produsen energi fosil. Sebaliknya agar listrik yang dihasilkan EBT disubsidi.

Pada 2005 porsi EBT dalam bauran energi telah mencapai sekitar 5%. Berdasarkan Perpres No 5/2006, target energi baru dan energi terbarukan dalam bauran energi primer dipatok 17% untuk dicapai pada tahun 2025.

Target tersebut direvisi menjadi 23% untuk tahun 2025, dan 31% untuk tahun 2050. Hingga awal tahun 2020 porsi EBT dalam sistem pembangkit kelistrikan Indonesia belum sampai 10%.

Kemampuan fiskal terbatas untuk mensubsidi EBT. Harga minyak yang rendah memberikan pukulan ganda ke kantong pemerintah. Di sisi hulu, sekitar 25% pendapatan negara menurun. Di sisi hilir, rendahnya penjualan produk minyak dan melemahnya mata uang menambah pukulan lain. Di sisi lain, Pemerintah menghadapi begitu banyak prioritas mendesak untuk ditangani karena dampak terkait pandemi ini.

Pemerintah tetap komit untuk memajukan energi baru terbarukan. Pasca Covid-19 – di zaman new normal ini - strategi kebijakan energi baru terbarukan adalah dengan melakukan restrukturisasi dan refocussing program. EBT dikembangkan bersamaan dengan pengembangan ekonomi daerah daerah via pendekatan klaster seperti proyek listrik tenaga surya yang dapat hybrid dengan bio massa yang diintegrasikan dengan klaster ekonomi maritim daerah yang off grid.

Walau skala kecil 1-5 MW, namun kalau jumlah dan persebarannya banyak, itu akan jauh lebih bermanfaat bagi daerah dan masyarakat. Dalam hal ini Pemerintah telah berada pada jalur yang tepat.

Memaksakan penggunaan EBT untuk mencapai target bauran energi sebagaimana diharapkan oleh negara-negara Eropa/Barat, bukanlah pilihan bijak. Masih lebih mendesak bagi Indonesia untuk memperluas jangkauan desa dan pedalaman berlistrik, pada harga yang terjangkau, dari pada sekedar menitik beratkan pada pengurangan emisi CO2.

Lagi pula, emisi CO2 lebih banyak dihasilkan negara negara industri maju. Sementara negara negara tropis seperti Indonesia, malah lebih banyak menyumbang oksigen (O2) yang dinikmati warga dunia termasuk Eropa.

Tetapi apakah mereka mengkompensasi negara berkembang? Tidak. Negara Barat memang ada menggunakan schema carbon trading sebagai insentif. Tetapi insentif tersebut adalah kepada perusahaan dan penyedia teknologi yang ujung ujungnya kembali ke negara mereka.

Sedangkan negara yang menghasilkan O2 dengan memproteksi hutan dan lain tidak mendapatkan insentif apapun. Malah produk negara berkembang ditutup dan dipersulit masuk negara Masyarakat Eropa, atas labeling perusakan lingkungan dan lain-lain.

Saatnya Indonesia dengan kepala tegak dan suara tegas mengatakan kepada dunia: “kami peduli dengan lingkungan global, tetapi kami yang lebih mengerti apa yang mendesak dan prioritas bagi masyarakat, bangsa dan negara kami”.

Jakarta, Mei 2020
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1134 seconds (0.1#10.140)