Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Pandemi dan Transformasi Menuju The New Normal

Rabu, 27 Mei 2020 - 09:32 WIB
loading...
A A A
Pada tahun 1908, 1922, ataupun 1928 dapat kita bayangkan bahwa perubahan saat itu tentunya sangat lambat, mobilitas tidak secepat saat ini, teknologi belum berkembang, informasi sangat terbatas penyebarannya. Pada masa itu, transformasi barangkali bisa dibaratkan sunah hukumnya.

Para pemimpin pada saat itu bisa saja bersikap slow, atau bahasa milenialnya, woles, untuk melakukan perubahan. Coba bayangkan kalau pemimpin kita saat itu bersikap woles, tidak melakukan transformasi? Mungkin kita tidak pernah merasakan arti sebagai bangsa, pendidikan kita terbelakang, kita berjuang sendiri-sendiri kedaerahan, dan mungkin kita tidak mendapat rintisan jalan menuju merdeka.

Sebagai refleksi Hari Kebangkitan Nasional, kita perlu mengambil pelajaran dari pemimpin kita terdahulu. Jangan sampai pada zaman dimana transformasi adalah hukumnya wajib, kita justru gagal untuk melakukan transformasi.

Change equation model dari Beckhard and Harris , menyimpulkan bahwa transformasi dan perubahan akan berhasil jika terdapat: (i) ketidak-puasan dengan kondisi saat ini (dissatisfaction with the present), (ii) visi masa depan yang jelas (vision of the future), (iii) langkah pertama yang praktis (practical first step), dan (iv) dukungan dari pimpinan (leadership support).

Ketidak-puasan dengan kondisi yang ada (dissatisfaction with the present) terlihat pada momen Kebangkitan Nasional. Dr. Soetomo dan kawan-kawan saat itu tidak puas dengan kondisi masyarakat kita yang terbelakang dan hanya menjalankan apa yang ada. Saat itu belum ada kesadaran bahwa kita ini adalah sebuah bangsa, yang bisa merdeka dan mengatur diri sendiri. Ki Hadjar dan kawan-kawannya tidak puas dengan keterbatasan akses pendidikan untuk sebagian besar masyarakatnya.

Yang harus kita teladani dari dua peristiwa tersebut adalah bahwa para leader pada saat itu lebih memikirkan kondisi masyarakatnya dari pada kepentingan diri sendiri. Mereka semua adalah orang-orang yang mapan dan berkecukupan, namun mereka tetap memimpin transformasi karena mereka tidak puas kondisi masyarakatnya.

Sebagai refleksi, saat ini seharusnya kita lebih mempunyai komitmen untuk melakukan perubahan. Perubahan lingkungan yang cepat dan dinamis, serta disrupsi yang terus-menerus, seharusnya menimbulkan lebih banyak alasan bagi kita untuk tidak-puas dengan kondisi yang ada.

Sayang sekali, anggota organisasi saat ini banyak yang bersikap complacent, terlalu cepat puas dengan apa yang sudah dicapai, meskipun kinerjanya tidak bagus. Mereka resisten atau enggan berubah, karena merasa berkerja seperti sekarang saja toh tidak ada masalah, hidup jalan terus.

Pemimpin organisasi saat ini harus bisa mendobrak keengganan (resistensi) untuk berubah. Pemimpin harus bisa mengkomunikasikan risiko dan krisis yang (sebenarnya) sedang dihadapi atau akan dihadapi. Pemimpin harus bisa ‘menciptakan’ krisis.

Organisasi yang saat ini berkinerja dengan baik maupun yang saat ini tertatih-tatih mencapai targetnya, sama-sama berhadapan dengan krisis. Semuanya menghadapi risiko-risiko baru yang terus menerus muncul karena perkembangan lingkungan dan kompetisi yang sangat cepat. Justru kinerja yang baik sering membuat organisasi ‘tertidur’, dan tidak sempat merespon perubahan lingkungan tepat waktu.
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1878 seconds (0.1#10.140)