Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Pandemi dan Transformasi Menuju The New Normal

Rabu, 27 Mei 2020 - 09:32 WIB
loading...
Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Pandemi dan Transformasi Menuju The New Normal
Hari Setiaonto. Foto: istimewa
A A A
Hari Setianto

President, Institute of Internal Auditors (IIA) Indonesia
Advisor – Governance, Risk Management dan Compliance
Direktur dan Komisaris pada perusahaan terbuka

Menutup bulan Mei 2020, kita beruntung dapat mengambil beberapa pelajaran. Bulan Mei adalah bulan kesadaran budaya bangsa Indonesia. Pada bulan ini, kita memperingati dua hari nasional yang penting, yaitu Hari Pendidikan Nasional - tanggal 2 Mei, dan Hari Kebangkitan Nasional - tanggal 20 Mei.

Bulan Mei tahun 2020 ini menjadi lebih spesial lagi, karena kita pada bulan ini sedang berada di tengah-tengah kejadian luar biasa, pandemic Covid-19. Pada bulan Mei 2020 ini juga, kita merayakan kemenangan kembali ke suci, Iedul Fitri, dan melaksanakan sebagian besar ibadah puasa.

Secara hakikat, dua hari bersejarah di bulan Mei adalah sebuah peristiwa transformasi atau perubahan, dari peradaban yang kurang maju menjadi peradaban yang lebih baik. Pada zaman modern sekarang ini, perubahan dan transformasi semakin menjadi imperatif (keharusan), antara lain karena perubahan lingkungan, sosial, disrupsi, dan kemajuan teknologi.

Namun pada kenyataannya, selama ini kita sangat enggan untuk berubah. Resistensi terhadap perubahan sangatlah kuat.
Covid-19 sepertinya mempercepat semua inovasi. Resistensi untuk melakukan perubahan dan inovasi lenyap seketika setelah pandemic Covid-19. Keharusan work from home dan kerja jarak jauh telah menghilangkan keengganan kita untuk mencoba cara baru, termasuk menggunakan berbagai teknologi yang terkait dengan remote working.

Covid-19 juga telah melenyapkan resistensi terhadap digitalisasi. Hampir lima tahun terkahir ini, digitalisasi sering sekali menjadi slogan dalam peringatan hari jadi suatu perusahaan. Namun jarang yang berhasil mewujudkannya, karena resistensi dan ketakutan yang besar.

Semangat Transformasi Nasional

Hari Pendidikan Nasional dicanangkan untuk memperingati hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara. Meskipun lahir dari keluarga yang berada (kaya), Ki Hadjar memprotes kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan.

Pendirian perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara (sekembalinya beliau dari pengasingan) merupakan tonggak dibukanya kesetaraan dalam pendidikan untuk semua orang. Pada saat bersamaan juga dicanangkan Patrap Triloka sebagai panduan pendidikan, yakni: Ing ngarsa sung tulada (yang - di depan memberi teladan), Ing madya mangun karsa (yang - di tengah membangun kemauan/inisiatif), dan Tut wuri handayani (dari belakang mendukung/memberdayakan).

Hari Kebangkitan Nasional merupakan tonggak kesadaran berbangsa yang tidak kalah pentingnya. Tanggal 20 Mei 1908 adalah hari didirikannya perkumpulan Boedi Oetomo, sebuah organisasi yang didirikan oleh kaum pelajar dan priyayi pada masa itu dengan tujuan untuk ‘memajukan hindia belanda (Indonesia)’. Meskipun awalnya didirikan oleh kaum pelajar, Boedi Oetomo dalam pergerakannya memikirkan dan merangkul seluruh lapisan masyarakat.

Sebelum Boedi Oetomo, kesadaran bahwa kita adalah sebuah bangsa sangat rendah. Hampir semua aspek kehidupan saat itu dalam kungkungan sistem kolonial, dari aspek perdagangan, pertanian, ekonomi, keuangan, pendidikan, budaya, sampai dengan politik. Tentu saja pada saat itu, sebagian besar masyarakat menganggap sistem kolonial yang dijalaninya sebagai seuatu yang normal, bukan sesuatu yang harus dirubah.

Perkumpulan Boedi Oetomo membuka mata masyarakat bahwa kita ini adalah sebuah bangsa, yang harus bangkit melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan kita, agar kita bisa mengatur sendiri dan maju.

Yang menarik untuk digaris-bawahi dalam dua hari penting di bulan Mei ini adalah semangat kebangkitan, komitmen untuk berubah. Para pendiri dan penggiat perkumpulan Boedi Oetomo dan perguruan Taman Siswa adalah orang-orang yang sudah mapan, yang hidupnya relatif aman dan berkecukupan meskipun dalam sistem kolonial. Namun mereka memiliki visi yang lebih jauh, memikirkan kemajuan dan kesejahteraan bangsanya, dan tidak mementingkan diri sendiri.

Mereka memimpin kaumnya untuk memiliki semangat transformasi, semangat perubahan, dari kondisi yang terbelakang, kurang beradab menuju kondisi yang lebih maju dan lebih beradab.

Perjalanan bangsa ini selanjutnya diwarnai dengan berbagai momentum perubahan yang berkesinambungan. Peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, Orde Baru 1966, dan Reformasi 1998 adalah momen-momen perubahan yang secara kumulatif telah membentuk bangsa kita menjadi seperti sekarang ini.

Semuanya berakar dari kesadaran untuk berubah dari kondisi yang tidak benar/baik menuju kondisi yang lebih benar dan baik.
Perubahan yang terjadi dalam Sumpah Pemuda 1928 berakar dari ketidak-puasan para pemuda dengan cara perjuangan yang sifatnya kedaerahan yang dianggap tidak efektif. Pada Konggres Pemoeda ke-2, pemuda utusan dari seluruh pelosok Indonesia mengkristalkan semangat perubahan untuk berjuang dalam wadah satu anah air, satu bangsa, dan satu bahasa, yakni Indonesia.

Sudah barang tentu, Proklamasi Kemerdekaan 1945, juga memiliki akar yang sejenis, yakni ketidak-puasan dengan kondisi bangsa terjajah. Pada masa proklamasi ini, ketidak-puasan yang terjadi tentunya bersifat multi-facet (pada berbagai aspek), yakni ketidak-puasan terhadap administrasi pemerintahan, pengelolaan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kebudayaan, dan sebagainya.

Mengelola Perubahan

Pada jaman sekarang dimana lingkungan terus berubah secara dinamis, sudah pasti transformasi lebih menjadi prioritas atau malah wajib (imperatif) untuk dilakukan. Perubahan lingkungan bisa terjadi karena perubahan teknologi, ekonomi, lingkungan alam, sosial, politik nasional maupun geopolitik, dan disrupsi lainnya.

Pada tahun 1908, 1922, ataupun 1928 dapat kita bayangkan bahwa perubahan saat itu tentunya sangat lambat, mobilitas tidak secepat saat ini, teknologi belum berkembang, informasi sangat terbatas penyebarannya. Pada masa itu, transformasi barangkali bisa dibaratkan sunah hukumnya.

Para pemimpin pada saat itu bisa saja bersikap slow, atau bahasa milenialnya, woles, untuk melakukan perubahan. Coba bayangkan kalau pemimpin kita saat itu bersikap woles, tidak melakukan transformasi? Mungkin kita tidak pernah merasakan arti sebagai bangsa, pendidikan kita terbelakang, kita berjuang sendiri-sendiri kedaerahan, dan mungkin kita tidak mendapat rintisan jalan menuju merdeka.

Sebagai refleksi Hari Kebangkitan Nasional, kita perlu mengambil pelajaran dari pemimpin kita terdahulu. Jangan sampai pada zaman dimana transformasi adalah hukumnya wajib, kita justru gagal untuk melakukan transformasi.

Change equation model dari Beckhard and Harris , menyimpulkan bahwa transformasi dan perubahan akan berhasil jika terdapat: (i) ketidak-puasan dengan kondisi saat ini (dissatisfaction with the present), (ii) visi masa depan yang jelas (vision of the future), (iii) langkah pertama yang praktis (practical first step), dan (iv) dukungan dari pimpinan (leadership support).

Ketidak-puasan dengan kondisi yang ada (dissatisfaction with the present) terlihat pada momen Kebangkitan Nasional. Dr. Soetomo dan kawan-kawan saat itu tidak puas dengan kondisi masyarakat kita yang terbelakang dan hanya menjalankan apa yang ada. Saat itu belum ada kesadaran bahwa kita ini adalah sebuah bangsa, yang bisa merdeka dan mengatur diri sendiri. Ki Hadjar dan kawan-kawannya tidak puas dengan keterbatasan akses pendidikan untuk sebagian besar masyarakatnya.

Yang harus kita teladani dari dua peristiwa tersebut adalah bahwa para leader pada saat itu lebih memikirkan kondisi masyarakatnya dari pada kepentingan diri sendiri. Mereka semua adalah orang-orang yang mapan dan berkecukupan, namun mereka tetap memimpin transformasi karena mereka tidak puas kondisi masyarakatnya.

Sebagai refleksi, saat ini seharusnya kita lebih mempunyai komitmen untuk melakukan perubahan. Perubahan lingkungan yang cepat dan dinamis, serta disrupsi yang terus-menerus, seharusnya menimbulkan lebih banyak alasan bagi kita untuk tidak-puas dengan kondisi yang ada.

Sayang sekali, anggota organisasi saat ini banyak yang bersikap complacent, terlalu cepat puas dengan apa yang sudah dicapai, meskipun kinerjanya tidak bagus. Mereka resisten atau enggan berubah, karena merasa berkerja seperti sekarang saja toh tidak ada masalah, hidup jalan terus.

Pemimpin organisasi saat ini harus bisa mendobrak keengganan (resistensi) untuk berubah. Pemimpin harus bisa mengkomunikasikan risiko dan krisis yang (sebenarnya) sedang dihadapi atau akan dihadapi. Pemimpin harus bisa ‘menciptakan’ krisis.

Organisasi yang saat ini berkinerja dengan baik maupun yang saat ini tertatih-tatih mencapai targetnya, sama-sama berhadapan dengan krisis. Semuanya menghadapi risiko-risiko baru yang terus menerus muncul karena perkembangan lingkungan dan kompetisi yang sangat cepat. Justru kinerja yang baik sering membuat organisasi ‘tertidur’, dan tidak sempat merespon perubahan lingkungan tepat waktu.

Selain ketidak-puasan dengan masa kini, keberhasilan transformasi juga harus didukung dengan adanya visi atas masa depan (vision of the future) yang jelas. Para pemimpin pergerakan pada masa lalu juga menunjukkan hal ini.

Para pemimpin Boedi Oetomo memiliki visi sebuah bangsa yang maju dan mampu menjelaskan visinya kepada pengikutnya. Visi akan masa depan yang jelas ini telah memotivasi rekan seperjuangan dan masyarakatnya yang sebelumnya tidak sadar perlunya menjadi bangsa sendiri.

Pendiri Taman Siswa juga mempunyai visi yang jelas tentang masa depan sistem Pendidikan yang diperjuangkan. Visi masa depan ini bisa saja terinspirasi oleh pengalaman mereka melihat pergerakan serupa di mancanegara.

Sebagai refleksi, untuk mendorong perubahan, para pemimpin saat ini harus dapat menjelaskan visi masa depan dengan jelas dan gamblang. Pemimpin harus bisa menjelaskan manfaat dan kebaikan-kebaikan apa saja yang akan terjadi jika perubahan dan transformasi yang sedang diperjuangkan ini telah selesai dilakukan.

Selain ketidak-puasan dan visi, transformasi akan berhasil jika ada langkah pertama yang praktis (practical first step). Langkah pertama dari Dr. Sutomo dan Dr. Wahidin Soedirohoesodo adalah mendirikan dan mengembangkan organisasi Boedi Oetmo sebagai wadah perjuangan. Langkah pertama Ki Hadjar Dewantara adalah mendirikan perguruan Taman Siswa dan mencanangkan Patrap Triloka.

Demikian juga pada peristiwa sejarah lainnya. Mr. Muhammad Yamin mengajukan rumusan ‘sumpah pemuda’ pada saat-saat terakhir menjelang kesimpulan kongres pemuda ke-2 mau dibacakan. Soekarno-Hatta membacakan text proklamasi dan rencana melakukan pemindahan kekuasaan dll dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Pemimpin saat ini harus bisa mengidentifikasi langkah pertama yang praktis untuk mencapai visi dan mengajak anggota untuk menjalankannya.

Syarat keempat keberhasilan transformasi adalah adanya dukungan dari pimpinan (leadership support). Para pemimpin pergerakan nasional tersebut di atas menujukkan leadership support dengan maju memimpin, memberi tauladan dan rela mengorbankan kepentingan pribadi demi tercapainya visi perjuangan.

COVID-19 Mempercepat Inovasi

Sebelum datangnya Covid-19, kita semua sudah sibuk membicarakan perlunya perubahan dan transformasi, meskipun jarang sekali merealisasikannya. Kita mengapresiasi perlunya perubahan karena didorong perkembangan lingkungan bisnis, kompetisi, regulasi, disrupsi dan kemajuan teknologi. Disrupsi yang terjadi saat ini lebih banyak yang bersifat game-changer, disrupsi yang merubah permainan.

Meskipun apresiasi kita terhadap perubahan tumbuh subur, seringkali kita tidak serta merta melakukannya. Resistensi terhadap perubahan cukup tinggi.

Covid-19 yang datangnya mak bendunduk (tiba-tiba, tanpa peringatan) sepertinya mempercepat perubahan dan transformasi. Resistensi (keengganan) terhadap bekerja jarak jauh dan digitalisasi, misalnya, seperti lenyap seketika setelah adanya Covid-19. Tiba-tiba orang menjadi berani (dipaksa) mencoba teknologi remote working, memiliki tekad yang tinggi terhadap digitalisasi, dan berusaha tidak gaptek (gagap teknologi).

Mengelola Transisi: Menuju The New Normal

Bridges Transition Model menyimpulkan bahwa dalam setiap transformasi selalu dua peristiwa yang terjadi yaitu perubahan dan transisi. Perubahan adalah sesuatu yang terjadi pada seseorang, baik orang tersebut setuju atau tidak dengan perubahan tersebut. Perubahan datangnya dari luar orang tersebut. Perubahan bisa terjadi dengan cepat.

Sedangkan transisi, adanya di dalam diri pelaku perubahan, yakni yang terjadi dalam fikiran pelaku tersebut sembari yang bersangkutan mengalami perubahan. Transisi adalah proses psikologis yang dialami pelaku perubahan. Transisi biasanya terjadi secara perlahan-lahan.

Covid-19 sepertinya sudah membuat berbagai ‘perubahan’ terjadi (atau terpaksa terjadi). Perubahan-perubahan tersebut merupakan bagian dari the new normal.

Untuk memastikan suksesnya transfromasi, kita perlu melengkapi dengan aspek kedua dari teorinya Briges, yakni mengelola transisi. Dalam menjalani transisi, pelaku perubahan mengalami tiga fase, yaitu ending, neutral zone, dan new beginning.

Dalam fase pertama, ending, pelaku harus mengakhiri sesuatu yang tidak boleh diteruskan lagi di masa datang. Pelaku harus bersedia melepaskan (let go) sesuatu yang mungkin selama ini nyaman baginya. Dalam fase ending, pelaku akan mengalami perasaan negatif, seperti menolak, marah, sedih, disorientasi, frustasi, dan ketidak pastian.

Fase kedua, neutral zone adalah fase dimana cara atau rezim lama sudah ditinggalkan, namun manfaat dari cara baru belum terlihat. Pada fase ini, pelaku sering merasa bingung, bimbang, tidak pasti dan tidak sabar.

Pada dua fase awal ini, pelaku perubahan bisa merasa ragu dan skeptis dengan prakarsa perubahan yang dilakukan. Pada tahap awal dari semua transformasi tersebut di atas, banyak pelaku perubahan yang merasa bimbang dan ingin kembali ke cara lama, yang dianggap lebih baik.

Bahkan pemerintah kolonial Belanda-pun mungkin saja pernah membuat klaim yang senada dengan pertanyaan ‘enak zamanku to?’.

Dalam kedua fase awal ini, leadership support dari pemimpin sangat dibutuhkan agar proses transisi mencapai fase terakhir, yakni fase new beginning.

Dalam fase terakhir, new beginning, pelaku mulai dapat menerima perubahan dan memiliki energi baru untuk segera menggeluti prakarsa perubahan tersebut. Orang sudah mulai bisa melihat bayangan keberhasilan, semangat meningkat, dan muncul komitmen baru untuk berperan dalam perubahan.

The new normal setelah Covid-19 akan segera berlaku. Orang akan tetap banyak melakukan berkerja dari jauh (remote working - working from anywhere, anytime), bahkan setelah Covid-19 berakhir sekalipun.

Digitalisasi harus diakselerasi, karena menjadi prakondisi untuk bisa remote working dengan optimal. Hampir semua sektor industri harus merubah model bisnisnya karena perubahan rantai pasokan, pola kerja sumberdaya manusia, maupun perubahan teknologi.

Susana kerja kita akan sangat berbeda. Kantor akan serba otomatis, pintu terbuka sendiri tanpa perlu kita menyentuh handle. Lift akan dioperasikan dengan voice control, distancing menjadi norma, pembersihan akan lebih sering dilakukan.

Agar berhasil memasuki the new normal dan menjalani perubahan dengan baik, pemimpin organisasi harus bisa mendampingi pegawainya dalam menjalani proses transisi. Pegawai perlu didukung dalam menjalani proses ending (pengakhiran) dan let go (melepaskan) hal-hal yang tidak relevan, meskipun selama ini nyaman dikerjakan.

Pegawai juga perlu didampingi dalam masa kebingungan pada neutral zone, dimana perubahan sudah terjadi, namun gambaran manfaatnya belum terlihat. Mengelola masa transisi akan mengantarkan pegawai pada fase new beginning, dimana semua peserta perubahan memiliki antusiasme dan energi baru untuk mewujudkan perubahan.

Kebangkitan, Transformasi, dan The New Normal

Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa peristiwa Kebangkitan Nasional, Pendidikan Nasional, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, dan peristiwa pergerakan kebangsaan lainnya memiliki satu hakikat yang sama, yakni sebuah proses perubahan atau transformasi. Jika mereka tidak mendorong perubahan tersebut, mungkin sekali kita tidak akan mencapai kemajuan peradaban seperti sekarang ini.

Dalam lingkungan yang senantiasa berubah dan penuh ketidak-pastian, sekarang ini, transformasi hukumnya sudah wajib. Kita semestinya merasa malu jika kita gagal mengatasi resistensi dan keenganan untuk berubah.

Covid-19 mempercepat inovasi, digitalisasi, dan perubahan. Pimpinan organisasi harus bisa mendampingi anggotanya dalam mengelola transisi, agar the new normal dapat dijalani dengan penuh energi dan semangat berubah untuk mencapai keberhasilan pada semua situasi.
(eko)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1794 seconds (0.1#10.140)