Presiden Tiga Periode: Runtuhnya Pondasi Reformasi
loading...
A
A
A
Sebagai negara demokrasi yang baru saja berdiri, prinsip kesempatan yang sama tentu tak luput dari pengilhaman teori yang kemudian terimplementasi dalam dasar negara yang lahir sejak era reformasi, termasuk soal pembatasan masa jabatan dua periode bagi presiden dan wakil presiden atau satu periode masa jabatan dan dapat dipilih satu kali lagi (Only One re-election).
Dalam konteks ini, penulis berpendapat ada kerolasi erat antara teori persamaan kesempatan dengan masa jabatan presiden/wakil presiden. Bukan hanya soal kondisi primordial bangsa yang heterogen, sehingga menuntut hadirnya prinsip dasar tersebut, tetapi juga persoalan regenerasi kepemimpinan politik dirasa cukup relevan.
Guna mengakomodir persoalan regenerasi, maka UUD kita mengatur masa jabatan yang tidak terlalu lama dan juga tidak terlalu pendek, cukup dua periode. Dengan begitu, aturan ini tidak hanya menghindarkan bangsa ini dari jeratan otoritarianism, tetapi juga akan memunculkan banyak calon pemimpin masa depan yang lebih bervisi dan misi ke depan. Dari sini pula dapat dimengerti bahwa setiap anak bangsa memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi pemimpin bangsa sebagaimana diatur oleh konstitusi.
Runtuhnya Pondasi Reformasi
Berkaca dari perjalanan bangsa, tentu saja kita tidak ingin terjerumus untuk ke tiga kalinya, pasca orde lama dan orde baru yang tidak tegas mengatur soal masa jabatan pucuk pimpinan republik ini. Alhasil, lahirlah demokrasi terpimpin dan demokrasi ala orba yang bertangan besi.
Di era reformasi, UUD mempertegas pengaturan masa jabatan presiden/wakil presiden, sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen, selain itu UU Pemilu nomor 7 Tahun 2017 juga mengafirmasi soal masa jabatan presiden/wakil presiden yang dibatasi hanya dua periode.
Namun demikian, aturan main ini tidak serta merta berjalan mulus, celah perdebatan masih saja terjadi, salah satunya soal kemunculan frasa "berturut-turut", apakah dua periode berturut-turut atau ada opsi yang lain.
Dalam sistem pemerintahan presidential, negara dunia modern memang mengenal beberapa konsep masa jabatan pimpinan pucuk pemerintahan. Konsep ini pun berlaku bagi negara-negara tersebut.
Ada negara yang menggunakan konsep masa jabatan satu periode, misalnya Filipina, Brazil atau Korea Selatan. Kemudian ada juga negara yang menggunakan konsep presiden tiga periode seperti Angola. Lalu ada konsep penjedahan, incumbent tidak boleh mencalonkan diri minimal satu periode selanjutnya, seperti negara di bagian Amerika Latin, Peru.
Dan yang paling banyak diadopsi adalah konsep presiden dua periode atau hanya satu kali dapat dipilih kembali, di antara negara yang menggunakannya adalah Indonesia dan Amerika Serikat.
Dalam konteks ini, penulis berpendapat ada kerolasi erat antara teori persamaan kesempatan dengan masa jabatan presiden/wakil presiden. Bukan hanya soal kondisi primordial bangsa yang heterogen, sehingga menuntut hadirnya prinsip dasar tersebut, tetapi juga persoalan regenerasi kepemimpinan politik dirasa cukup relevan.
Guna mengakomodir persoalan regenerasi, maka UUD kita mengatur masa jabatan yang tidak terlalu lama dan juga tidak terlalu pendek, cukup dua periode. Dengan begitu, aturan ini tidak hanya menghindarkan bangsa ini dari jeratan otoritarianism, tetapi juga akan memunculkan banyak calon pemimpin masa depan yang lebih bervisi dan misi ke depan. Dari sini pula dapat dimengerti bahwa setiap anak bangsa memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi pemimpin bangsa sebagaimana diatur oleh konstitusi.
Runtuhnya Pondasi Reformasi
Berkaca dari perjalanan bangsa, tentu saja kita tidak ingin terjerumus untuk ke tiga kalinya, pasca orde lama dan orde baru yang tidak tegas mengatur soal masa jabatan pucuk pimpinan republik ini. Alhasil, lahirlah demokrasi terpimpin dan demokrasi ala orba yang bertangan besi.
Di era reformasi, UUD mempertegas pengaturan masa jabatan presiden/wakil presiden, sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen, selain itu UU Pemilu nomor 7 Tahun 2017 juga mengafirmasi soal masa jabatan presiden/wakil presiden yang dibatasi hanya dua periode.
Namun demikian, aturan main ini tidak serta merta berjalan mulus, celah perdebatan masih saja terjadi, salah satunya soal kemunculan frasa "berturut-turut", apakah dua periode berturut-turut atau ada opsi yang lain.
Dalam sistem pemerintahan presidential, negara dunia modern memang mengenal beberapa konsep masa jabatan pimpinan pucuk pemerintahan. Konsep ini pun berlaku bagi negara-negara tersebut.
Ada negara yang menggunakan konsep masa jabatan satu periode, misalnya Filipina, Brazil atau Korea Selatan. Kemudian ada juga negara yang menggunakan konsep presiden tiga periode seperti Angola. Lalu ada konsep penjedahan, incumbent tidak boleh mencalonkan diri minimal satu periode selanjutnya, seperti negara di bagian Amerika Latin, Peru.
Dan yang paling banyak diadopsi adalah konsep presiden dua periode atau hanya satu kali dapat dipilih kembali, di antara negara yang menggunakannya adalah Indonesia dan Amerika Serikat.