Aplikasi Pelacak Covid-19, Efektifkah?
loading...
A
A
A
Walau sekarang sudah ada untuk pasien BPJS, saat puskesmas memasukkan data nanti RS rujukan juga bisa membuka, jadi tidak harus membawa kertas lagi. Dalam softcopy sudah ada rujuk balik dengan data medis yang dimasukkan puskesmas. Untuk pasien umum mulai diperlakukan seperti ini, paling tidak mendekati sistem seperti ini yang dilakukan oleh beberapa rumah sakit. Pasien BPJS sudah ada di sistem TI karena mereka butuh catatan.
Sementara itu Alfons Tanujaya, pakar TI dari Vaksincom, mengatakan tolok ukur keberhasilan aplikasi adalah kalau tujuan dan fungsi aplikasi tercapai. Memang pada umumnya salah satu ukuran keberhasilan aplikasi dapat ditandai dari jumlah pengguna atau pengunduh (downloader). Namun hal itu tidak menjadi acuan utama atas keberhasilan suatu aplikasi.
“Tolok ukur keberhasilan aplikasi adalah kalau tujuan dan fungsi aplikasi tercapai. Secara logis makin banyak downloader, tingkat penetrasi dan keberhasilan aplikasi makin tinggi walaupun tidak bisa dijadikan patokan satu-satunya,” ungkap dia kepada KORAN SINDO, Jumat (25/6/2021).
Bila dikaji seberapa efektif aplikasi Covid-19 buatan pemerintah, menurut Alfons, perangkat digital yang ada sejauh ini sudah cukup baik. Meski tingkat instalasinya masih sedikit, bukan berarti aplikasi tersebut laik dinyatakan gagal. “Tujuan tracing kan bisa mengidentifikasi gerakan pengguna aplikasi dan berhubungan dengan siapa saja ketika dia terdeteksi positif. Kalau yang instal kurang dari 50% yah percuma kan, tidak bisa tahu dia kontak dengan siapa saja. Dengan tingkat instalasi saat ini sih rasanya manfaatnya masih sulit didapatkan karena install based-nya kurang,” ujarnya.
Kendati begitu dia menilai masih banyak peluang dan hal lain yang harus ditingkatkan agar tujuan serta fungsinya makin bermanfaat. “Kita tidak bisa memperlakukan aplikasi seperti project, di mana project kalau sudah tercapai akan selesai. Aplikasi Covid ini kan tujuannya mengelola dalam arti menekan, menurunkan, dan mengendalikan penyebaran Covid di Indonesia. Jadi aplikasinya harus hidup dan dikembangkan terus, tidak berhenti hanya pada tracing saja,” ujarnya.
Lebih lanjut Alfons menilai perlunya aplikasi tersebut untuk adaptif dengan kondisi sekarang. Menurutnya saat ini pemerintah sedang memfokuskan juga pada program vaksinasi. Lantaran itu pengembangan aplikasi sebaiknya diarahkan juga untuk membantu pengguna vaksin. “Sekarang sudah masanya vaksin, harusnya diarahkan ke sana di mana aplikasi digunakan untuk membantu pengguna vaksin dan meningkatkan tingkat penetrasi vaksin secepat mungkin karena itulah jawaban terhadap wabah saat ini,” sebut dia.
Kondisi Faktual RSDC
Pemerintah harus melakukan langkah serbacepat dalam menangani lonjakan kasus Covid-19. Penguatan layanan kesehatan secara daring tak bisa ditawar lagi. Kapasitas Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, sudah terisi hingga 85%. Pengelola pun menyatakan hanya akan menerima pasien positif dengan gejala sedang-berat. Pasien tanpa gejala akan diarahkan ke Rusun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara. Jumlah orang positif Covid-19 mencapai rekor pada 24 Juni 2021 yang mencapai 20.574.
Kasus di DKI Jakarta dalam sehari itu mencapai 7.505 orang. Disusul Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan 4.384 dan 3.053 kasus positif. Gubernur DKI Anies Baswedan mengungkapkan beberapa rumah sakit (RS) di wilayahnya sudah penuh dan memfungsikan lobi sebagai tempat rawat inap. Sekarang bersiap membangun tenda-tenda di rumah sakit umum daerah (RSUD).
Kondisi di RSDC menggambarkan fasilitas kesehatan (faskes) dan pusat karantina sudah memilah-milah pasien yang akan diterima. Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Alexander K Ginting mengatakan pasien-pasien dengan gejala sedang berat harus segera mendapatkan pelayanan kesehatan di RS. Sementara itu pasien dengan gejala ringan isolasi mandiri di rumah atau pusat karantina yang disediakan pemerintah.
Purnawirawan TNI bintang satu itu mengungkapkan beberapa strategi penanganan pasien Covid-19 yang tengah melonjak ini. Pertama, RS diminta menambah tempat tidur dan ICU untuk perawatan pasien Covid-19. Misalnya RS dengan bed occupancy rate (BOR) di bawah 60% harus menambah 20% tempat tidur untuk rawat inap dan 10% untuk ICU Covid-19.
Sementara itu Alfons Tanujaya, pakar TI dari Vaksincom, mengatakan tolok ukur keberhasilan aplikasi adalah kalau tujuan dan fungsi aplikasi tercapai. Memang pada umumnya salah satu ukuran keberhasilan aplikasi dapat ditandai dari jumlah pengguna atau pengunduh (downloader). Namun hal itu tidak menjadi acuan utama atas keberhasilan suatu aplikasi.
“Tolok ukur keberhasilan aplikasi adalah kalau tujuan dan fungsi aplikasi tercapai. Secara logis makin banyak downloader, tingkat penetrasi dan keberhasilan aplikasi makin tinggi walaupun tidak bisa dijadikan patokan satu-satunya,” ungkap dia kepada KORAN SINDO, Jumat (25/6/2021).
Bila dikaji seberapa efektif aplikasi Covid-19 buatan pemerintah, menurut Alfons, perangkat digital yang ada sejauh ini sudah cukup baik. Meski tingkat instalasinya masih sedikit, bukan berarti aplikasi tersebut laik dinyatakan gagal. “Tujuan tracing kan bisa mengidentifikasi gerakan pengguna aplikasi dan berhubungan dengan siapa saja ketika dia terdeteksi positif. Kalau yang instal kurang dari 50% yah percuma kan, tidak bisa tahu dia kontak dengan siapa saja. Dengan tingkat instalasi saat ini sih rasanya manfaatnya masih sulit didapatkan karena install based-nya kurang,” ujarnya.
Kendati begitu dia menilai masih banyak peluang dan hal lain yang harus ditingkatkan agar tujuan serta fungsinya makin bermanfaat. “Kita tidak bisa memperlakukan aplikasi seperti project, di mana project kalau sudah tercapai akan selesai. Aplikasi Covid ini kan tujuannya mengelola dalam arti menekan, menurunkan, dan mengendalikan penyebaran Covid di Indonesia. Jadi aplikasinya harus hidup dan dikembangkan terus, tidak berhenti hanya pada tracing saja,” ujarnya.
Lebih lanjut Alfons menilai perlunya aplikasi tersebut untuk adaptif dengan kondisi sekarang. Menurutnya saat ini pemerintah sedang memfokuskan juga pada program vaksinasi. Lantaran itu pengembangan aplikasi sebaiknya diarahkan juga untuk membantu pengguna vaksin. “Sekarang sudah masanya vaksin, harusnya diarahkan ke sana di mana aplikasi digunakan untuk membantu pengguna vaksin dan meningkatkan tingkat penetrasi vaksin secepat mungkin karena itulah jawaban terhadap wabah saat ini,” sebut dia.
Kondisi Faktual RSDC
Pemerintah harus melakukan langkah serbacepat dalam menangani lonjakan kasus Covid-19. Penguatan layanan kesehatan secara daring tak bisa ditawar lagi. Kapasitas Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, sudah terisi hingga 85%. Pengelola pun menyatakan hanya akan menerima pasien positif dengan gejala sedang-berat. Pasien tanpa gejala akan diarahkan ke Rusun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara. Jumlah orang positif Covid-19 mencapai rekor pada 24 Juni 2021 yang mencapai 20.574.
Kasus di DKI Jakarta dalam sehari itu mencapai 7.505 orang. Disusul Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan 4.384 dan 3.053 kasus positif. Gubernur DKI Anies Baswedan mengungkapkan beberapa rumah sakit (RS) di wilayahnya sudah penuh dan memfungsikan lobi sebagai tempat rawat inap. Sekarang bersiap membangun tenda-tenda di rumah sakit umum daerah (RSUD).
Kondisi di RSDC menggambarkan fasilitas kesehatan (faskes) dan pusat karantina sudah memilah-milah pasien yang akan diterima. Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Alexander K Ginting mengatakan pasien-pasien dengan gejala sedang berat harus segera mendapatkan pelayanan kesehatan di RS. Sementara itu pasien dengan gejala ringan isolasi mandiri di rumah atau pusat karantina yang disediakan pemerintah.
Purnawirawan TNI bintang satu itu mengungkapkan beberapa strategi penanganan pasien Covid-19 yang tengah melonjak ini. Pertama, RS diminta menambah tempat tidur dan ICU untuk perawatan pasien Covid-19. Misalnya RS dengan bed occupancy rate (BOR) di bawah 60% harus menambah 20% tempat tidur untuk rawat inap dan 10% untuk ICU Covid-19.