Aplikasi Pelacak Covid-19, Efektifkah?

Sabtu, 26 Juni 2021 - 07:00 WIB
loading...
Aplikasi Pelacak Covid-19,...
Beragam aplikasi pelacak Covid-19 harus dimanfaatkan untuk menekan penyebaran corona. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Sejak kasus Covid-19 merebak di Indonesia, perlahan beragam aplikasi digital bermunculan. Aplikasi yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi ini bukan hanya dibuat pemerintah pusat atau lembaga yang berkedudukan di pusat, tetapi sejumlah daerah pun melakukan terobosan serupa.

Hadirnya beragam aplikasi tersebut diharapkan bisa meminimalkan penyebarluasan virus Covid-19––dalam hal ini membantu upaya 3T (tracing, testing, dan treatment)––hingga mempermudah akses informasi terhadap ketersediaan layanan kesehatan yang sangat dibutuhkan untuk pasien Covid-19.

Di level pusat setidaknya ada beberapa aplikasi yang dibuat pemerintah, yaitu PeduliLindungi (Kementerian Komunikasi dan Informatika), 10 Rumah Aman (Kantor Staf Presiden dan Kominfo), Bersatu Lawan Covid-19 (Gugus Tugas Penanganan Covid), Silacak dan Siranap RS (Kemenkes) hingga DokterSafe (Universitas Airlangga dan Ikatan Dokter Indonesia).



PeduliLindungi misalnya sudah diunduh lebih dari 5 juta pengguna gawai dengan nilai rating 3,7 dari 5. Ada hampir 57.000 ulasan mengenai aplikasi tersebut. Kemudian Siranap RS (Kemenkes) sudah diunduh lebih dari 10.000 pengguna dengan nilai rating 4,4 dan 245 ulasan.

Namun hadirnya berbagai aplikasi tersebut ternyata belum mampu banyak membantu upaya memerangi pandemi tersebut karena lonjakan kasus terus terjadi. Salah satu tantangannya adalah belum maksimalnya tracing atau tracking terhadap penularan virus. Fakta tersebut pun memunculkan pertanyaan tentang efektivitas aplikasi yang tentunya sudah memakan anggaran tidak sedikit.

Sekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Husein Habsyi sepakat dengan pentingnya kehadiran sistem yang membantu penanganan pandemi. Apalagi dalam kondisi seperti saat ini, pemerintah dan stakeholder harus bergerak cepat dan mengerahkan seluruh kekuatan untuk menahan penyebaran dan menangani orang-orang yang sudah terpapar.



Untuk itulah Husein melihat infrastruktur layanan konsultasi kesehatan jarak jauh serta informasi dan data digital yang terintegrasi sudah sangat mendesak untuk dibangun. Dia pun menyayangkan Sistem Informasi Rawat Inap (Siranap) besutan Kemenkes kerap dikeluhkan tidak update.

Dia lantas menuturkan, saat ini masyarakat, terutama yang positif Covid-19, kerap dalam kondisi cemas dan panik. Kondisi demikian diperparah setelah mereka sulit mendapatkan informasi RS mana yang masih kosong. Mereka yang sudah tak tahan akhirnya keluar mencari RS dengan segala risikonya seperti tidak dapat faskes dan menularkan ke orang lain.

“Paling tidak (dengan telemedicine dan informasi digital), kecemasan dan kepanikan orang bisa berkurang seandainya ada yang menilai kondisinya saat ini seberapa parah. Apakah harus ke RS atau kondisi sekarang ini bisa di rumah dengan obat biasa,” ujar dia.

Lia G Partakusuma, Sekjen Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), memastikan integrasi sistem antara faskes 1 dan tingkat di atasnya, juga rumah sakit besar, selama ini sudah berjalan. Hal ini karena sudah ada sistem rujukan terpadu. Biasanya jika ada pasien yang ingin dikirim ke rumah sakit rujukan dimasukkan datanya ke sistem itu.

“Puskesmas atau RS merujuk ke RS yang lebih besar, nanti terlihat apa saja yang dibutuhkan, juga riwayat pasien. Dengan sistem itu bisa dipantau apa saja fasilitas yang dibutuhkan hingga tindakan medis,” jelasnya.

Dia menjelaskan, sistem ini dimulai dari sistem gawat darurat. Kalau ada kondisi gawat dapat menelepon ke IGD terdekat, nanti ditanya mengenai data pasien. Di IGD rumah sakit itu ada orang yang khusus menerima telepon dari puskesmas, faskes, bahkan masyarakat. "Rumah sakit rujukan lebih berharap dari puskesmas atau faskes karena data medis semua jelas. Bahkan ada konsultasi dulu dari dokter sebelum pasien datang ke rumah sakit," ungkapnya.

Urgensi data disimpan melalui sistem TI karena akan ada laporan medis yang tercatat untuk penanganan selanjutnya. Setelah data TI dilanjut dengan secara langsung melakukan pertolongan, biasanya itu melalui telepon.



Lia kemudian memberi catatan bahwa setiap pasien yang masuk rumah sakit harus melalui IGD dulu, tidak dapat langsung dan tidak bisa cari kamar atau yang banyak dicari ruang ICU begitu saja tanpa ada konsultasi medis dahulu. Nanti rumah sakit yang menerima, yang akan menyiapkan dan memberikan konsultasi.

Jika sistem integrasi ini tidak berjalan, itu bisa karena tidak semua rumah sakit memiliki petugas medis yang 24 jam duduk di depan telepon atau komputer. "Dia yang jaga itu juga tenaga medis yang harus mengerti kondisi, bahkan terkadang ada yang sampai menyarankan terapi. Kalau yang menerima pesan itu dokter umum harus konsultasi ke dokter spesialis. Setelah dijawab, dokter umum kembali menjelaskan kepada faskes yang akan merujuk," papar Lia.

Masalah kedua, saat rumah sakit penuh seperti ketika terjadi lonjakan kasus pandemi seperti sekarang, faskes atau rumah sakit saat mendapat rujukan harus menahan sampai pasiennya mendapat tempat. Tidak akan dibiarkan mencari sendiri. Di luar pandemi, biasanya kasus jantung kedaruratan harus segera dibedah untuk pertolongan, tetapi tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas itu. Faskes wajib untuk menahan pasien sampai dapat fasilitas yang dicari.

Jika pasien sudah selesai pengobatan juga ada rujuk balik. Sistem ini awalnya untuk peserta BPJS, tetapi sekarang juga untuk umum. Dengan demikian pasien rawat jalan untuk kontrol tidak harus ke rumah sakit besar. Dia dapat melakukan kontrol rutin di faskes atau rumah sakit terdekat. "Rujuk ini masih manual dengan catatan yang diterima oleh pasien. Ke depan harapannya rujuk balik ini ada sistemnya secara TI supaya faskes, RS besar juga dapat membuka rekam medis pasien," dia berharap.

Walau sekarang sudah ada untuk pasien BPJS, saat puskesmas memasukkan data nanti RS rujukan juga bisa membuka, jadi tidak harus membawa kertas lagi. Dalam softcopy sudah ada rujuk balik dengan data medis yang dimasukkan puskesmas. Untuk pasien umum mulai diperlakukan seperti ini, paling tidak mendekati sistem seperti ini yang dilakukan oleh beberapa rumah sakit. Pasien BPJS sudah ada di sistem TI karena mereka butuh catatan.

Sementara itu Alfons Tanujaya, pakar TI dari Vaksincom, mengatakan tolok ukur keberhasilan aplikasi adalah kalau tujuan dan fungsi aplikasi tercapai. Memang pada umumnya salah satu ukuran keberhasilan aplikasi dapat ditandai dari jumlah pengguna atau pengunduh (downloader). Namun hal itu tidak menjadi acuan utama atas keberhasilan suatu aplikasi.

“Tolok ukur keberhasilan aplikasi adalah kalau tujuan dan fungsi aplikasi tercapai. Secara logis makin banyak downloader, tingkat penetrasi dan keberhasilan aplikasi makin tinggi walaupun tidak bisa dijadikan patokan satu-satunya,” ungkap dia kepada KORAN SINDO, Jumat (25/6/2021).

Bila dikaji seberapa efektif aplikasi Covid-19 buatan pemerintah, menurut Alfons, perangkat digital yang ada sejauh ini sudah cukup baik. Meski tingkat instalasinya masih sedikit, bukan berarti aplikasi tersebut laik dinyatakan gagal. “Tujuan tracing kan bisa mengidentifikasi gerakan pengguna aplikasi dan berhubungan dengan siapa saja ketika dia terdeteksi positif. Kalau yang instal kurang dari 50% yah percuma kan, tidak bisa tahu dia kontak dengan siapa saja. Dengan tingkat instalasi saat ini sih rasanya manfaatnya masih sulit didapatkan karena install based-nya kurang,” ujarnya.

Kendati begitu dia menilai masih banyak peluang dan hal lain yang harus ditingkatkan agar tujuan serta fungsinya makin bermanfaat. “Kita tidak bisa memperlakukan aplikasi seperti project, di mana project kalau sudah tercapai akan selesai. Aplikasi Covid ini kan tujuannya mengelola dalam arti menekan, menurunkan, dan mengendalikan penyebaran Covid di Indonesia. Jadi aplikasinya harus hidup dan dikembangkan terus, tidak berhenti hanya pada tracing saja,” ujarnya.

Lebih lanjut Alfons menilai perlunya aplikasi tersebut untuk adaptif dengan kondisi sekarang. Menurutnya saat ini pemerintah sedang memfokuskan juga pada program vaksinasi. Lantaran itu pengembangan aplikasi sebaiknya diarahkan juga untuk membantu pengguna vaksin. “Sekarang sudah masanya vaksin, harusnya diarahkan ke sana di mana aplikasi digunakan untuk membantu pengguna vaksin dan meningkatkan tingkat penetrasi vaksin secepat mungkin karena itulah jawaban terhadap wabah saat ini,” sebut dia.

Kondisi Faktual RSDC
Pemerintah harus melakukan langkah serbacepat dalam menangani lonjakan kasus Covid-19. Penguatan layanan kesehatan secara daring tak bisa ditawar lagi. Kapasitas Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, sudah terisi hingga 85%. Pengelola pun menyatakan hanya akan menerima pasien positif dengan gejala sedang-berat. Pasien tanpa gejala akan diarahkan ke Rusun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara. Jumlah orang positif Covid-19 mencapai rekor pada 24 Juni 2021 yang mencapai 20.574.

Kasus di DKI Jakarta dalam sehari itu mencapai 7.505 orang. Disusul Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan 4.384 dan 3.053 kasus positif. Gubernur DKI Anies Baswedan mengungkapkan beberapa rumah sakit (RS) di wilayahnya sudah penuh dan memfungsikan lobi sebagai tempat rawat inap. Sekarang bersiap membangun tenda-tenda di rumah sakit umum daerah (RSUD).

Kondisi di RSDC menggambarkan fasilitas kesehatan (faskes) dan pusat karantina sudah memilah-milah pasien yang akan diterima. Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Alexander K Ginting mengatakan pasien-pasien dengan gejala sedang berat harus segera mendapatkan pelayanan kesehatan di RS. Sementara itu pasien dengan gejala ringan isolasi mandiri di rumah atau pusat karantina yang disediakan pemerintah.

Purnawirawan TNI bintang satu itu mengungkapkan beberapa strategi penanganan pasien Covid-19 yang tengah melonjak ini. Pertama, RS diminta menambah tempat tidur dan ICU untuk perawatan pasien Covid-19. Misalnya RS dengan bed occupancy rate (BOR) di bawah 60% harus menambah 20% tempat tidur untuk rawat inap dan 10% untuk ICU Covid-19.

Kemudian yang BOR-nya 60–80% mengubah 30% ruang rawat inap dan 15% ICU untuk penanganan pasien Covid-19. RS yang BOR-nya sudah di atas 80% harus mengonversi 40% tempat tidur rawat inap dan 25% ICU untuk pasien Covid-19. Pemerintah pusat sendiri sudah menetapkan tiga RS di bawah kendali Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yakni RS Persahabatan, RS Fatmawati, dan RS Sulianti Saroso, untuk 100% menangani pasien Covid-19.

“Artinya orang-orang sakit biasa yang ke Fatmawati pindah (dulu) ke yang lain. Jadi yang ke Fatmawati hanya untuk Covid-19 atau dengan komorbid. Strategi berikutnya SDM. SDM ini penting, (harus) ada dokter, perawat, farmasi, dan sebagianya. Itu (harus) mengatur jadwal dan beban kerja, kapan naik, turun, dan istirahat,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, Jumat (25/6/2021).

Kemudian pemerintah daerah (pemda) atau RS harus menyiapkan akomodasi, alat pelindung diri (APD), dan tes swab berkala untuk para tenaga kesehatan (nakes). Menurut Alex––sapaan akrab Alexander––, pemerintah juga akan menyiapkan logistik seperti obat-obatan Covid-19 dan non-Covid-19 untuk tiga bulan ke depan.

“Kemudian rumah sakit mulai dari UGD harus bisa melakukan pembagian mana yang gejala ringan, sedang, berat, dan kritis. Ini semua dibagi-bagi untuk bisa menentukan area perawatannya. Tapi sebenarnya rumah sakit ini bisa berkurang bebannya kalau di hulunya (kasus positif) turun,” tuturnya.

Kasus positif Covid-19 di Indonesia terus menanjak setelah sempat stabil di kisaran 4.000–7.000 per hari sebelum Lebaran walaupun itu tidak juga bisa disebut sedikit. Dalam seminggu terakhir, kasus positif selalu di atas 12.000 kasus per hari. Alex menegaskan segala aturan yang tertera dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro harus dipatuhi masyarakat.

“Mereka yang tidak patuh diberi tindakan yang keras. Kasus sudah tembus 20.000 dan kematian 355 (jiwa), kita harus serius. Enggak boleh main-main lagi. Kalau di rumah, harus di rumah. Kalau ada yang keluar, kalau perlu ada tongkat untuk menghalau mereka. Kecuali mereka yang perlu makan dan obat itu harus difasilitasi,” jelasnya.

Posko-posko terpadu yang di ada di setiap desa diharapkan aktif memantau kesehatan masyarakat. Jika ada yang positif dan mengalami pemburukan, segera dibawa ke RS. Alexander mengatakan pentingnya pelacakan terhadap orang-orang yang diduga terpapar. Dia mengklaim pelacakan ini sempat lumayan baik ketika dipegang Satgas Penanganan Covid-19.

Saat itu Satgas dengan bantuan relawan sudah bisa melakukan pelacakan 1:8 orang. Artinya bila ada 1 orang positif bisa dilacak 8 orang yang kontak erat. Menurutnya pelacakan saat ini di bawah kendali Kemenkes menurun agresivitasnya. Padahal idealnya pelacakan ini 1:30 orang. Namun Alexander memahami penurunan ini karena beban kerja di puskesmas-puskesmas juga cukup berat.

Satgas Penanganan Covid-19 meminta masyarakat atau pasien positif Covid-19 tidak datang ke faskes jika sudah bergejala sedang atau apalagi berat. Mereka yang sudah dinyatakan positif berdasarkan hasil lab tetap harus melakukan konsultasi dengan dokter. Menurut Alex, dokter nanti yang menentukan apakah gejala ringan, sedang, atau berat.

“Ditentukan mau isolasi mandiri atau dirawat di RS. Tidak ada orang yang langsung sakit sedang dan berat. Semua berproses. Persoalannya sudah sedang-berat, ramai-ramai ke RS. Tujuannya sama, sama-sama ingin masuk ICU. Akhirnya ICU ini terbatas (penuh),” tandasnya.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1641 seconds (0.1#10.140)