Ahli Hukum: Pasal Penghinaan Simbol Kenegaraan Harus Dipertahankan dalam RKUHP
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden serta lembaga Negara kembali dicantumkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) . Pencantuman pasal tersebut menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Guru Besar Hukum Pidana Indriyanto Seno Adji menilai, pasal penghinaan terhadap kepala negara ini sebenarnya termuat Pasal 111 WvS (KUHP Belanda) dan terkait dengan pasal penghinaan yang ada pada Indian Penal Code. Keduanya (WvS dan Indian Penal Code) ini dimaknai sebagai Formeele Beleidiging (penghinaan formil) yang ucap kata dalam bentuk Hatred, Ridicule, Contempt.
“Biasanya dilakukan secara tidak konstruktif, tidak zakelijk, kasar dan tidak sopan dan tidak objektif. Inilah yang dapat dipidana. Semua sistem hukum pidana memang melakukan pemidanaan terhadap Formeel Beleidiging,” katanya, Minggu (13/6/2021).
Hal ini berbeda sekali dengan RKUHP yang tetap menempatkan pasal ini dan sangat wajar sekali menjaga presiden/wapres sebagai simbol negara dengan tetap menjamin warga atau individu melaksanakan kebebasan berekspresi, karenanya tetap diatur peniadaan pidana sebagai ketentuan eksepsionalitas berupa disampaikan demi dan alasan kepentingan umum dan untuk membela diri.
Bahkan doktrin memberikan dukungan mel asas Agwijigheid Van Alle Materiele Wederrechtelijkheid (AVMW) dalam fungsi negatif yakni, tiada pidana tanpa melawan hukum secara materie. ”Jadi tetap menghargai prinsip demokrasi dengan karakter kebebasan berekspresi, maka aturan penghinaan pada RKUHP ini berlainan dengan KUHP lama. RKUHP tentang aturan penghinaan ini memberikan jaminan kebebasan berekspresi bercorak demokratis,” katanya.
Pengajar PPS UI Bid Studi Ilmu Hukum ini menilai, hukum pidana ini sangat dinamis, karena itu selain memberikan individual protection, juga memberikan perlindungan kepada publik dan simbol negara. Menurut dia, presiden dan wapres merupakan simbol kenegaraan yang patut dihormati, dijaga harkat dan martabatnya, sehingga memang sepatutnya ketentuan penghinaan terhadap presiden/wapres tetap harus dipertahankan meskipun MK telah menyatakan pasal KUHP yang mengatur hal yang sama dinyatakan tidak sah melalui putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU-V/2007.
”MK mencabut Pasal 134, 136 bis, 137 dan Pasal 154-155 KUHP tentang penghinaan presiden dan pemerintah. Putusan MK ini dalam konteks pasal penghinaan ini sebagai delik biasa. Penghinaan terhadap harkat martabat kepala negara asing saja ditempatkan pengaturannya dalam RKUHP ini, sehingga sangat wajar untuk tetap mempertahankan ketentuan ini, khususnya kepada harkat dan martabat presiden/wapres di Negara Pancasila,” tegasnya,
Ketentuan ini, kata dia, tidak membatasi kebebasan berekspresi sebagai jaminan konstitusi karena pasal penghinaan ini telah diubah sebagai bentuk delik aduan, selain itu juga ada sifat eksepsionalitas atas pasal ini yaitu tidak dikenakan pemidanaan apabila dilakukan pelaku dengan alasan kepentingan umum dan untuk membela diri. Jadi bentuk delik aduan dan sifat eksepsionalitas atas pasal ini adalah sebagai filter netral yang moderat untuk menghindari adanya abuse kekuasaan dan juga tetap menjaga kebebasan individu dalam berekspresi . ”Filter moderat inilah yang menunjukan bahwa ketentuan/pasal ini tetap dalam batas-batas constitutional obedience atau kepatuhan konstitusional,” paparnya.
Guru Besar Hukum Pidana Indriyanto Seno Adji menilai, pasal penghinaan terhadap kepala negara ini sebenarnya termuat Pasal 111 WvS (KUHP Belanda) dan terkait dengan pasal penghinaan yang ada pada Indian Penal Code. Keduanya (WvS dan Indian Penal Code) ini dimaknai sebagai Formeele Beleidiging (penghinaan formil) yang ucap kata dalam bentuk Hatred, Ridicule, Contempt.
“Biasanya dilakukan secara tidak konstruktif, tidak zakelijk, kasar dan tidak sopan dan tidak objektif. Inilah yang dapat dipidana. Semua sistem hukum pidana memang melakukan pemidanaan terhadap Formeel Beleidiging,” katanya, Minggu (13/6/2021).
Hal ini berbeda sekali dengan RKUHP yang tetap menempatkan pasal ini dan sangat wajar sekali menjaga presiden/wapres sebagai simbol negara dengan tetap menjamin warga atau individu melaksanakan kebebasan berekspresi, karenanya tetap diatur peniadaan pidana sebagai ketentuan eksepsionalitas berupa disampaikan demi dan alasan kepentingan umum dan untuk membela diri.
Bahkan doktrin memberikan dukungan mel asas Agwijigheid Van Alle Materiele Wederrechtelijkheid (AVMW) dalam fungsi negatif yakni, tiada pidana tanpa melawan hukum secara materie. ”Jadi tetap menghargai prinsip demokrasi dengan karakter kebebasan berekspresi, maka aturan penghinaan pada RKUHP ini berlainan dengan KUHP lama. RKUHP tentang aturan penghinaan ini memberikan jaminan kebebasan berekspresi bercorak demokratis,” katanya.
Pengajar PPS UI Bid Studi Ilmu Hukum ini menilai, hukum pidana ini sangat dinamis, karena itu selain memberikan individual protection, juga memberikan perlindungan kepada publik dan simbol negara. Menurut dia, presiden dan wapres merupakan simbol kenegaraan yang patut dihormati, dijaga harkat dan martabatnya, sehingga memang sepatutnya ketentuan penghinaan terhadap presiden/wapres tetap harus dipertahankan meskipun MK telah menyatakan pasal KUHP yang mengatur hal yang sama dinyatakan tidak sah melalui putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU-V/2007.
”MK mencabut Pasal 134, 136 bis, 137 dan Pasal 154-155 KUHP tentang penghinaan presiden dan pemerintah. Putusan MK ini dalam konteks pasal penghinaan ini sebagai delik biasa. Penghinaan terhadap harkat martabat kepala negara asing saja ditempatkan pengaturannya dalam RKUHP ini, sehingga sangat wajar untuk tetap mempertahankan ketentuan ini, khususnya kepada harkat dan martabat presiden/wapres di Negara Pancasila,” tegasnya,
Ketentuan ini, kata dia, tidak membatasi kebebasan berekspresi sebagai jaminan konstitusi karena pasal penghinaan ini telah diubah sebagai bentuk delik aduan, selain itu juga ada sifat eksepsionalitas atas pasal ini yaitu tidak dikenakan pemidanaan apabila dilakukan pelaku dengan alasan kepentingan umum dan untuk membela diri. Jadi bentuk delik aduan dan sifat eksepsionalitas atas pasal ini adalah sebagai filter netral yang moderat untuk menghindari adanya abuse kekuasaan dan juga tetap menjaga kebebasan individu dalam berekspresi . ”Filter moderat inilah yang menunjukan bahwa ketentuan/pasal ini tetap dalam batas-batas constitutional obedience atau kepatuhan konstitusional,” paparnya.
(cip)