Dahsyat, Ilmu Sanjak Prajurit Marinir Bikin Pasukan Fretilin dan GAM Kocar-kacir
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bagi prajurit Korps Marinir, Timor Timur (Timtim) kini bernama Timor Leste dan Aceh merupakan tempat penugasan yang menyisakan kenangan tersendiri. Terutama untuk para prajurit yang mengawali karirnya sebagai prajurit petarung periode 70-an hingga awal 90-an banyak catatan khusus dalam pengalaman bertempur.
Saat itu, Timtim dan Aceh menjadi palagan menyabung nyawa bagi para prajurit petarung. Salah satunya, Pelda Marinir (Purn) Poniman. Berkat keahliannya memiliki Ilmu Pengesan Jejak (Sanjak). Suatu kemampuan yang sangat dihandalkan dalam menjalankan tugas di medan operasi. Bagaimana tidak, berkat ilmunya tersebut, Poniman berhasil melacak keberadaan kelompok bersenjata di kedua medan operasi itu dan membuat mereka kocar kacir karena disergap pasukan elite TNI AL ini.
Dirangkum dari buku “60 Tahun Pengabdian Korps Marinir” Pelda Marinir Poniman yang juga seorang Pelatih di Mako Kormar ini menceritakan kisahnya saat berada di medan operasi Timtim dan Aceh.
Ketika itu sekitar 1995, dirinya bergabung dengan Satgas Rajawali 1 Timor Timur yang dipimpin Inspektur Jenderal (Irjen) TNI Letjen TNI Bambang Suswantono yang saat itu menduduki posisi sebagai Komandan Kompi berpangkat Kapten Marinir dan Komandan Pletonnya Letda Marinir Suherlan.
”Lawan kita adalah Fretilin yang cukup militan sehingga membutuhkan disiplin yang sangat tinggi, medannya sangat keras dan diperlukan kekompakan yang sangat tinggi karena pasukannya adalah personel gabungan. Waktu itu kami juga bersama personel Intai Amfibi. Saat itu jabatan saya adalah penembak GLM,” ucapnya.
Pagi-pagi setelah masak dan sarapan pasukan melanjutkan gerakan sesuai dengan Perintah Operasi melakukan penyisiran di daerah rawan pergerakan musuh. Benar saja, setelah membaca jejak atau bekas-bekas yang ditinggalkan kelompok bersenjata akhirnya kami berhasil menemukan Fretilin.
“Karena lama tidak bertemu dengan Fretilin maka sempat membuat kami kaget, setelah tujuh bulan melakukan operasi saat ini lah perjumpaan kami yang pertama dan langsung terjadi kontak senjata yang cukup sengit. Untuk membakar semangat pertempuran, kami melakukan teriakan yel-yel Rajawali yang sudah disepakati bersama. Kontak tembak pun terjadi. Namun tidak berlangsung lama. Fretilin yang berjumlah sekitar tujuh orang dengan senjata campuran lari mundur,” kenangnya.
Melihat anggota Fretilin lari tunggang langgang, pihaknya terus melakukan pengejaran terhadap mereka yang posisinya berada di bawah. Namun karena mereka menguasai medan sehingga gerakannya sangat cepat untuk menghilang dari kejaran. ”Selama tiga hari kami terus mengejar dengan semangat walau medannya sangat menantang dan keras,” katanya.
Karena lokasi kontak tembak terjadi di Maliana di sektor Timur, pihaknya memutuskan untuk berkoordinasi dengan pasukan kawan dalam melakukan pengejaran. Pengejaran berhenti ketika memasuki area hutan bambu dan turun hujan yang sangat deras sehingga mengganggu jarak pandang. Hal ini yang membuat pasukan kehilangan jejak Fretilin. Apalagi, selama ini Fretilin dikenal dengan “Lulik” semacam jimat kalau orang Jawa menyebutnya. “Lulik” ini mereka percayai sebagai penyelamat bagi mereka.
Saat itu, Timtim dan Aceh menjadi palagan menyabung nyawa bagi para prajurit petarung. Salah satunya, Pelda Marinir (Purn) Poniman. Berkat keahliannya memiliki Ilmu Pengesan Jejak (Sanjak). Suatu kemampuan yang sangat dihandalkan dalam menjalankan tugas di medan operasi. Bagaimana tidak, berkat ilmunya tersebut, Poniman berhasil melacak keberadaan kelompok bersenjata di kedua medan operasi itu dan membuat mereka kocar kacir karena disergap pasukan elite TNI AL ini.
Dirangkum dari buku “60 Tahun Pengabdian Korps Marinir” Pelda Marinir Poniman yang juga seorang Pelatih di Mako Kormar ini menceritakan kisahnya saat berada di medan operasi Timtim dan Aceh.
Ketika itu sekitar 1995, dirinya bergabung dengan Satgas Rajawali 1 Timor Timur yang dipimpin Inspektur Jenderal (Irjen) TNI Letjen TNI Bambang Suswantono yang saat itu menduduki posisi sebagai Komandan Kompi berpangkat Kapten Marinir dan Komandan Pletonnya Letda Marinir Suherlan.
”Lawan kita adalah Fretilin yang cukup militan sehingga membutuhkan disiplin yang sangat tinggi, medannya sangat keras dan diperlukan kekompakan yang sangat tinggi karena pasukannya adalah personel gabungan. Waktu itu kami juga bersama personel Intai Amfibi. Saat itu jabatan saya adalah penembak GLM,” ucapnya.
Pagi-pagi setelah masak dan sarapan pasukan melanjutkan gerakan sesuai dengan Perintah Operasi melakukan penyisiran di daerah rawan pergerakan musuh. Benar saja, setelah membaca jejak atau bekas-bekas yang ditinggalkan kelompok bersenjata akhirnya kami berhasil menemukan Fretilin.
“Karena lama tidak bertemu dengan Fretilin maka sempat membuat kami kaget, setelah tujuh bulan melakukan operasi saat ini lah perjumpaan kami yang pertama dan langsung terjadi kontak senjata yang cukup sengit. Untuk membakar semangat pertempuran, kami melakukan teriakan yel-yel Rajawali yang sudah disepakati bersama. Kontak tembak pun terjadi. Namun tidak berlangsung lama. Fretilin yang berjumlah sekitar tujuh orang dengan senjata campuran lari mundur,” kenangnya.
Melihat anggota Fretilin lari tunggang langgang, pihaknya terus melakukan pengejaran terhadap mereka yang posisinya berada di bawah. Namun karena mereka menguasai medan sehingga gerakannya sangat cepat untuk menghilang dari kejaran. ”Selama tiga hari kami terus mengejar dengan semangat walau medannya sangat menantang dan keras,” katanya.
Karena lokasi kontak tembak terjadi di Maliana di sektor Timur, pihaknya memutuskan untuk berkoordinasi dengan pasukan kawan dalam melakukan pengejaran. Pengejaran berhenti ketika memasuki area hutan bambu dan turun hujan yang sangat deras sehingga mengganggu jarak pandang. Hal ini yang membuat pasukan kehilangan jejak Fretilin. Apalagi, selama ini Fretilin dikenal dengan “Lulik” semacam jimat kalau orang Jawa menyebutnya. “Lulik” ini mereka percayai sebagai penyelamat bagi mereka.