McDonald’s sebagai Magnet Kapitalisme

Jum'at, 11 Juni 2021 - 06:35 WIB
loading...
A A A
Mungkin ini yang membuat restoran McDonald’s memiliki daya tarik tersendiri. Saking berdaya tarik, McDonald’s kemudian dijadikan sebagai perangkat teoretis ilmu sosial untuk menjelaskan perdamaian antarnegara yang membuka gerai McDonald’s (perdamaian McDonald’s).

Perdamaian McDonald’s
Meski teori perdamaian McDonald’s memiliki daya narik, beberapa fakta menunjukkan realitas yang bertabrakan. Sejak 2006 setidaknya terdapat tiga contoh kasus yang disebut sebagai konflik antarsesama negara McDonald’s.

Kasus konflik pertama terjadi antara Israel dan Lebanon pada 2006. Kedua negara ini diketahui memiliki gerai McDonald’s pada 1993 dan 1998. Lalu Perang Ossetia Selatan pada 2008 antara Georgia dan Rusia. Kedua negara itu juga diketahui membuka gerai McDonald’s pada 1990 dan 1999. Kemudian Krisis Krimea 2014 antara Rusia dan Ukraina yang juga sama-sama memiliki gerai McDonald’s.

Walau begitu, tiga contoh kasus yang disebutkan itu merupakan sampel yang terbilang sedikit. Karenanya Friedman meyakini bahwa McDonald’s tetap dapat dianggap berhasil menjadi magnet bagi kapitalisme dalam ekonomi dunia. Menurut asumsi ini McDonald’s yang terglobalisasi akan memicu pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi lalu mendorong perdamaian antaranegara berekonomi maju.

Dalam kata lain, jika suatu negara ingin maju dan menjadi modern, negara itu harus mengikuti alur pasar bebas, menerima produk kapitalis (McDonald’s) demi kemajuan itu sendiri. Untuk itu, ketika teori ini diterima, akan jauh lebih mudah bagi para kapitalis untuk memasarkan produknya (McDonald’s).

McDonald’s yang merupakan produk kapitalisme adalah cermin dari masyarakat konsumsi di Amerika. Dari keberhasilan membangun budaya konsumtivisme inilah Amerika kemudian mentransfer budaya konsumsinya ke hampir seluruh penjuru dunia dengan harapan hal itu akan berdampak terhadap konsumsi masyarakat di negara lain. Dengan begitu masyarakat menjadi terdorong untuk bergantung pada produk itu (McDonald’s) dan membelinya laiknya kebutuhan pokok.

Uniknya sejumlah warga Indonesia menerima begitu saja transfer budaya konsumtivisme Amerika. Terbukti dengan banyaknya warganet berduka ketika mendengar kabar McDonald’s Sarinah tutup. Bahkan terdapat warganet yang sampai menyamakan McDonald’s Sarinah sebagai bangunan cagar budaya (BCB) dan berbagai cerita kenangan manis lainnya di tempat tersebut.

Fanatisme warga terhadap McDonald’s juga tampak dalam kasus kerumunan saat promo menu baru BTS Meal dilangsungkan. Kejadian di Indonesia itu menyerupai semangat dari narasi Friedman yang mengatakan bahwa ketika kerusuhan pecah di Los Angeles, salah satu dari beberapa bangunan komersial yang tidak dihancurkan adalah McDonald’s. Sarinah boleh jadi berubah konsepnya, tetapi McDonald’s tetap akan selalu di hati para fanatikusnya.

Itu berarti teori perdamaian McDonald’s bisa digunakan untuk menggambarkan fenomena kerumun di Sarinah atau saat promo menu baru BTS Meal dilakukan. Selain Indonesia tidak berperang dengan negara induk McDonald’s (Amerika), sejumlah masyarakatnya juga menunjukkan fanatisme yang berlebihan terhadap McDonald’s.

Dalam kaitannya dengan Indonesia, mungkin apa yang dikatakan Thomas L Friedman menjadi ada benarnya, "People in McDonald’s countries don’t like to fight wars. They like to wait in line for burgers."
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3349 seconds (0.1#10.140)