Anggota DPD Sebut Ketiadaan Tata Ruang Hambat Laju Pembangunan
loading...
A
A
A
“Tidak ada studi kelayakan apakah satu lokasi itu memenuhi syarat untuk bangun sebuah pabrik atau tidak. Atau studi kelayakan sebuah lokasi layak dijadikan kompleks perumahan, mall, pabrik, dan sebagainya. Semua bergantung transaksi dari pengusaha ke penguasa. Itu karena tidak ada tata ruang,” katanya.
Menurut dia, kondisi tersebut menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan biaya besar untuk investasi. Padahal jika sudah ada peta tata ruang, biaya-biaya yang dikeluarkan sudah bisa diukur berdasarkan zona tata ruang yang sudah dibuat.
“Ini yang membuat mahal biaya investasi karena biaya ditetapkan sesuka hati saja oleh penguasa. Biasanya, ada-ada saja cara mencari uang ketika kita mengurus izin usaha,” tuturnya.
Kemudian, Abraham mencontohkan tata ruang Singapura yang sudah dibuat secara nasional. Tata ruang nasional itu kemudian dijabarkan menjadi RDTR hingga ke sudut-sudut wilayah Singapura, baik penguasa maupun pengusaha, tidak akan melanggar tata ruang yang sudah ada. Tinggal bangun kota berdasarkan peta tata ruang yang sudah ditetapkan.
“Kita di sini tidak jelas. Satu lokasi bisa dibangun pusat perkantoran, hotel, mall, kampus, bahkan pabrik. Tidak peduli bagaimana daya dukung dan daya tampung lokasi itu. Pokoknya numpuk satu tempat,” kata Abraham.
Di samping itu, dia menilai penetapan RTRW antara tingkat pusat dan daerah belum sinkron. Masih banyaknya tumpang-tindih RTRW di tingkat pusat dan daerah itu menghambat eksekusi sebuah kebijakan karena saling tarik-menarik kepentingan, baik pusat maupun daerah.
“Investor butuh kepastian hukum. Kalau terjadi tumpang-tindih RTRW, investor jadi ragu melakukan investasi karena tidak ada kepastian hukum,” imbuhnya.
Abraham berharap, adanya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bisa mempercepat pembentukan RTRW maupun RDTR di berbagai daerah. Hal tersebut lantaran pembentukan tata ruang tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah daerah tetapi telah ditarik oleh pemerintah pusat.
Menurut dia, kondisi tersebut menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan biaya besar untuk investasi. Padahal jika sudah ada peta tata ruang, biaya-biaya yang dikeluarkan sudah bisa diukur berdasarkan zona tata ruang yang sudah dibuat.
“Ini yang membuat mahal biaya investasi karena biaya ditetapkan sesuka hati saja oleh penguasa. Biasanya, ada-ada saja cara mencari uang ketika kita mengurus izin usaha,” tuturnya.
Kemudian, Abraham mencontohkan tata ruang Singapura yang sudah dibuat secara nasional. Tata ruang nasional itu kemudian dijabarkan menjadi RDTR hingga ke sudut-sudut wilayah Singapura, baik penguasa maupun pengusaha, tidak akan melanggar tata ruang yang sudah ada. Tinggal bangun kota berdasarkan peta tata ruang yang sudah ditetapkan.
“Kita di sini tidak jelas. Satu lokasi bisa dibangun pusat perkantoran, hotel, mall, kampus, bahkan pabrik. Tidak peduli bagaimana daya dukung dan daya tampung lokasi itu. Pokoknya numpuk satu tempat,” kata Abraham.
Di samping itu, dia menilai penetapan RTRW antara tingkat pusat dan daerah belum sinkron. Masih banyaknya tumpang-tindih RTRW di tingkat pusat dan daerah itu menghambat eksekusi sebuah kebijakan karena saling tarik-menarik kepentingan, baik pusat maupun daerah.
“Investor butuh kepastian hukum. Kalau terjadi tumpang-tindih RTRW, investor jadi ragu melakukan investasi karena tidak ada kepastian hukum,” imbuhnya.
Abraham berharap, adanya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bisa mempercepat pembentukan RTRW maupun RDTR di berbagai daerah. Hal tersebut lantaran pembentukan tata ruang tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah daerah tetapi telah ditarik oleh pemerintah pusat.
(dam)