Anggota DPD Sebut Ketiadaan Tata Ruang Hambat Laju Pembangunan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah pusat dan daerah diminta untuk segera menyelesaikan berbagai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW ) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
RTRW dan RDTR dinilai sangat penting untuk mendorong percepatan pembangunan di tingkat nasional maupun daerah. “Ketiadaan tata ruang menghambat pembangunan. Masih banyak wilayah di republik ini yang belum memiliki RTRW, apalagi RDTR,” tutur Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Abraham Liyanto di Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Menurut senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, sangat jelas menyebut tujuan pembuatan tata ruang.
Dalam Pasal 3 UU tersebut disebutkan tata ruang bertujuan terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.
Tidak hanya itu, mendorong terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Tujuan lainnya, kata dia, terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Abraham menyesalkan tujuan mulia dari UU tersebut belum terlaksana di negara ini. Dari 514 kabupaten/Kota di Tanah Air, baru 56 daerah yang memiliki RDTR. Sedangkan yang memiliki RTRW belum mencapai 90%.
Menurut dia, salah satu dampak ketiadaan RTRW dan RDTR adalah terjadinya pemborosan dalam pembangunan. Misalnya, hampir tiap tahun terjadi proyek pelebaran jalan di berbagai daerah.
Kemudian pembangunan fasilitas publik seperti telepon, listrik, air, selokan. Sejumlah proyek itu hampir tiap tahun juga dibongkar akibat ada pelebaran jalan atau pembangunan fasilitas baru di lokasi yang ada sekarang.
Hal lainnya, kata dia, adanya penggusuran rumah masyarakat untuk alih fungsi kawasan. Kebijakan tersebut bakal melahirkan ganti rugi lahan yang sangat mahal. “Jika tata ruang sudah dibuat, tidak ada pembongkaran dan pergeseran seperti itu. Kalau tiap tahun selalu ada pembongkaran, kan menyebabkan pemborosan. Anggaran negara hanya habis untuk proyek-proyek yang mubazir seperti ini,” tuturnya.
Menurut dia, ketiadaan RTRW dan RDTR juga menyebabkan penetapan lokasi proyek di daerah-daerah asal tunjuk oleh penguasa. Alhasil penetapan lokasi lebih banyak ditetapkan bergantung bayaran dari pengusaha. Semakin besar uang yang dibayar, lokasi proyek mudah ditentukan.
RTRW dan RDTR dinilai sangat penting untuk mendorong percepatan pembangunan di tingkat nasional maupun daerah. “Ketiadaan tata ruang menghambat pembangunan. Masih banyak wilayah di republik ini yang belum memiliki RTRW, apalagi RDTR,” tutur Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Abraham Liyanto di Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Menurut senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, sangat jelas menyebut tujuan pembuatan tata ruang.
Dalam Pasal 3 UU tersebut disebutkan tata ruang bertujuan terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.
Tidak hanya itu, mendorong terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Tujuan lainnya, kata dia, terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Abraham menyesalkan tujuan mulia dari UU tersebut belum terlaksana di negara ini. Dari 514 kabupaten/Kota di Tanah Air, baru 56 daerah yang memiliki RDTR. Sedangkan yang memiliki RTRW belum mencapai 90%.
Menurut dia, salah satu dampak ketiadaan RTRW dan RDTR adalah terjadinya pemborosan dalam pembangunan. Misalnya, hampir tiap tahun terjadi proyek pelebaran jalan di berbagai daerah.
Kemudian pembangunan fasilitas publik seperti telepon, listrik, air, selokan. Sejumlah proyek itu hampir tiap tahun juga dibongkar akibat ada pelebaran jalan atau pembangunan fasilitas baru di lokasi yang ada sekarang.
Hal lainnya, kata dia, adanya penggusuran rumah masyarakat untuk alih fungsi kawasan. Kebijakan tersebut bakal melahirkan ganti rugi lahan yang sangat mahal. “Jika tata ruang sudah dibuat, tidak ada pembongkaran dan pergeseran seperti itu. Kalau tiap tahun selalu ada pembongkaran, kan menyebabkan pemborosan. Anggaran negara hanya habis untuk proyek-proyek yang mubazir seperti ini,” tuturnya.
Menurut dia, ketiadaan RTRW dan RDTR juga menyebabkan penetapan lokasi proyek di daerah-daerah asal tunjuk oleh penguasa. Alhasil penetapan lokasi lebih banyak ditetapkan bergantung bayaran dari pengusaha. Semakin besar uang yang dibayar, lokasi proyek mudah ditentukan.