Anggota DPD Sebut Ketiadaan Tata Ruang Hambat Laju Pembangunan

Rabu, 09 Juni 2021 - 16:24 WIB
loading...
Anggota DPD Sebut Ketiadaan Tata Ruang Hambat Laju Pembangunan
Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Abraham Liyanto. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Pemerintah pusat dan daerah diminta untuk segera menyelesaikan berbagai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW ) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

RTRW dan RDTR dinilai sangat penting untuk mendorong percepatan pembangunan di tingkat nasional maupun daerah. “Ketiadaan tata ruang menghambat pembangunan. Masih banyak wilayah di republik ini yang belum memiliki RTRW, apalagi RDTR,” tutur Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Abraham Liyanto di Jakarta, Rabu (9/6/2021).

Menurut senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, sangat jelas menyebut tujuan pembuatan tata ruang.

Dalam Pasal 3 UU tersebut disebutkan tata ruang bertujuan terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.

Tidak hanya itu, mendorong terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Tujuan lainnya, kata dia, terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Abraham menyesalkan tujuan mulia dari UU tersebut belum terlaksana di negara ini. Dari 514 kabupaten/Kota di Tanah Air, baru 56 daerah yang memiliki RDTR. Sedangkan yang memiliki RTRW belum mencapai 90%.

Menurut dia, salah satu dampak ketiadaan RTRW dan RDTR adalah terjadinya pemborosan dalam pembangunan. Misalnya, hampir tiap tahun terjadi proyek pelebaran jalan di berbagai daerah.

Kemudian pembangunan fasilitas publik seperti telepon, listrik, air, selokan. Sejumlah proyek itu hampir tiap tahun juga dibongkar akibat ada pelebaran jalan atau pembangunan fasilitas baru di lokasi yang ada sekarang.

Hal lainnya, kata dia, adanya penggusuran rumah masyarakat untuk alih fungsi kawasan. Kebijakan tersebut bakal melahirkan ganti rugi lahan yang sangat mahal. “Jika tata ruang sudah dibuat, tidak ada pembongkaran dan pergeseran seperti itu. Kalau tiap tahun selalu ada pembongkaran, kan menyebabkan pemborosan. Anggaran negara hanya habis untuk proyek-proyek yang mubazir seperti ini,” tuturnya.

Menurut dia, ketiadaan RTRW dan RDTR juga menyebabkan penetapan lokasi proyek di daerah-daerah asal tunjuk oleh penguasa. Alhasil penetapan lokasi lebih banyak ditetapkan bergantung bayaran dari pengusaha. Semakin besar uang yang dibayar, lokasi proyek mudah ditentukan.

“Tidak ada studi kelayakan apakah satu lokasi itu memenuhi syarat untuk bangun sebuah pabrik atau tidak. Atau studi kelayakan sebuah lokasi layak dijadikan kompleks perumahan, mall, pabrik, dan sebagainya. Semua bergantung transaksi dari pengusaha ke penguasa. Itu karena tidak ada tata ruang,” katanya.

Menurut dia, kondisi tersebut menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan biaya besar untuk investasi. Padahal jika sudah ada peta tata ruang, biaya-biaya yang dikeluarkan sudah bisa diukur berdasarkan zona tata ruang yang sudah dibuat.

“Ini yang membuat mahal biaya investasi karena biaya ditetapkan sesuka hati saja oleh penguasa. Biasanya, ada-ada saja cara mencari uang ketika kita mengurus izin usaha,” tuturnya.

Kemudian, Abraham mencontohkan tata ruang Singapura yang sudah dibuat secara nasional. Tata ruang nasional itu kemudian dijabarkan menjadi RDTR hingga ke sudut-sudut wilayah Singapura, baik penguasa maupun pengusaha, tidak akan melanggar tata ruang yang sudah ada. Tinggal bangun kota berdasarkan peta tata ruang yang sudah ditetapkan.

“Kita di sini tidak jelas. Satu lokasi bisa dibangun pusat perkantoran, hotel, mall, kampus, bahkan pabrik. Tidak peduli bagaimana daya dukung dan daya tampung lokasi itu. Pokoknya numpuk satu tempat,” kata Abraham.

Di samping itu, dia menilai penetapan RTRW antara tingkat pusat dan daerah belum sinkron. Masih banyaknya tumpang-tindih RTRW di tingkat pusat dan daerah itu menghambat eksekusi sebuah kebijakan karena saling tarik-menarik kepentingan, baik pusat maupun daerah.

“Investor butuh kepastian hukum. Kalau terjadi tumpang-tindih RTRW, investor jadi ragu melakukan investasi karena tidak ada kepastian hukum,” imbuhnya.

Abraham berharap, adanya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bisa mempercepat pembentukan RTRW maupun RDTR di berbagai daerah. Hal tersebut lantaran pembentukan tata ruang tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah daerah tetapi telah ditarik oleh pemerintah pusat.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2908 seconds (0.1#10.140)