Kritik UU Pemilu, La Nyalla Nilai Kekuasaan Dikendalikan Segelintir Orang
loading...
A
A
A
Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana, dan ditentukan ditentukan oleh siapa di pasal tersebut, kata dia, juga terdapat kalimat pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dimana, kata dia, kemudian menjadikan komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR diambil dari komposisi yang lama atau periode lima tahun sebelumnya. Jelas di pasal dalam undang-undang pemilu tersebut bukan dari hasil Pasal 6a UUD hasil amandemen, karena pasal tersebut tidak ada ambang batas pencalonan.
"Sungguh pasal yang aneh dan menyalahi undang-undang dasar apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah basi," katanya.
Jadi, sambung mantan ketua umum PSSI itu, selama undang-undang ini berlaku maka Pilpres 2024 mendatang, selain masih menggunakan ambang batas pencalonan juga menggunakan basis suara pemilih tahun 2019 kemarin. Padahal di 2024 kemungkinan ada calon baru yang lulus verifikasi KPU dan ditetapkan menjadi peserta pemilu.
"Lantas apakah mereka tidak bisa mengajukan pasangan capres dan cawapres? Padahal amanat konstitusi jelas memberikan hak pengusung pada partai politik peserta pemilu," tanya La Nyalla.
Jadi, tambahnya, Undang-Undang Pemilu pada Pasal 222 itu dapat disimpulkan adalah disain besar dari oligarki untuk menguasai negara secara keseluruhan. "Sehingga negara mengabdi kepada tujuan oligarki untuk memperkuat akumulasi kekayaannya kalau perlu negara harus menjadi pelayan bagi kaum oligarki," tandas La Nyalla.
Dimana, kata dia, kemudian menjadikan komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR diambil dari komposisi yang lama atau periode lima tahun sebelumnya. Jelas di pasal dalam undang-undang pemilu tersebut bukan dari hasil Pasal 6a UUD hasil amandemen, karena pasal tersebut tidak ada ambang batas pencalonan.
"Sungguh pasal yang aneh dan menyalahi undang-undang dasar apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah basi," katanya.
Jadi, sambung mantan ketua umum PSSI itu, selama undang-undang ini berlaku maka Pilpres 2024 mendatang, selain masih menggunakan ambang batas pencalonan juga menggunakan basis suara pemilih tahun 2019 kemarin. Padahal di 2024 kemungkinan ada calon baru yang lulus verifikasi KPU dan ditetapkan menjadi peserta pemilu.
"Lantas apakah mereka tidak bisa mengajukan pasangan capres dan cawapres? Padahal amanat konstitusi jelas memberikan hak pengusung pada partai politik peserta pemilu," tanya La Nyalla.
Jadi, tambahnya, Undang-Undang Pemilu pada Pasal 222 itu dapat disimpulkan adalah disain besar dari oligarki untuk menguasai negara secara keseluruhan. "Sehingga negara mengabdi kepada tujuan oligarki untuk memperkuat akumulasi kekayaannya kalau perlu negara harus menjadi pelayan bagi kaum oligarki," tandas La Nyalla.
(dam)