Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Penguatan Pendidikan Segala Lapisan, Asa Cegah Pernikahan Dini

Minggu, 02 Mei 2021 - 19:15 WIB
loading...
Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Penguatan Pendidikan Segala Lapisan, Asa Cegah Pernikahan Dini
Nidlomatum MR. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
JAKARTA - Nidlomatum MR
Ketua Bidang Riset dan Data Rumah Perempuan dan Anak (RPA),Ketua LKP3A Kabupaten Bogor,Mahasiswa S2 School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia

PADA awal 2020, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),
UNICEF, dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) bekerja sama untuk menerbitkan laporan data berjudul "Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda". Dari judul laporan ini, pembaca sekilas jelas bisa memahami masalah perkawinan anak yang dihadapi Indonesia saat ini bisa dikategorikan sebagai bencana nasional.

Bagaimana tidak, realitasnya dari data yang ada 1 dari 9 anak perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun pada 2018, yang angkanya mencapai sekitar 1.220.900 anak. Angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia dan peringkat dua tertinggi di ASEAN. Mencengangkan bukan?

Secara prevalensi jika dilakukan perbandingan antara pernikahan anak perempuan dan anak laki-laki, dalam dasa warsa terakhir, perkawinan anak perempuan di Indonesia menunjukkan penurunan, namun tak signifikan dan terkesan landai. Tren anak perempuan yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun maupun 15 tahun pada 2008 sampai 2018 hanya menurun sebesar 3,5 poin persen. Rinciannya, pada 2008, prevalensi perkawinan anak perempuan adalah sebesar 14,67%, namun pada satu dekade kemudian atau 2018 menjadi turun menjadi 11,21%.

Di sisi lain, saat prevalensi perkawinan anak perempuan trennya menurun, prevalensi perkawinan anak laki-laki di Indonesia pada kurun waktu 2015-2018 menunjukkan tren yang cenderung statis. Dari data yang ada, sekitar 1 dari 100 laki-laki usia 20–24 tahun sekitar 1,06% pada 2018 telah melangsungkan perkawinan sebelum usia 18 tahun. Prevalensi ini meningkat sedikit sebesar 0,33 poin persen dibandingkan 2015 yang hanya mencapai 0,73%.

Secara nasional, dari angka ini, ada 20 provinsi yang prevalensi perkawinan anak perempuan di wilayahnya masih ada di atas rata-rata Nasional. Tiga di antaranya yakni Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, tercatat ada lebih dari 1 juta anak perempuan yang menikah pada usia anak di provinsi tersebut.

Lalu, provinsi mana yang secara angka absolut menyumbang kejadian perkawinan usia anak tertinggi? Jawabannya, adalah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam 10 tahun, prevalensi perkawinan anak di daerah perdesaan menurun sebanyak 5,76 poin persen, sementara prevalensi di daerah perkotaan hanya menurun kurang dari 1 poin persen.

Menanggapi fenomena ini, banyak pihak sebenarnya telah mengupayakan pencegahan membludaknya pernikahan anak, baik dari kalangan Non Government Organitation (NGO) maupun dari para pemangku kebijakan. Salah satu bukti dari upaya itu adalah usaha pemerintah yang berani menetapkan target penurunan perkawinan anak secara nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dari 11,2% di 2018 menjadi 8,74 di 2024. Serta, sosialisasi yang dilakukan pemerintah dan berbagai NGO tentang bahaya pernikahan anak.

Realitasnya, saat ini semakin marak kampanye tentang bahaya perkawinan anak serta upaya penyadaran bahwa perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak. Kampanye yang dilakukan di antaranya menyosialisasikan bahwa anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah umur tentu berdampak pada banyak hal mulai dari kerentanan terputusnya akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami tindak kekerasan, serta hidup dalam kemiskinan. Dampak ini pun tidak hanya terhenti pada nasib pasangan nikah dini, tapi menggelinding bagai bola salju pada anak yang dilahirkan serta berpotensi menimbulkan kemiskinan antargenerasi.

Melihat pemetaan masalah serta kompleksnya dampak pernikahan anak, momentum Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei ini, sepatutnya menjadi bahan telaah pentingnya pendidikan tentang pencegahan pernikahan dini kepada segala lapisan masyarakat dan semua kalangan mulai dari anak, orang tua serta masyarakat keseluruhan agar bersama-sama bersinergi mengatasi bencana ini.

Secara asas sebab akibat, faktor pendidikan dan perkawinan anak saling berkelindan. Bisa saja putus sekolah menjadi sebab perkawinan anak, dan bisa juga perkawinan anak menjadi sebab anak putus sekolah. Meski demikian, disadari atau tidak pendidikan dapat menjadi salah satu pendekatan untuk mencegah praktik perkawinan anak.

Pendekatan pencegahan pernikahan anak melalui pendidikan bisa dilakukan dengan penguatan program wajib belajar 12 tahun serta menekankan pentingnya pendidikan karakter di setiap jenjang. Dengan pendidikan karakter yang kuat, diharapkan bisa menghindari perilaku menyimpang anak yang mengarah pada kerentanan seks bebas dan menjadi alasan melangsungkan pernikahan anak.

Selain itu melalui program belajar 12 tahun anak memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan diri dan menemukan skill yang dibutuhkan untuk mendapat pekerjaan yang layak.

Kemudian, perlu juga penyediaan pendidikan dan layanan mengenai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Pendidikan ini tidak hanya terbatas bagi anak tapi juga bagi orang tua dan masyarakat secara umum. Berdasarkan penelitian yang ada, selama ini pembahasan mengenai seksualitas masih dianggap tabu bahkan masyarakat cenderung menganggap diskusi mengenai hal ini masuk dalam pelanggaran norma sosial. Untuk itu, sosialisasi yang bertujuan mengubah pola pikir konvensional ini perlu dilakukan.

Lebih lanjut, upaya pendekatan pendidikan juga bisa dilaksanakan untuk mengampanyekan keseteraan gender. Alasannya, selama ini konstruksi sosial terlebih di perdesaan masih ada dogma terkait tugas perempuan hanya terfokus di ranah domestik. Dari pendeknya pikiran ini, masyarakat konservatif menganggap pendidikan tinggi bagi perempuan tidak lah penting. Solusinya, perlu intervensi dari keluarga, komunitas, dan pemerintah untuk mengubah norma sosial agar mendukung kesetaraan
gender dan menolak perkawinan anak.

Terakhir, perlu juga pendidikan khusus yang mendorong partisipasi kaum muda dalam pencegahan dan penanganan perkawinan anak. Dorongan ini jelas penting agar para pemuda bisa menjadi pelopor sosialisasi pencegahan dan penanganan perkawinan anak kepada teman sebaya mereka. Pendidikan ini bisa dilakukan melalui Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) atau Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).

Upaya ini senantiasa dilakukan pula oleh Rumah Perempuan Anak (RPA), dengan target kalangan milenial, selama ini RPA getol mengampanyekan bahaya pernikahan anak, serta melakukan riset-riset terkait berbagai faktor yang mempengaruhi masalah ini sebagai bagian penyadaran melalui pendidikan. Harapannya, semoga pendidikan menjadi lini terdepan dalam pencegahan pernikahan anak dengan prinsip 'long life education'. Karena sejatinya, pendidikan dapat dilakukan kapan saja, di mana saja, belajar apa saja dan oleh siapa saja tak terbatas usia.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1567 seconds (0.1#10.140)