Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Penguatan Pendidikan Segala Lapisan, Asa Cegah Pernikahan Dini
loading...
A
A
A
Secara asas sebab akibat, faktor pendidikan dan perkawinan anak saling berkelindan. Bisa saja putus sekolah menjadi sebab perkawinan anak, dan bisa juga perkawinan anak menjadi sebab anak putus sekolah. Meski demikian, disadari atau tidak pendidikan dapat menjadi salah satu pendekatan untuk mencegah praktik perkawinan anak.
Pendekatan pencegahan pernikahan anak melalui pendidikan bisa dilakukan dengan penguatan program wajib belajar 12 tahun serta menekankan pentingnya pendidikan karakter di setiap jenjang. Dengan pendidikan karakter yang kuat, diharapkan bisa menghindari perilaku menyimpang anak yang mengarah pada kerentanan seks bebas dan menjadi alasan melangsungkan pernikahan anak.
Selain itu melalui program belajar 12 tahun anak memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan diri dan menemukan skill yang dibutuhkan untuk mendapat pekerjaan yang layak.
Kemudian, perlu juga penyediaan pendidikan dan layanan mengenai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Pendidikan ini tidak hanya terbatas bagi anak tapi juga bagi orang tua dan masyarakat secara umum. Berdasarkan penelitian yang ada, selama ini pembahasan mengenai seksualitas masih dianggap tabu bahkan masyarakat cenderung menganggap diskusi mengenai hal ini masuk dalam pelanggaran norma sosial. Untuk itu, sosialisasi yang bertujuan mengubah pola pikir konvensional ini perlu dilakukan.
Lebih lanjut, upaya pendekatan pendidikan juga bisa dilaksanakan untuk mengampanyekan keseteraan gender. Alasannya, selama ini konstruksi sosial terlebih di perdesaan masih ada dogma terkait tugas perempuan hanya terfokus di ranah domestik. Dari pendeknya pikiran ini, masyarakat konservatif menganggap pendidikan tinggi bagi perempuan tidak lah penting. Solusinya, perlu intervensi dari keluarga, komunitas, dan pemerintah untuk mengubah norma sosial agar mendukung kesetaraan
gender dan menolak perkawinan anak.
Terakhir, perlu juga pendidikan khusus yang mendorong partisipasi kaum muda dalam pencegahan dan penanganan perkawinan anak. Dorongan ini jelas penting agar para pemuda bisa menjadi pelopor sosialisasi pencegahan dan penanganan perkawinan anak kepada teman sebaya mereka. Pendidikan ini bisa dilakukan melalui Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) atau Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Upaya ini senantiasa dilakukan pula oleh Rumah Perempuan Anak (RPA), dengan target kalangan milenial, selama ini RPA getol mengampanyekan bahaya pernikahan anak, serta melakukan riset-riset terkait berbagai faktor yang mempengaruhi masalah ini sebagai bagian penyadaran melalui pendidikan. Harapannya, semoga pendidikan menjadi lini terdepan dalam pencegahan pernikahan anak dengan prinsip 'long life education'. Karena sejatinya, pendidikan dapat dilakukan kapan saja, di mana saja, belajar apa saja dan oleh siapa saja tak terbatas usia.
Pendekatan pencegahan pernikahan anak melalui pendidikan bisa dilakukan dengan penguatan program wajib belajar 12 tahun serta menekankan pentingnya pendidikan karakter di setiap jenjang. Dengan pendidikan karakter yang kuat, diharapkan bisa menghindari perilaku menyimpang anak yang mengarah pada kerentanan seks bebas dan menjadi alasan melangsungkan pernikahan anak.
Selain itu melalui program belajar 12 tahun anak memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan diri dan menemukan skill yang dibutuhkan untuk mendapat pekerjaan yang layak.
Kemudian, perlu juga penyediaan pendidikan dan layanan mengenai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Pendidikan ini tidak hanya terbatas bagi anak tapi juga bagi orang tua dan masyarakat secara umum. Berdasarkan penelitian yang ada, selama ini pembahasan mengenai seksualitas masih dianggap tabu bahkan masyarakat cenderung menganggap diskusi mengenai hal ini masuk dalam pelanggaran norma sosial. Untuk itu, sosialisasi yang bertujuan mengubah pola pikir konvensional ini perlu dilakukan.
Lebih lanjut, upaya pendekatan pendidikan juga bisa dilaksanakan untuk mengampanyekan keseteraan gender. Alasannya, selama ini konstruksi sosial terlebih di perdesaan masih ada dogma terkait tugas perempuan hanya terfokus di ranah domestik. Dari pendeknya pikiran ini, masyarakat konservatif menganggap pendidikan tinggi bagi perempuan tidak lah penting. Solusinya, perlu intervensi dari keluarga, komunitas, dan pemerintah untuk mengubah norma sosial agar mendukung kesetaraan
gender dan menolak perkawinan anak.
Terakhir, perlu juga pendidikan khusus yang mendorong partisipasi kaum muda dalam pencegahan dan penanganan perkawinan anak. Dorongan ini jelas penting agar para pemuda bisa menjadi pelopor sosialisasi pencegahan dan penanganan perkawinan anak kepada teman sebaya mereka. Pendidikan ini bisa dilakukan melalui Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) atau Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Upaya ini senantiasa dilakukan pula oleh Rumah Perempuan Anak (RPA), dengan target kalangan milenial, selama ini RPA getol mengampanyekan bahaya pernikahan anak, serta melakukan riset-riset terkait berbagai faktor yang mempengaruhi masalah ini sebagai bagian penyadaran melalui pendidikan. Harapannya, semoga pendidikan menjadi lini terdepan dalam pencegahan pernikahan anak dengan prinsip 'long life education'. Karena sejatinya, pendidikan dapat dilakukan kapan saja, di mana saja, belajar apa saja dan oleh siapa saja tak terbatas usia.
(abd)