Menyoal Cap Teroris terhadap OPM-TPNPB
loading...
A
A
A
Perbedaan ideologi yang signifikan antara OPM-TPNPB dengan organisasi yang memang sudah diakui sebagai organisasi teroris oleh masyarakat internasional dan Indonesia sendiri menjadi titik yang krusial dan secara tidak langsung juga menjawab bahwa OPM-TPNPB tidak tepat disebut sebagai organisasi teroris. Karena sekali lagi, gerakan OPM-TPNPB tidak didasarkan pada ideologi yang serupa dengan aksi terorisme mainstream, tetapi lebih disebabkan oleh faktor primer yang telah penulis sebutkan tadi.
Dengan begitu, penulis menilai bahwa perbedaan perspektif dalam melihat inti masalah yaitu sejarah integrasi dan status politik Papua harus terus diupayakan melalui pendekatan dialog, komunikasi, dan sosialisasi yang intensif dalam rangka meluruskan perbedaan perspektif tersebut.
Secara Yuridis
Menjadikan OPM-TPNPB sebagai organisasi teroris justru akan menegaskan bagaimana luasnya definisi tersebut dapat diterapkan. Dan, itu tentu saja berseberangan dengan prinsip hukum Lex Stricta dan juga Lex Certa yang mengharuskan perumusan delik dalam undang-undang tidak boleh menjadi multitafsir dan dapat dimaknai sangat luas.
Kalau kemudian definisi terorisme tersebut secara terus menerus dipahami secara tekstual, maka akan menimbulkan implikasi dan konsekuensi secara teoritis dan praktis di kemudian hari, yaitu akan membuka peluang bahwa tidak hanya OPM-TPNPB saja yang bisa disebut sebagai organisasi teroris. Karena sangat potensial definisi tersebut bisa ditafsirkan lagi berdasarkan keinginan atau subjektivitas negara yang memiliki kewenangan dan instrumen hukum pidana di kemudian hari.
Selanjutnya kalau kemudian OPM-TPNPB ditetapkan sebagai organisasi teroris, maka warga sipil yang memiliki pemahaman dan pandangan serta tuntutan yang serupa dengan OPM-TPNPB bisa dianggap sebagai bagian dari teroris atau bahkan menjadi terduga teroris.
Padahal, bisa saja pandangan atau tuntutan tersebut merupakan tuntutan objektif yang didasarkan pada realitas dan kondisi faktual di lapangan dan merupakan aspirasi politik dan keinginan murni (genuine will) masyarakat Papua. Sehingga, hal tersebut justru dapat mereduksi kebebasan berpendapat masyarakat Papua.
Hal tersebut juga akan membawa hubungan pemerintah pusat dengan Papua “kembali” pada periode 1963-1998, di mana pemerintah menggunakan pendekatan keamanan “ekstrem” dengan menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM).
Padahal, pendekatan tersebutlah yang telah menyebabkan kekerasan hadir dalam sejarah panjang Papua dan merupakan salah satu sumber konflik yang seharusnya tidak boleh lagi diadopsi ulang hari ini.
Persoalan Papua dan OPM-TPNPB haruslah dilihat secara bottom-up, yaitu mulai dengan melihat dan mengurai akar konfliknya dengan terus mengupayakan pendekatan yang humanis melalui dialog dan komunikasi secara terus-menerus.
Di waktu yang bersamaan, pendekatan sosial-kesejahteraan harus terus diberdayakan melalui penguatan dan perbaikan pelaksanaan otonomi khusus Papua. Otonomi khusus tersebut harus mampu membawa perubahan dan dampak yang signifikan bagi masyarakat Papua.
Dengan begitu, penulis menilai bahwa perbedaan perspektif dalam melihat inti masalah yaitu sejarah integrasi dan status politik Papua harus terus diupayakan melalui pendekatan dialog, komunikasi, dan sosialisasi yang intensif dalam rangka meluruskan perbedaan perspektif tersebut.
Secara Yuridis
Menjadikan OPM-TPNPB sebagai organisasi teroris justru akan menegaskan bagaimana luasnya definisi tersebut dapat diterapkan. Dan, itu tentu saja berseberangan dengan prinsip hukum Lex Stricta dan juga Lex Certa yang mengharuskan perumusan delik dalam undang-undang tidak boleh menjadi multitafsir dan dapat dimaknai sangat luas.
Kalau kemudian definisi terorisme tersebut secara terus menerus dipahami secara tekstual, maka akan menimbulkan implikasi dan konsekuensi secara teoritis dan praktis di kemudian hari, yaitu akan membuka peluang bahwa tidak hanya OPM-TPNPB saja yang bisa disebut sebagai organisasi teroris. Karena sangat potensial definisi tersebut bisa ditafsirkan lagi berdasarkan keinginan atau subjektivitas negara yang memiliki kewenangan dan instrumen hukum pidana di kemudian hari.
Selanjutnya kalau kemudian OPM-TPNPB ditetapkan sebagai organisasi teroris, maka warga sipil yang memiliki pemahaman dan pandangan serta tuntutan yang serupa dengan OPM-TPNPB bisa dianggap sebagai bagian dari teroris atau bahkan menjadi terduga teroris.
Padahal, bisa saja pandangan atau tuntutan tersebut merupakan tuntutan objektif yang didasarkan pada realitas dan kondisi faktual di lapangan dan merupakan aspirasi politik dan keinginan murni (genuine will) masyarakat Papua. Sehingga, hal tersebut justru dapat mereduksi kebebasan berpendapat masyarakat Papua.
Hal tersebut juga akan membawa hubungan pemerintah pusat dengan Papua “kembali” pada periode 1963-1998, di mana pemerintah menggunakan pendekatan keamanan “ekstrem” dengan menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM).
Padahal, pendekatan tersebutlah yang telah menyebabkan kekerasan hadir dalam sejarah panjang Papua dan merupakan salah satu sumber konflik yang seharusnya tidak boleh lagi diadopsi ulang hari ini.
Persoalan Papua dan OPM-TPNPB haruslah dilihat secara bottom-up, yaitu mulai dengan melihat dan mengurai akar konfliknya dengan terus mengupayakan pendekatan yang humanis melalui dialog dan komunikasi secara terus-menerus.
Di waktu yang bersamaan, pendekatan sosial-kesejahteraan harus terus diberdayakan melalui penguatan dan perbaikan pelaksanaan otonomi khusus Papua. Otonomi khusus tersebut harus mampu membawa perubahan dan dampak yang signifikan bagi masyarakat Papua.