Menyoal Cap Teroris terhadap OPM-TPNPB
loading...
A
A
A
Ogiandhafiz Juanda
Advokat, Dosen, dan Pengamat Hukum Internasional Universitas Nasional (Unas), Direktur Treas Constituendum Institute
WACANA “meredefinisi” Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai organisasi teroris kembali mencuat dalam rapat dengar pendapat antara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan Komisi III DPR beberapa waktu lalu.
Wacana tersebut semakin berembus kencang setelah Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua I Gusti Putu (IGP) Danny Karya Nugraha gugur dalam kontak tembak dengan kelompok tersebut di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Minggu (25/4/2021).
BIN bahkan telah menyebut kelompok tersebut sebagai kelompok separatis dan teroris (KST). Padahal, selama ini dua kelompok itu disebut oleh pemerintah sebagai kelompok kekerasan bersenjata (KKB) atau kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB).
Pihak pendukung wacana tersebut menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh OPM dan TPNPB selama ini telah dapat memenuhi definisi terorisme sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme, dan pantas dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris internasional di PBB.
Dalam UU tersebut, definisi terorisme diatur dalam Pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Kalau melihat definisi tersebut secara tekstual, OPM-TPNPB bisa saja disebut sebagai organisasi teroris. Tetapi, bisa atau tidaknya kelompok tersebut dianggap sebagai organisasi teroris bukanlah satu pertanyaan yang ideal. Penulis mencoba untuk menggunakan pertanyaan yang berbeda, dengan menanyakan apakah tepat OPM dan TPNPB disebut sebagai organisasi teroris?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan mengurainya melalui tiga pendekatan, yakni secara historis, ideologis, dan yuridis.
Secara Historis
OPM-TPNPB bukanlah kelompok baru dalam perjalanan integrasi Papua ke Indonesia. Kelompok tersebut secara terang-terangan mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok prokemerdekaan Papua-Papua Barat.
Bagi mereka, tidak diberikannya ruang bagi orang asli Papua (OAP) untuk terlibat secara langsung dalam perjanjian New York 1962 ialah alas pijak yang melatarbelakangi pergerakan mereka hingga hari ini. Meskipun perjanjian tersebut kemudian melahirkan kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakan Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, akan tetapi pepera tersebut dianggap telah diwarnai dengan intimidasi dan kekerasan yang menyebabkan gagalnya Papua menjadi satu entitas yang merdeka dan berdiri sendiri.
Advokat, Dosen, dan Pengamat Hukum Internasional Universitas Nasional (Unas), Direktur Treas Constituendum Institute
WACANA “meredefinisi” Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai organisasi teroris kembali mencuat dalam rapat dengar pendapat antara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan Komisi III DPR beberapa waktu lalu.
Wacana tersebut semakin berembus kencang setelah Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua I Gusti Putu (IGP) Danny Karya Nugraha gugur dalam kontak tembak dengan kelompok tersebut di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Minggu (25/4/2021).
BIN bahkan telah menyebut kelompok tersebut sebagai kelompok separatis dan teroris (KST). Padahal, selama ini dua kelompok itu disebut oleh pemerintah sebagai kelompok kekerasan bersenjata (KKB) atau kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB).
Pihak pendukung wacana tersebut menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh OPM dan TPNPB selama ini telah dapat memenuhi definisi terorisme sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme, dan pantas dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris internasional di PBB.
Dalam UU tersebut, definisi terorisme diatur dalam Pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Kalau melihat definisi tersebut secara tekstual, OPM-TPNPB bisa saja disebut sebagai organisasi teroris. Tetapi, bisa atau tidaknya kelompok tersebut dianggap sebagai organisasi teroris bukanlah satu pertanyaan yang ideal. Penulis mencoba untuk menggunakan pertanyaan yang berbeda, dengan menanyakan apakah tepat OPM dan TPNPB disebut sebagai organisasi teroris?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan mengurainya melalui tiga pendekatan, yakni secara historis, ideologis, dan yuridis.
Secara Historis
OPM-TPNPB bukanlah kelompok baru dalam perjalanan integrasi Papua ke Indonesia. Kelompok tersebut secara terang-terangan mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok prokemerdekaan Papua-Papua Barat.
Bagi mereka, tidak diberikannya ruang bagi orang asli Papua (OAP) untuk terlibat secara langsung dalam perjanjian New York 1962 ialah alas pijak yang melatarbelakangi pergerakan mereka hingga hari ini. Meskipun perjanjian tersebut kemudian melahirkan kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakan Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, akan tetapi pepera tersebut dianggap telah diwarnai dengan intimidasi dan kekerasan yang menyebabkan gagalnya Papua menjadi satu entitas yang merdeka dan berdiri sendiri.