Indo-Pasifik Dalam Pusaran 'Fait Accompli'
loading...
A
A
A
Hasan Sadeli
Peminat Sejarah Maritim dan Kajian Pertahanan, Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
INDO-PASIFIK merupakan wilayah yang tidak pernah luput dari pantauan berbagai media. Signifikansi geopolitik dan geostrategi di kawasan ini berkembang dalam skala progresif, yang secara perlahan membuat kawasan Atlantik seperti “terpinggirkan”. Kuatnya pesona Indo-Pasifik, di antaranya dipengaruhi oleh kendali kawasan ini atas 50% lebih perdagangan dunia, di mana laut menjadi sarana utama pendistribusian barang dan sumber daya energi di kawasan ini.
Keberadaan Selat Malaka dan Laut China Selatan sebagai jalur perdagangan maritim tersibuk di dunia merupakan gambaran nyata tentang besarnya ketergantungan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik terhadap laut. Di Selat Malaka misalnya, sebagaimana pantauan Pusat Komando dan Pengendalian (Puskodal) Komando Armada I pada 2020, tercatat lebih dari 62.000 kapal niaga berbagai jenis melintas di Selat Malaka. Selain itu, perairan ini juga dilintasi oleh 362 kapal perang dari berbagai negara.
Menginjak 2021, kehadiran kapal perang termasuk kapal induk milik Amerika Serikat (AS) di Selat Malaka masih terjadi secara intensif. Fakta terbaru adalah kehadiran kapal induk Theodore Roosevelt Carrier Strike Group (CSG) yang melintas pada 4 April 2021.
Posisi strategis jalur perdagangan maritim di kawasan Indo-Pasifik rupanya tidak hanya menumbuhkan optimisme bagi kemajuan ekonomi terhadap negara-negara di kawasan, tetapi juga memunculkan persoalan keamanan. Bukan rahasia lagi apabila klaim teritorial China di Laut China Selatan (LCS) telah “mengundang” kehadiran armada maritim dari berbagai negara ke wilayah tersebut, yang salah satunya terhubung melalui Selat Malaka.
Salah satu aliansi “semiformal” di kawasan yang menantang klaim teritorial China ialah Quadrilateral Security Dialogue (Quad) yang terdiri atas AS, Jepang, India, dan Australia. Klaim teritorial China kontraproduktif dengan kampanye kebebasan navigasi yang banyak disuarakan di dalam Quad dengan mengesampingkan kenyataan terkait negara-negara anggota di tubuh Quad yang berstatus non claimant stateatas LCS. Selain itu, keberadaan salah satu anggotanya yakni India juga merupakan negara yang memosisikan China sebagai mitra dagang terbesarnya. Ini merupakan satu dari banyak contoh yang menjelaskan betapa bangunan aliansi dan kemelut diplomatik di kawasan ini tidak sesederhana yang terlihat.
Kompleksitas hubungan ekonomi dan keamanan ini juga turut dirasakan oleh sebagian besar negara di Asia Tenggara. Beberapa negara lebih memilih menghindar dari konfrontasi meskipun wilayah perairannya selalu dilanggar oleh China. Sikap ini disebabkan beberapa hal misalnya karena kebutuhan terhadap China dalam bidang investasi dan janji kucuran pinjaman yang membuat suatu negara berada pada posisi terfetakompli (fait accompli). Dalam gambaran sederhana ialah ketidakmampuan suatu negara atas keputusan dan tindakan sepihak dari negara lain yang tidak boleh tidak harus dituruti.
Ujian Netralitas
Selama ini konstruksi politik luar negeri yang dijalankan oleh negara-negara di Asia Tenggara lebih bersifat netral dan inklusif. Karena itu, kehadiran aliansi pertahanan tidak terlalu diharapkan keberadaannya. Tetapi, sikap inklusif tersebut memperoleh ujian besar salah satunya seperti dialami oleh Filipina yang wilayah Zona Ekonomi Ekslusifnya (ZEE) terus-menerus dilanggar China. Kehadiran China di Bajo de Masinloc, lalu di Panganiban Reef, dan Whitsun Reef memperlihatkan ada tindakan yang melampaui istilah provokasi.
Permasalahan batas maritim di LCS sukar ditengahi, terlebih China merasa superior atas sebagian besar wilayah LCS yang dikelilingi banyak negara di Asia Tenggara. Solusi diplomatik jangka panjang diperlukan dalam mengupayakan suasana yang menuju pada stabilitas keamanan regional. Lagi pula, baik Filipina maupun beberapa negara di Asia Tenggara yang terlibat klaim di LCS tidak berdaya apabila harus meruncingkan permusuhan dengan China pada skala perang terbuka. Hal ini terkonfirmasi dari keterangan Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Selasa (6/4) yang menyatakan tidak akan menjadikan persoalan di LCS sebagai penghalang hubungan kerja sama China-Filipina.
Suatu pendapat yang kontras dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Filipina Delfin Lorezana yang menyebut China tidak memedulikan sama sekali hak berdaulat Filipina di wilayah tersebut. Segala tindakan China tidak hanya dipantau oleh negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga oleh Taiwan dan Jepang. Seperti pada saat Kapal Induk milik China yaitu Liaoning dengan lima kapal perang yang mengawalnya pada Sabtu (3/4) berlayar di dekat Taiwan sebelum berlayar ke Samudera Pasifik.
Peminat Sejarah Maritim dan Kajian Pertahanan, Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
INDO-PASIFIK merupakan wilayah yang tidak pernah luput dari pantauan berbagai media. Signifikansi geopolitik dan geostrategi di kawasan ini berkembang dalam skala progresif, yang secara perlahan membuat kawasan Atlantik seperti “terpinggirkan”. Kuatnya pesona Indo-Pasifik, di antaranya dipengaruhi oleh kendali kawasan ini atas 50% lebih perdagangan dunia, di mana laut menjadi sarana utama pendistribusian barang dan sumber daya energi di kawasan ini.
Keberadaan Selat Malaka dan Laut China Selatan sebagai jalur perdagangan maritim tersibuk di dunia merupakan gambaran nyata tentang besarnya ketergantungan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik terhadap laut. Di Selat Malaka misalnya, sebagaimana pantauan Pusat Komando dan Pengendalian (Puskodal) Komando Armada I pada 2020, tercatat lebih dari 62.000 kapal niaga berbagai jenis melintas di Selat Malaka. Selain itu, perairan ini juga dilintasi oleh 362 kapal perang dari berbagai negara.
Menginjak 2021, kehadiran kapal perang termasuk kapal induk milik Amerika Serikat (AS) di Selat Malaka masih terjadi secara intensif. Fakta terbaru adalah kehadiran kapal induk Theodore Roosevelt Carrier Strike Group (CSG) yang melintas pada 4 April 2021.
Posisi strategis jalur perdagangan maritim di kawasan Indo-Pasifik rupanya tidak hanya menumbuhkan optimisme bagi kemajuan ekonomi terhadap negara-negara di kawasan, tetapi juga memunculkan persoalan keamanan. Bukan rahasia lagi apabila klaim teritorial China di Laut China Selatan (LCS) telah “mengundang” kehadiran armada maritim dari berbagai negara ke wilayah tersebut, yang salah satunya terhubung melalui Selat Malaka.
Salah satu aliansi “semiformal” di kawasan yang menantang klaim teritorial China ialah Quadrilateral Security Dialogue (Quad) yang terdiri atas AS, Jepang, India, dan Australia. Klaim teritorial China kontraproduktif dengan kampanye kebebasan navigasi yang banyak disuarakan di dalam Quad dengan mengesampingkan kenyataan terkait negara-negara anggota di tubuh Quad yang berstatus non claimant stateatas LCS. Selain itu, keberadaan salah satu anggotanya yakni India juga merupakan negara yang memosisikan China sebagai mitra dagang terbesarnya. Ini merupakan satu dari banyak contoh yang menjelaskan betapa bangunan aliansi dan kemelut diplomatik di kawasan ini tidak sesederhana yang terlihat.
Kompleksitas hubungan ekonomi dan keamanan ini juga turut dirasakan oleh sebagian besar negara di Asia Tenggara. Beberapa negara lebih memilih menghindar dari konfrontasi meskipun wilayah perairannya selalu dilanggar oleh China. Sikap ini disebabkan beberapa hal misalnya karena kebutuhan terhadap China dalam bidang investasi dan janji kucuran pinjaman yang membuat suatu negara berada pada posisi terfetakompli (fait accompli). Dalam gambaran sederhana ialah ketidakmampuan suatu negara atas keputusan dan tindakan sepihak dari negara lain yang tidak boleh tidak harus dituruti.
Ujian Netralitas
Selama ini konstruksi politik luar negeri yang dijalankan oleh negara-negara di Asia Tenggara lebih bersifat netral dan inklusif. Karena itu, kehadiran aliansi pertahanan tidak terlalu diharapkan keberadaannya. Tetapi, sikap inklusif tersebut memperoleh ujian besar salah satunya seperti dialami oleh Filipina yang wilayah Zona Ekonomi Ekslusifnya (ZEE) terus-menerus dilanggar China. Kehadiran China di Bajo de Masinloc, lalu di Panganiban Reef, dan Whitsun Reef memperlihatkan ada tindakan yang melampaui istilah provokasi.
Permasalahan batas maritim di LCS sukar ditengahi, terlebih China merasa superior atas sebagian besar wilayah LCS yang dikelilingi banyak negara di Asia Tenggara. Solusi diplomatik jangka panjang diperlukan dalam mengupayakan suasana yang menuju pada stabilitas keamanan regional. Lagi pula, baik Filipina maupun beberapa negara di Asia Tenggara yang terlibat klaim di LCS tidak berdaya apabila harus meruncingkan permusuhan dengan China pada skala perang terbuka. Hal ini terkonfirmasi dari keterangan Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Selasa (6/4) yang menyatakan tidak akan menjadikan persoalan di LCS sebagai penghalang hubungan kerja sama China-Filipina.
Suatu pendapat yang kontras dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Filipina Delfin Lorezana yang menyebut China tidak memedulikan sama sekali hak berdaulat Filipina di wilayah tersebut. Segala tindakan China tidak hanya dipantau oleh negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga oleh Taiwan dan Jepang. Seperti pada saat Kapal Induk milik China yaitu Liaoning dengan lima kapal perang yang mengawalnya pada Sabtu (3/4) berlayar di dekat Taiwan sebelum berlayar ke Samudera Pasifik.