Hari Kartini, Puteri Komarudin Sebut Kepemimpinan Perempuan Mulai Diperhitungkan
loading...
A
A
A
"Mulai dari pemilu tahun 1999 keterwakilan perempuan sejumlah 8,8 persen; 11,82 persen di pemilu tahun 2004; 17,86 dan 17,32 persen di pemilu tahun 2009 dan 2014; serta mencapai 20,52 persen pada pemilu 2019 lalu," ujar putri dari mantan Ketua DPR RI Ade Komarudin ini.
Sehingga, kata dia, masih ada ruang keterwakilan yang perlu terus dikejar untuk mencapai target secara normatif, bahkan melebihi dari 30 persen. "Dalam hal kesetaraan gender pada konteks politik, pertama dan yang paling utama, kader perempuan dan laki-laki harus mendapat kesempatan atau memperoleh pendidikan politik yang berperspektif kesetaraan gender," kata legislator asal Daerah Pemilihan Jawa Barat VII ini.
Di antaranya, sambung dia, mencakup pendidikan yang memadai terkait permasalahan yang dihadapi perempuan di segala tingkatan dan sektor. Kata dia, tujuannya adalah untuk membangun sensitivitas gender dalam pengambilan keputusan.
Karena, menurut dia, belum tentu semua kader, perempuan maupun laki- laki, dapat memahami, menyuarakan, dan membela kepentingan perempuan. Dia menilai kader perempuan sebagai perwakilan perlu hadir dan berpartisipasi aktif secara nyata dalam menjawab isu perempuan, bukan hanya sebagai keterwakilan secara normatif semata.
Sama pentingnya, ujar dia, kader laki-laki yang masih mendominasi ranah pengambilan keputusan pun perlu memahami isu-isu tersebut, agar kebijakan yang dihasilkan lebih sensitif gender. Di samping itu, menurutnya, kader perempuan perlu juga untuk memahami isu-isu yang jauh dari agenda perempuan, misalnya pertahanan dan keamanan.
Karena bagaimanapun, kata dia, tetap penting untuk menghadirkan perspektif perempuan pada isu-isu tersebut. "Kedua, terus mendorong representasi normatif dan substantif kader perempuan dalam perannya di kepengurusan strategis partai politik, maupun pucuk kepemimpinan di parlemen," ungkapnya.
Walaupun, lanjut dia, partai politik berkewajiban untuk memenuhi kuota 30 persen, bukan berarti angka tersebut adalah tujuan terakhir. Dia berpendapat bahwa keterwakilan perempuan secara kuantitas menjadi proporsional harus terus didorong.
Kemudian, dia menilai perlu dipastikan juga bahwa keterwakilan tersebut berkualitas, dalam bentuk representasi nyata dan kontribusi aktif perempuan terhadap kebijakan maupun regulasi yang diterbitkan agar melindungi hak-hak perempuan. "Di era yang semakin modern ini, kiprah kepemimpinan perempuan mulai diperhitungkan di berbagai lini kehidupan. Tidak hanya di dunia politik saja, melainkan juga dalam konteks yang lebih luas," ungkapnya.
Dia memberikan contoh, belum lama ini Kementerian BUMN yang berencana untuk menambah kuota jajaran direksi dari kaum perempuan. "Hal ini menunjukkan bahwa dengan segala potensi yang dimilikinya perempuan dapat mengambil peran kepemimpinan sesuai bidang yang dikuasainya," pungkas perempuan yang juga akrab disapa Putkom ini.
Sehingga, kata dia, masih ada ruang keterwakilan yang perlu terus dikejar untuk mencapai target secara normatif, bahkan melebihi dari 30 persen. "Dalam hal kesetaraan gender pada konteks politik, pertama dan yang paling utama, kader perempuan dan laki-laki harus mendapat kesempatan atau memperoleh pendidikan politik yang berperspektif kesetaraan gender," kata legislator asal Daerah Pemilihan Jawa Barat VII ini.
Di antaranya, sambung dia, mencakup pendidikan yang memadai terkait permasalahan yang dihadapi perempuan di segala tingkatan dan sektor. Kata dia, tujuannya adalah untuk membangun sensitivitas gender dalam pengambilan keputusan.
Karena, menurut dia, belum tentu semua kader, perempuan maupun laki- laki, dapat memahami, menyuarakan, dan membela kepentingan perempuan. Dia menilai kader perempuan sebagai perwakilan perlu hadir dan berpartisipasi aktif secara nyata dalam menjawab isu perempuan, bukan hanya sebagai keterwakilan secara normatif semata.
Sama pentingnya, ujar dia, kader laki-laki yang masih mendominasi ranah pengambilan keputusan pun perlu memahami isu-isu tersebut, agar kebijakan yang dihasilkan lebih sensitif gender. Di samping itu, menurutnya, kader perempuan perlu juga untuk memahami isu-isu yang jauh dari agenda perempuan, misalnya pertahanan dan keamanan.
Karena bagaimanapun, kata dia, tetap penting untuk menghadirkan perspektif perempuan pada isu-isu tersebut. "Kedua, terus mendorong representasi normatif dan substantif kader perempuan dalam perannya di kepengurusan strategis partai politik, maupun pucuk kepemimpinan di parlemen," ungkapnya.
Walaupun, lanjut dia, partai politik berkewajiban untuk memenuhi kuota 30 persen, bukan berarti angka tersebut adalah tujuan terakhir. Dia berpendapat bahwa keterwakilan perempuan secara kuantitas menjadi proporsional harus terus didorong.
Kemudian, dia menilai perlu dipastikan juga bahwa keterwakilan tersebut berkualitas, dalam bentuk representasi nyata dan kontribusi aktif perempuan terhadap kebijakan maupun regulasi yang diterbitkan agar melindungi hak-hak perempuan. "Di era yang semakin modern ini, kiprah kepemimpinan perempuan mulai diperhitungkan di berbagai lini kehidupan. Tidak hanya di dunia politik saja, melainkan juga dalam konteks yang lebih luas," ungkapnya.
Dia memberikan contoh, belum lama ini Kementerian BUMN yang berencana untuk menambah kuota jajaran direksi dari kaum perempuan. "Hal ini menunjukkan bahwa dengan segala potensi yang dimilikinya perempuan dapat mengambil peran kepemimpinan sesuai bidang yang dikuasainya," pungkas perempuan yang juga akrab disapa Putkom ini.