Politik Dinasti dan Kualitas Pemimpin

Selasa, 20 April 2021 - 18:30 WIB
loading...
Politik Dinasti dan Kualitas Pemimpin
Mayjen TNI Purn Prijanto Wagub DKI Jakarta 2007-2012. Foto/Istimewa
A A A
Mayjen TNI Purn Prijanto
Wagub DKI Jakarta 2007-2012, Rumah Kebangkitan Indonesia 17 APRIL 2021

KITA telah bicarakan keelokan dan kecantikan sistem pemerintahan Pancasila dibanding sistem pemerintahan presidensial di artikel ke-1. Di artikel ke-2, kita bandingkan praktik Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal yang individualistis sehingga berakibat terbelahnya persatuan Indonesia.

Artikel ke-3 ini sebagai lanjutannya, yang akan mengupas pendapat JA di artikel sebelumnya. Dimana JA, pakar HTN dan mantan pejabat negara berpendapat, setelah 75 tahun merdeka justru yang bangkrut politik dinasti. Benarkah sinyalemen ini?

Penulis ragu dengan pendapatnya. Biasanya, identifikasi JA terhadap perkembangan di masyarakat akurat. JA mengkritisi, sebelum reformasi, demokrasi kita berbau budaya feodal. Artinya, pergantian pejabat seperti tradisi kerajaan, yang turun menurun, layaknya "politik dinasti".

Penulis menangkap penjelasan JA, stigma tersebut harus dikikis, direformasi melalui sistem presidensial dengan demokrasi liberalnya. Persoalannya, apakah demokrasi sebelum reformasi layak disebut sebagai budaya feodal? Penulis berpendapat tidak tepat. Pemilihan pejabat masa lalu, walau dilakukan dengan sistem musyawarah-perwakilan, di MPR dan DPRD, hak konstitusi rakyat berjalan wajar dan benar, sesuai konstitusi.

Kandidat pejabat yang ikut pemilihan, memiliki rekam jejak karakter dan profesionalisme yang jelas, memiliki dan memenuhi kreteria kompetensi leadership dan manajerial yang dipersyaratkan. Umumnya para kandidat dikenal dan terkenal di masyarakat, tidak muncul tiba-tiba dan tanpa polesan dari lembaga survei.

Penulis pernah bincang-bincang dengan Dra Mia Syabarniati Dewi, seorang psikolog, sebagai konsultan assesment pejabat. Pembicaraan seputar kualitas kepemimpinan pejabat publik dan pejabat negara pasca reformasi. Melalui pengamatan atau penilaian pribadinya, ditambah berbagai macam berita dari media dan pendapat masyarakat, Mia memiliki sinyalemen:

a. Pembangunan karakter kader pemimpin nyaris tidak tampak. Calon pemimpin yang diusung dalam pemilihan nyaris jenjang pengalamannya tidak jelas. Namun, tiba-tiba bisa muncul sebagai kandidat.

b. Akibat tersebut di atas, figur pemimpin pada semua tingkat, walau tidak semua, kualitasnya memprihatinkan akibat ikut campur pemilik modal dalam rekrutmen.

Penulis sependapat dengan sinyalemen Mia Syabarniati tersebut. Sebagaimana berita di media, lebih lanjut Mia juga melihat fenomena yang terjadi antara lain adanya: (1) Krisis etika para elite, walau tidak semua (2) Krisis Hukum (3) Krisis ketidakpercyaan antar elite (4) Krisis ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1199 seconds (0.1#10.140)