Politik Dinasti dan Kualitas Pemimpin
loading...
A
A
A
Mayjen TNI Purn Prijanto
Wagub DKI Jakarta 2007-2012, Rumah Kebangkitan Indonesia 17 APRIL 2021
KITA telah bicarakan keelokan dan kecantikan sistem pemerintahan Pancasila dibanding sistem pemerintahan presidensial di artikel ke-1. Di artikel ke-2, kita bandingkan praktik Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal yang individualistis sehingga berakibat terbelahnya persatuan Indonesia.
Artikel ke-3 ini sebagai lanjutannya, yang akan mengupas pendapat JA di artikel sebelumnya. Dimana JA, pakar HTN dan mantan pejabat negara berpendapat, setelah 75 tahun merdeka justru yang bangkrut politik dinasti. Benarkah sinyalemen ini?
Penulis ragu dengan pendapatnya. Biasanya, identifikasi JA terhadap perkembangan di masyarakat akurat. JA mengkritisi, sebelum reformasi, demokrasi kita berbau budaya feodal. Artinya, pergantian pejabat seperti tradisi kerajaan, yang turun menurun, layaknya "politik dinasti".
Penulis menangkap penjelasan JA, stigma tersebut harus dikikis, direformasi melalui sistem presidensial dengan demokrasi liberalnya. Persoalannya, apakah demokrasi sebelum reformasi layak disebut sebagai budaya feodal? Penulis berpendapat tidak tepat. Pemilihan pejabat masa lalu, walau dilakukan dengan sistem musyawarah-perwakilan, di MPR dan DPRD, hak konstitusi rakyat berjalan wajar dan benar, sesuai konstitusi.
Kandidat pejabat yang ikut pemilihan, memiliki rekam jejak karakter dan profesionalisme yang jelas, memiliki dan memenuhi kreteria kompetensi leadership dan manajerial yang dipersyaratkan. Umumnya para kandidat dikenal dan terkenal di masyarakat, tidak muncul tiba-tiba dan tanpa polesan dari lembaga survei.
Penulis pernah bincang-bincang dengan Dra Mia Syabarniati Dewi, seorang psikolog, sebagai konsultan assesment pejabat. Pembicaraan seputar kualitas kepemimpinan pejabat publik dan pejabat negara pasca reformasi. Melalui pengamatan atau penilaian pribadinya, ditambah berbagai macam berita dari media dan pendapat masyarakat, Mia memiliki sinyalemen:
a. Pembangunan karakter kader pemimpin nyaris tidak tampak. Calon pemimpin yang diusung dalam pemilihan nyaris jenjang pengalamannya tidak jelas. Namun, tiba-tiba bisa muncul sebagai kandidat.
b. Akibat tersebut di atas, figur pemimpin pada semua tingkat, walau tidak semua, kualitasnya memprihatinkan akibat ikut campur pemilik modal dalam rekrutmen.
Penulis sependapat dengan sinyalemen Mia Syabarniati tersebut. Sebagaimana berita di media, lebih lanjut Mia juga melihat fenomena yang terjadi antara lain adanya: (1) Krisis etika para elite, walau tidak semua (2) Krisis Hukum (3) Krisis ketidakpercyaan antar elite (4) Krisis ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.
Semua persoalan kepemimpinan di atas, tidak bisa lepas dari persoalan rekrutmen yang didasari oleh Demokrasi Liberal, yakni pemilihan secara langsung yang individualistis. Siapa yang kuat, berduit, menguasai kekuasaan, dialah pengendali dan pemenang. Patut dinilai, sistem inilah yang membuat pemodal atau kapitalis bisa mendikte sesuai keinginannya.
Hati dan pikiran penulis berkata, tampaknya pemodal tidak mengutamakan keunggulan kompetensi leadership dan menajerial. Mereka mengutamakan orang yang bisa dipengaruhi atau diajak kerja sama. Karena itulah, banyak tokoh yang mengatakan, orang yang mumpuni dalam segala hal sulit menjadi pemimpin, karena umumnya mereka sulit dipengaruhi, sehingga pemodal tidak tertarik memilihnya sebagai "jago".
Akibatnya, menjamurlah politik dinasti pasca amendemen UUD 1945. Ibaratnya, bapak, istri, anak, menantu, besan, dan kerabat lainnya maju menjadi kandidat. Dinasti politik tidak saja terjadi di pemerintahan, tampaknya juga terjadi di Partai Politik. Apakah para kandidat keluar biaya yang sangat besar tersebut? Tidak. Patut diduga para cukong atau pemodal yang mengongkosi. Apa akibatnya ? Kandidat yang terpilih, jelas berhutang budi.
Menjamurnya politik dinasti tersebut ditengarai oleh kandidat Doktor ilmu politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Yoes C Wenas yang menyatakan fenomena dinasti politik meningkat tajam di Pilkada 2020 dibanding 2015. Pada 2015 ada 52 peserta Pilkada dan di Pilkada 2020 ada 158 calon. (CNN Indonesia, 17/12/2020)
Walaupun pemilihan pejabat sebelum reformasi, dikritisi sebagai demokrasi berbau budaya feodal, sehingga dilakukan reformasi untuk mengikis tradisi budaya tersebut, namun kenyataannya terbalik. Justru setelah 75 tahun merdeka, ketika digunakan demokrasi yang indiviualistis, dinasti politik subur menjamur.
Masalahnya bukan berhenti di persoalan kedinastian politik saja, tetapi juga merembet ke persoalan kualitas pemimpin. Seperti sinyalemen Mia Syabaniati, persoalan integritas, berpikir strategis, kepemimpinan, kemampuan ambil keputusan, berkomunikasi, membangun persatuan dan pemberdayaan masyarakat, nyaris tidak tampak.
Mengapa faktor-faktor penting yang seharusnya dimiliki pemimpin nyaris tidak tampak? Karena ketika pemilihan calon tidak melalui "saringan" yang sesuai kebutuhan. ‘Sumber’ calon tampaknya juga tidak melakukan pembangunan kader pimpinan. Kalau pun ada kursus, sampai dimana bobot kursus tersebut mampu mengisi kebutuhan? Ironisnya, kandidat yang maju sering-sering juga belum pernah kursus, diakibatkan adanya politik dinasti atau nepotisme.
Pengalaman dan seingat penulis, pemilihan calon Taruna Akademi Militer, melalui sistem saringan yang mengukur aspek ilmu pengetahuan, kesehatan badan dan kesemaptaan jasmani serta kesehatan jiwa dan psikometri.
Melewati saringan ini, akan diketahui tingkat ilmu pengetahuannya, kesehatan dan kesemaptaan jasmaninya, kesehatan jiwa dan dimensi kepribadiannya seperti aspek berpikir, emosi, motivasi dan nilai-nilai dari visi hidupnya.
Idealnya, untuk mendapat calon anggota dewan dan calon pemimpin publik dan pejabat negara, seyogyanya juga melalui sistem saringan yang mampu mengukur aspek-aspek di atas. Melalui saringan yang ketat, kita akan memperoleh calon pemimpin yang berkualitas sebelum masuk arena pemilihan. Sehingga jika terpilih, diharapkan bisa menjadi pemimpin berkualitas
Untuk itu, diperlukan saringan kombinasi metode "Assessment Center" dengan "Psychological Assessment". Saringan ini mampu mengungkap kompetensi yang sudah aktual pada diri seseorang, juga dapat mendeteksi ‘underlying factors’ seperti karakter, sikap, intelegensia dan motif sebagai predisposisi sesorang dalam bertindak dan berperilaku tertentu, kata Dra Mia Syabarniati.
Persoalan rekrutmen dan kualitas pemimpin di atas memiliki korelasi dengan hasil penelitian LIPI. Asiah Putri Budiarti, Peneliti Pusat Kajian Politik LIPI terkait Pilkada serentak 2020 mengatakan, pemilu tahun ini menunjukkan kegagalan parpol dalam merekrut calon Kepala daerah berdasarkan kader internal partai. (Gatra.com, 09/12/2020).
Gambaran tentang dampak buruk sistem pemerintahan presidensial dan demokrasi liberal, sehingga membelah persatuan Indonesia serta menjamurnya politik dinasti dan kualitas pemimpin yang memprihatinkan di atas, semua itu disebabkan amandemen UUD 1945 yang melahirkan Demokrasi Liberal dan Presidensial ala Amerika. Apakah akan kita pertahankan?
Apa dasar MPR melakukan amendemen yang menghasilkan UUD 2002? Jawaban umum dari pengamandemen, Bab XVI Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar. Ditinjau dari sisi hasil amandemen, tepatkah penggunaan Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar amandemen UUD 1945?
Untuk menguji kebenaran jawaban, akan dibahas dalam artikel lanjutan ke-4. Sesungguhnya, apa makna Pasal 37 UUD 1945 yang dimaksud oleh "Founding fathers" saat menyusun dan menetapkan UUD 1945? Selamat membaca, semoga paham. Insya Allah, aamiin.
Lihat Juga: Ini Mengapa Gerakan Reformasi Sosial dalam Islam Banyak Bertitik Tolak dari Doktrin Fikih
Wagub DKI Jakarta 2007-2012, Rumah Kebangkitan Indonesia 17 APRIL 2021
KITA telah bicarakan keelokan dan kecantikan sistem pemerintahan Pancasila dibanding sistem pemerintahan presidensial di artikel ke-1. Di artikel ke-2, kita bandingkan praktik Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal yang individualistis sehingga berakibat terbelahnya persatuan Indonesia.
Artikel ke-3 ini sebagai lanjutannya, yang akan mengupas pendapat JA di artikel sebelumnya. Dimana JA, pakar HTN dan mantan pejabat negara berpendapat, setelah 75 tahun merdeka justru yang bangkrut politik dinasti. Benarkah sinyalemen ini?
Penulis ragu dengan pendapatnya. Biasanya, identifikasi JA terhadap perkembangan di masyarakat akurat. JA mengkritisi, sebelum reformasi, demokrasi kita berbau budaya feodal. Artinya, pergantian pejabat seperti tradisi kerajaan, yang turun menurun, layaknya "politik dinasti".
Penulis menangkap penjelasan JA, stigma tersebut harus dikikis, direformasi melalui sistem presidensial dengan demokrasi liberalnya. Persoalannya, apakah demokrasi sebelum reformasi layak disebut sebagai budaya feodal? Penulis berpendapat tidak tepat. Pemilihan pejabat masa lalu, walau dilakukan dengan sistem musyawarah-perwakilan, di MPR dan DPRD, hak konstitusi rakyat berjalan wajar dan benar, sesuai konstitusi.
Kandidat pejabat yang ikut pemilihan, memiliki rekam jejak karakter dan profesionalisme yang jelas, memiliki dan memenuhi kreteria kompetensi leadership dan manajerial yang dipersyaratkan. Umumnya para kandidat dikenal dan terkenal di masyarakat, tidak muncul tiba-tiba dan tanpa polesan dari lembaga survei.
Penulis pernah bincang-bincang dengan Dra Mia Syabarniati Dewi, seorang psikolog, sebagai konsultan assesment pejabat. Pembicaraan seputar kualitas kepemimpinan pejabat publik dan pejabat negara pasca reformasi. Melalui pengamatan atau penilaian pribadinya, ditambah berbagai macam berita dari media dan pendapat masyarakat, Mia memiliki sinyalemen:
a. Pembangunan karakter kader pemimpin nyaris tidak tampak. Calon pemimpin yang diusung dalam pemilihan nyaris jenjang pengalamannya tidak jelas. Namun, tiba-tiba bisa muncul sebagai kandidat.
b. Akibat tersebut di atas, figur pemimpin pada semua tingkat, walau tidak semua, kualitasnya memprihatinkan akibat ikut campur pemilik modal dalam rekrutmen.
Penulis sependapat dengan sinyalemen Mia Syabarniati tersebut. Sebagaimana berita di media, lebih lanjut Mia juga melihat fenomena yang terjadi antara lain adanya: (1) Krisis etika para elite, walau tidak semua (2) Krisis Hukum (3) Krisis ketidakpercyaan antar elite (4) Krisis ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.
Semua persoalan kepemimpinan di atas, tidak bisa lepas dari persoalan rekrutmen yang didasari oleh Demokrasi Liberal, yakni pemilihan secara langsung yang individualistis. Siapa yang kuat, berduit, menguasai kekuasaan, dialah pengendali dan pemenang. Patut dinilai, sistem inilah yang membuat pemodal atau kapitalis bisa mendikte sesuai keinginannya.
Hati dan pikiran penulis berkata, tampaknya pemodal tidak mengutamakan keunggulan kompetensi leadership dan menajerial. Mereka mengutamakan orang yang bisa dipengaruhi atau diajak kerja sama. Karena itulah, banyak tokoh yang mengatakan, orang yang mumpuni dalam segala hal sulit menjadi pemimpin, karena umumnya mereka sulit dipengaruhi, sehingga pemodal tidak tertarik memilihnya sebagai "jago".
Akibatnya, menjamurlah politik dinasti pasca amendemen UUD 1945. Ibaratnya, bapak, istri, anak, menantu, besan, dan kerabat lainnya maju menjadi kandidat. Dinasti politik tidak saja terjadi di pemerintahan, tampaknya juga terjadi di Partai Politik. Apakah para kandidat keluar biaya yang sangat besar tersebut? Tidak. Patut diduga para cukong atau pemodal yang mengongkosi. Apa akibatnya ? Kandidat yang terpilih, jelas berhutang budi.
Menjamurnya politik dinasti tersebut ditengarai oleh kandidat Doktor ilmu politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Yoes C Wenas yang menyatakan fenomena dinasti politik meningkat tajam di Pilkada 2020 dibanding 2015. Pada 2015 ada 52 peserta Pilkada dan di Pilkada 2020 ada 158 calon. (CNN Indonesia, 17/12/2020)
Walaupun pemilihan pejabat sebelum reformasi, dikritisi sebagai demokrasi berbau budaya feodal, sehingga dilakukan reformasi untuk mengikis tradisi budaya tersebut, namun kenyataannya terbalik. Justru setelah 75 tahun merdeka, ketika digunakan demokrasi yang indiviualistis, dinasti politik subur menjamur.
Masalahnya bukan berhenti di persoalan kedinastian politik saja, tetapi juga merembet ke persoalan kualitas pemimpin. Seperti sinyalemen Mia Syabaniati, persoalan integritas, berpikir strategis, kepemimpinan, kemampuan ambil keputusan, berkomunikasi, membangun persatuan dan pemberdayaan masyarakat, nyaris tidak tampak.
Mengapa faktor-faktor penting yang seharusnya dimiliki pemimpin nyaris tidak tampak? Karena ketika pemilihan calon tidak melalui "saringan" yang sesuai kebutuhan. ‘Sumber’ calon tampaknya juga tidak melakukan pembangunan kader pimpinan. Kalau pun ada kursus, sampai dimana bobot kursus tersebut mampu mengisi kebutuhan? Ironisnya, kandidat yang maju sering-sering juga belum pernah kursus, diakibatkan adanya politik dinasti atau nepotisme.
Pengalaman dan seingat penulis, pemilihan calon Taruna Akademi Militer, melalui sistem saringan yang mengukur aspek ilmu pengetahuan, kesehatan badan dan kesemaptaan jasmani serta kesehatan jiwa dan psikometri.
Melewati saringan ini, akan diketahui tingkat ilmu pengetahuannya, kesehatan dan kesemaptaan jasmaninya, kesehatan jiwa dan dimensi kepribadiannya seperti aspek berpikir, emosi, motivasi dan nilai-nilai dari visi hidupnya.
Idealnya, untuk mendapat calon anggota dewan dan calon pemimpin publik dan pejabat negara, seyogyanya juga melalui sistem saringan yang mampu mengukur aspek-aspek di atas. Melalui saringan yang ketat, kita akan memperoleh calon pemimpin yang berkualitas sebelum masuk arena pemilihan. Sehingga jika terpilih, diharapkan bisa menjadi pemimpin berkualitas
Untuk itu, diperlukan saringan kombinasi metode "Assessment Center" dengan "Psychological Assessment". Saringan ini mampu mengungkap kompetensi yang sudah aktual pada diri seseorang, juga dapat mendeteksi ‘underlying factors’ seperti karakter, sikap, intelegensia dan motif sebagai predisposisi sesorang dalam bertindak dan berperilaku tertentu, kata Dra Mia Syabarniati.
Persoalan rekrutmen dan kualitas pemimpin di atas memiliki korelasi dengan hasil penelitian LIPI. Asiah Putri Budiarti, Peneliti Pusat Kajian Politik LIPI terkait Pilkada serentak 2020 mengatakan, pemilu tahun ini menunjukkan kegagalan parpol dalam merekrut calon Kepala daerah berdasarkan kader internal partai. (Gatra.com, 09/12/2020).
Gambaran tentang dampak buruk sistem pemerintahan presidensial dan demokrasi liberal, sehingga membelah persatuan Indonesia serta menjamurnya politik dinasti dan kualitas pemimpin yang memprihatinkan di atas, semua itu disebabkan amandemen UUD 1945 yang melahirkan Demokrasi Liberal dan Presidensial ala Amerika. Apakah akan kita pertahankan?
Apa dasar MPR melakukan amendemen yang menghasilkan UUD 2002? Jawaban umum dari pengamandemen, Bab XVI Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar. Ditinjau dari sisi hasil amandemen, tepatkah penggunaan Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar amandemen UUD 1945?
Untuk menguji kebenaran jawaban, akan dibahas dalam artikel lanjutan ke-4. Sesungguhnya, apa makna Pasal 37 UUD 1945 yang dimaksud oleh "Founding fathers" saat menyusun dan menetapkan UUD 1945? Selamat membaca, semoga paham. Insya Allah, aamiin.
Lihat Juga: Ini Mengapa Gerakan Reformasi Sosial dalam Islam Banyak Bertitik Tolak dari Doktrin Fikih
(dam)