Cintai Produk Lokal, Kenapa Impor Demokrasi Individual (Bagian 2)

Senin, 19 April 2021 - 15:35 WIB
loading...
A A A
Apakah reformasi Indonesia tahun 1998 yang mengamendemen UUD 1945 dan memilih sistem presidensial dengan dalih Indonesia tidak demokratis itu dalam bahasa sederhananya hanya ingin Presiden itu bergantian? Penulis berpendapat, amendemen UUD 1945 yang dilakukan tahun 1999 s/d 2002 tidak hanya masalah jabatan Presiden supaya gantian, tetapi ada tujuan yang lebih besar.

Kalau hanya ingin presiden bergantian, sesungguhnya demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila pun sudah mengatur hal tersebut. Implementasi Demokrasi Pancasila di samping soal periodisasi, yakni setiap lima tahun, juga punya makna sebagaimana yang didefinisikan para tokoh kaliber dunia di atas, bahwa semua tergantung rakyat.

Contoh faktual, Presiden Soekarno walau mengantongi Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup yang merupakan penyimpangan UUD 1945, toh jatuh karena kehendak rakyat. Presiden Soeharto dipilih rakyat dalam sistem perwakilan, berhenti sebelum waktunya karena kehendak rakyat. Laporan pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie, tidak diterima oleh rakyat melalui para wakil rakyat di MPR.

Semua peristiwa di atas menunjukkan Indonesia negara demokratis. Kedaulatan di tangan rakyat. Jadi dalih amandemen UUD 1945 agar Indonesia lebih demokratis tidak rasional. Menilik pendapat JA, patut dinilai alasan reformasi bukan sekadar ingin presiden bergantian. Ada tujuan lain, mengganti demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal.

Mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila? Padahal, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar sangat jelas bahwa Negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada "Pancasila" bukan menurut Undang-Undang Dasar sebagaimana Pasal 1 Ayat (2) UUD 2002.

Dari perspektif teori Hans Nawiasky, Pancasila itu "Staatsfundamentalnorm" yang memayungi Pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 atau ‘Staatsgrundgesetz’. Dengan demikian Pasal 1 Ayat (2) di UUD 2002 seharusnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sebagaimana narasi Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.

Mengerucut soal demokrasi liberal dalam pilpres dan pilkada langsung. Rakyat kecil, para pakar sampai pejabat berteriak, demokrasi impor ini mengakibatkan orang berkualitas tidak bisa menjabat, karena biaya tinggi. Penuh konflik yang diciptakan buzzer politik. Kehidupan sosial budaya rusak dengan penuh ketidakjujuran, ketidakadilan, kolusi, korupsi, nepotisme dengan puncak kerusakan terbelahnya persatuan Indonesia.

Jadi menjawab pertanyaan "mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila, penulis berpendapat karena sasaran mereka adalah memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Mereka tahu Pancasila adalah alat pemersatu bangsa Indonesia. Jika Indonesia bisa mereka pecah belah, mereka lebih mudah untuk "menguasai".

Sinyalemen penulis di atas, dikuatkan langkah awal reformasi adalah mencabut Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Mereka tahu nilai-nilai Pancasila itu menjiwai Batang Tubuh UUD 1945 yang akan mereka amandemen dan alat pemersatu bangsa Indonesia.

Dengan demikian, ajakan Presiden cintailah produk lokal, hendaknya kita tangkap secara luas. Artinya, kita cintai pula demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila. Bolehlah kaget setelah tahu dampak buruk dan tujuan demokrasi yang kita impor, yakni demokrasi liberal yang individualistis tersebut.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2755 seconds (0.1#10.140)