Cintai Produk Lokal, Kenapa Impor Demokrasi Individual (Bagian 2)
loading...
A
A
A
AWAL tahun 2021, bertiup angin santer wacana presiden tiga periode. Sifat wacana masih perorangan, belum ada organisasi yang menyatakan. Namun, bisa jadi dia corong depan organisasi. Tapi bisa juga pribadi yang sedang "Nggege Mongso" mengharap jabatan; semoga saja tidak demikian.
Apa pun alasannya, isu itu bergulir di media, mengusik pikiran penulis. Bagaimana tidak terusik? Jabatan presiden kok mudah sekali diutak-atik sesuai selera. Penulis mencoba berburu pengetahuan kepada beberapa tokoh penyandang ilmu Hukum Tata Negara, melaui whatsApp (WA).
Singkat cerita, penulis (P) melakukan ‘chatting’ melalui WA ke beberapa tokoh. Semua merespons, salah satunya, tokoh (JA) mantan pejabat negara, pada 15/3/2021. Cuplikan yang penting dari chating sbb :
P : Ijin tanya Prof,…. Berbicara masalah pengaturan di Undang-undang Dasar, tentang berapa kali Presiden boleh menjabat, masalah ini masuk kategori persoalan teknis atau persoalan esensial ketatanegaraan?
Kedua, apa ada yang secara akademis, disebut sebagai faktor pertimbangan untuk menentukan lamanya jabatan Presiden?
JA : Pembatasan masa jabatan, meteri esensial demokrasi konstitusional. Karena hakikat konstitusi itu sejak awal diadakannya berisi kesepakatan tertinggi untuk membatasi kekuasaan, salah satunya adalah soal masa jabatan yang dalam sistem Presidensial harus ‘fixed term’ dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan.
Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Misalnya, ada pilpres tapi presidennya tidak ketat dibatasi periodenya sehingga terus-terusan terpilih sampai mati seperti di Rusia atau PM Hun Sen, juga sampai mati. Meski selalu ada pemilu, tetap saja demokrasinya dianggap semu atau formalistik.
P : Katanya demokrasi itu kedaulatan rakyat di tangan rakyat. Kalau rakyat masih menginginkan dia presiden lagi bagaimana? Apa iya kedaulatan rayat dibajak, terus bikin definisi atas nama demokrasi bahwa ‘Presiden harus gantian’? Apa tidak melanggar hak kedaulatan rakyat?
JA : Itulah warisan budaya feodal yang menyebabkan suburnya politik dinasti dimana-mana.
P : Bung Karno punya Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup. Pak Harto dipilih rakyat berkali-kali. Tetapi, tatkala rakyat sudah tidak suka, ya henti di tengah jalan. Jadi ukurannya, menurut saya, demokrasi itu ya bagaimana kedaulatan atau kehendak rakyat. Ukurannya bukan harus gantian.
JA : Iya, benar begitu, tapi kalimatnya masih terlalu abstrak, sudah dibahas sebelum 2021. Sekarang harus dirinci dalam ribuan buku ilmu pengetahuan, sehingga dalam praktek muncul parlemen, kebebasan berpendapat dan berorganisasi, adanya Parpol, peradilan independen. Bahkan muncul MK, sistem fixed presidentil, larangan bubarkan parlemen dalam sistem presidentil tapi ada mekanisme impeachment, dsb. Semua butuh pelembagaan, tetapi tantangan yang dihadapi tradisi budaya.
Maka setelah 75 tahun, yang bangkrut dalam praktik malah politik dinasti. Karena para pemimpinnya cuma sibuk rebutan, mengambil dan menikmati secara transaksioanal bukan peduli, berbagi, menyumbang untuk transformasi pelembagaan politik untuk peradaban bangsa dalam jangka panjang.
P : Apalagi dengan dasar demokrasi liberal. Siapa kuat segala-galanya (duit dan kekuasaan) pasti menang. Coba jika sistem Pancasila kita bikinkan “saringan” untuk milih calon anggota dewan dan calon presiden dan wakil presiden seperti memilih calon Taruna masuk Akademi Militer atau Akademi Kepolisian, kita akan menemukan sosok yang “nggenah” dan konflik perpecahan bangsa terhindari.
Dari chating di atas, kita ambil tiga pendapat JA yang menarik untuk dibahas: (1) Pembatasan masa jabatan Presiden, sebagai meteri esensial demokrasi konstitusional. (2) Dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. (3) Setelah 75 tahun yang bangkrut justru politik dinasti.
Pertama, penulis sependapat, urusan masa jabatan presiden itu bukan urusan teknis yang mudah diutak-atik sesuai selera. Tetapi urusan esensial demokrasi konstitusi. Penentuan masa jabatan presiden harus melalui kajian dari banyak faktor sosial budaya bangsa. Sebagaimana ‘Founding fathers’ telah merumuskannya dalam UUD 1945, tentu sudah menghitung dari berbagai aspek sosial budaya.
Penulis yakin, hitungan "founding fathers" tidak ada faktor hitungan emosional, kekeluargaan, kekerabatan dan lain-lain yang sebangsanya. Karena itu, masa jabatan Presiden dari setiap negara bisa berbeda. Konstitusi yang sudah mengaturnya, jarang terjadi diutak-atik di tengah jalan, karena selera politik.
Kedua, pendapat dari JA, bahwa dalam sistem presidensial harus "fixed term" dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Pertanyaan penulis, apa iya esensi demokrasi Pancasila tidak mengatur pergantian Presiden yang "fixed term"?
Menilik arti kata demokrasi dan definisi demokrasi dari tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln, Charles Costello, John L Esposito, Hans Kelsen, Sidney Hook, CF Strong, Hannry B Mayo dll, tidak satu pun yang menyinggung esensi demokrasi itu dengan penekanan harus adanya "giliran kekuasaan".
Hampir semua mendefinisikan demokrasi itu seputar sistem pemerintahan yang seluruh rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Rakyat yang mana, rakyat dewasa.
Unsur yang digunakan dalam definisi seperti rakyat pemegang kekuasaan, rakyat memiliki hak mengatur, rakyat sumber kekuasaan atas dasar sistem perwakilan, kesamaan politik dalam suasana kebebasan, dlsb.
Apakah reformasi Indonesia tahun 1998 yang mengamendemen UUD 1945 dan memilih sistem presidensial dengan dalih Indonesia tidak demokratis itu dalam bahasa sederhananya hanya ingin Presiden itu bergantian? Penulis berpendapat, amendemen UUD 1945 yang dilakukan tahun 1999 s/d 2002 tidak hanya masalah jabatan Presiden supaya gantian, tetapi ada tujuan yang lebih besar.
Kalau hanya ingin presiden bergantian, sesungguhnya demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila pun sudah mengatur hal tersebut. Implementasi Demokrasi Pancasila di samping soal periodisasi, yakni setiap lima tahun, juga punya makna sebagaimana yang didefinisikan para tokoh kaliber dunia di atas, bahwa semua tergantung rakyat.
Contoh faktual, Presiden Soekarno walau mengantongi Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup yang merupakan penyimpangan UUD 1945, toh jatuh karena kehendak rakyat. Presiden Soeharto dipilih rakyat dalam sistem perwakilan, berhenti sebelum waktunya karena kehendak rakyat. Laporan pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie, tidak diterima oleh rakyat melalui para wakil rakyat di MPR.
Semua peristiwa di atas menunjukkan Indonesia negara demokratis. Kedaulatan di tangan rakyat. Jadi dalih amandemen UUD 1945 agar Indonesia lebih demokratis tidak rasional. Menilik pendapat JA, patut dinilai alasan reformasi bukan sekadar ingin presiden bergantian. Ada tujuan lain, mengganti demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal.
Mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila? Padahal, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar sangat jelas bahwa Negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada "Pancasila" bukan menurut Undang-Undang Dasar sebagaimana Pasal 1 Ayat (2) UUD 2002.
Dari perspektif teori Hans Nawiasky, Pancasila itu "Staatsfundamentalnorm" yang memayungi Pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 atau ‘Staatsgrundgesetz’. Dengan demikian Pasal 1 Ayat (2) di UUD 2002 seharusnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sebagaimana narasi Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.
Mengerucut soal demokrasi liberal dalam pilpres dan pilkada langsung. Rakyat kecil, para pakar sampai pejabat berteriak, demokrasi impor ini mengakibatkan orang berkualitas tidak bisa menjabat, karena biaya tinggi. Penuh konflik yang diciptakan buzzer politik. Kehidupan sosial budaya rusak dengan penuh ketidakjujuran, ketidakadilan, kolusi, korupsi, nepotisme dengan puncak kerusakan terbelahnya persatuan Indonesia.
Jadi menjawab pertanyaan "mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila, penulis berpendapat karena sasaran mereka adalah memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Mereka tahu Pancasila adalah alat pemersatu bangsa Indonesia. Jika Indonesia bisa mereka pecah belah, mereka lebih mudah untuk "menguasai".
Sinyalemen penulis di atas, dikuatkan langkah awal reformasi adalah mencabut Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Mereka tahu nilai-nilai Pancasila itu menjiwai Batang Tubuh UUD 1945 yang akan mereka amandemen dan alat pemersatu bangsa Indonesia.
Dengan demikian, ajakan Presiden cintailah produk lokal, hendaknya kita tangkap secara luas. Artinya, kita cintai pula demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila. Bolehlah kaget setelah tahu dampak buruk dan tujuan demokrasi yang kita impor, yakni demokrasi liberal yang individualistis tersebut.
Tetapi setelah tahu, jangan masa bodoh. Apalagi jika kita semua mengakui Pancasila adalah dasar negara Indonesia dan falsafah bangsa Indonesia. Mari kita selamatkan bangsa dan negara bersama-sama, sebelum pecah untuk "Kembali ke Demokrasi Pancasila".
Apakah benar setelah 75 tahun ‘politik dinasti’ bangkrut sebagaimana yang disampaikan kawan penulis JA di atas? Untuk mengetahui jawabannya, apakah politik dinasti bangkrut atau justru menjamur, silakan baca pada artikel lanjutan bagian ke-3.
Apa pun alasannya, isu itu bergulir di media, mengusik pikiran penulis. Bagaimana tidak terusik? Jabatan presiden kok mudah sekali diutak-atik sesuai selera. Penulis mencoba berburu pengetahuan kepada beberapa tokoh penyandang ilmu Hukum Tata Negara, melaui whatsApp (WA).
Singkat cerita, penulis (P) melakukan ‘chatting’ melalui WA ke beberapa tokoh. Semua merespons, salah satunya, tokoh (JA) mantan pejabat negara, pada 15/3/2021. Cuplikan yang penting dari chating sbb :
P : Ijin tanya Prof,…. Berbicara masalah pengaturan di Undang-undang Dasar, tentang berapa kali Presiden boleh menjabat, masalah ini masuk kategori persoalan teknis atau persoalan esensial ketatanegaraan?
Kedua, apa ada yang secara akademis, disebut sebagai faktor pertimbangan untuk menentukan lamanya jabatan Presiden?
JA : Pembatasan masa jabatan, meteri esensial demokrasi konstitusional. Karena hakikat konstitusi itu sejak awal diadakannya berisi kesepakatan tertinggi untuk membatasi kekuasaan, salah satunya adalah soal masa jabatan yang dalam sistem Presidensial harus ‘fixed term’ dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan.
Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Misalnya, ada pilpres tapi presidennya tidak ketat dibatasi periodenya sehingga terus-terusan terpilih sampai mati seperti di Rusia atau PM Hun Sen, juga sampai mati. Meski selalu ada pemilu, tetap saja demokrasinya dianggap semu atau formalistik.
P : Katanya demokrasi itu kedaulatan rakyat di tangan rakyat. Kalau rakyat masih menginginkan dia presiden lagi bagaimana? Apa iya kedaulatan rayat dibajak, terus bikin definisi atas nama demokrasi bahwa ‘Presiden harus gantian’? Apa tidak melanggar hak kedaulatan rakyat?
JA : Itulah warisan budaya feodal yang menyebabkan suburnya politik dinasti dimana-mana.
P : Bung Karno punya Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup. Pak Harto dipilih rakyat berkali-kali. Tetapi, tatkala rakyat sudah tidak suka, ya henti di tengah jalan. Jadi ukurannya, menurut saya, demokrasi itu ya bagaimana kedaulatan atau kehendak rakyat. Ukurannya bukan harus gantian.
JA : Iya, benar begitu, tapi kalimatnya masih terlalu abstrak, sudah dibahas sebelum 2021. Sekarang harus dirinci dalam ribuan buku ilmu pengetahuan, sehingga dalam praktek muncul parlemen, kebebasan berpendapat dan berorganisasi, adanya Parpol, peradilan independen. Bahkan muncul MK, sistem fixed presidentil, larangan bubarkan parlemen dalam sistem presidentil tapi ada mekanisme impeachment, dsb. Semua butuh pelembagaan, tetapi tantangan yang dihadapi tradisi budaya.
Maka setelah 75 tahun, yang bangkrut dalam praktik malah politik dinasti. Karena para pemimpinnya cuma sibuk rebutan, mengambil dan menikmati secara transaksioanal bukan peduli, berbagi, menyumbang untuk transformasi pelembagaan politik untuk peradaban bangsa dalam jangka panjang.
P : Apalagi dengan dasar demokrasi liberal. Siapa kuat segala-galanya (duit dan kekuasaan) pasti menang. Coba jika sistem Pancasila kita bikinkan “saringan” untuk milih calon anggota dewan dan calon presiden dan wakil presiden seperti memilih calon Taruna masuk Akademi Militer atau Akademi Kepolisian, kita akan menemukan sosok yang “nggenah” dan konflik perpecahan bangsa terhindari.
Dari chating di atas, kita ambil tiga pendapat JA yang menarik untuk dibahas: (1) Pembatasan masa jabatan Presiden, sebagai meteri esensial demokrasi konstitusional. (2) Dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. (3) Setelah 75 tahun yang bangkrut justru politik dinasti.
Pertama, penulis sependapat, urusan masa jabatan presiden itu bukan urusan teknis yang mudah diutak-atik sesuai selera. Tetapi urusan esensial demokrasi konstitusi. Penentuan masa jabatan presiden harus melalui kajian dari banyak faktor sosial budaya bangsa. Sebagaimana ‘Founding fathers’ telah merumuskannya dalam UUD 1945, tentu sudah menghitung dari berbagai aspek sosial budaya.
Penulis yakin, hitungan "founding fathers" tidak ada faktor hitungan emosional, kekeluargaan, kekerabatan dan lain-lain yang sebangsanya. Karena itu, masa jabatan Presiden dari setiap negara bisa berbeda. Konstitusi yang sudah mengaturnya, jarang terjadi diutak-atik di tengah jalan, karena selera politik.
Kedua, pendapat dari JA, bahwa dalam sistem presidensial harus "fixed term" dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Pertanyaan penulis, apa iya esensi demokrasi Pancasila tidak mengatur pergantian Presiden yang "fixed term"?
Menilik arti kata demokrasi dan definisi demokrasi dari tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln, Charles Costello, John L Esposito, Hans Kelsen, Sidney Hook, CF Strong, Hannry B Mayo dll, tidak satu pun yang menyinggung esensi demokrasi itu dengan penekanan harus adanya "giliran kekuasaan".
Hampir semua mendefinisikan demokrasi itu seputar sistem pemerintahan yang seluruh rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Rakyat yang mana, rakyat dewasa.
Unsur yang digunakan dalam definisi seperti rakyat pemegang kekuasaan, rakyat memiliki hak mengatur, rakyat sumber kekuasaan atas dasar sistem perwakilan, kesamaan politik dalam suasana kebebasan, dlsb.
Apakah reformasi Indonesia tahun 1998 yang mengamendemen UUD 1945 dan memilih sistem presidensial dengan dalih Indonesia tidak demokratis itu dalam bahasa sederhananya hanya ingin Presiden itu bergantian? Penulis berpendapat, amendemen UUD 1945 yang dilakukan tahun 1999 s/d 2002 tidak hanya masalah jabatan Presiden supaya gantian, tetapi ada tujuan yang lebih besar.
Kalau hanya ingin presiden bergantian, sesungguhnya demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila pun sudah mengatur hal tersebut. Implementasi Demokrasi Pancasila di samping soal periodisasi, yakni setiap lima tahun, juga punya makna sebagaimana yang didefinisikan para tokoh kaliber dunia di atas, bahwa semua tergantung rakyat.
Contoh faktual, Presiden Soekarno walau mengantongi Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup yang merupakan penyimpangan UUD 1945, toh jatuh karena kehendak rakyat. Presiden Soeharto dipilih rakyat dalam sistem perwakilan, berhenti sebelum waktunya karena kehendak rakyat. Laporan pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie, tidak diterima oleh rakyat melalui para wakil rakyat di MPR.
Semua peristiwa di atas menunjukkan Indonesia negara demokratis. Kedaulatan di tangan rakyat. Jadi dalih amandemen UUD 1945 agar Indonesia lebih demokratis tidak rasional. Menilik pendapat JA, patut dinilai alasan reformasi bukan sekadar ingin presiden bergantian. Ada tujuan lain, mengganti demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal.
Mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila? Padahal, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar sangat jelas bahwa Negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada "Pancasila" bukan menurut Undang-Undang Dasar sebagaimana Pasal 1 Ayat (2) UUD 2002.
Dari perspektif teori Hans Nawiasky, Pancasila itu "Staatsfundamentalnorm" yang memayungi Pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 atau ‘Staatsgrundgesetz’. Dengan demikian Pasal 1 Ayat (2) di UUD 2002 seharusnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sebagaimana narasi Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.
Mengerucut soal demokrasi liberal dalam pilpres dan pilkada langsung. Rakyat kecil, para pakar sampai pejabat berteriak, demokrasi impor ini mengakibatkan orang berkualitas tidak bisa menjabat, karena biaya tinggi. Penuh konflik yang diciptakan buzzer politik. Kehidupan sosial budaya rusak dengan penuh ketidakjujuran, ketidakadilan, kolusi, korupsi, nepotisme dengan puncak kerusakan terbelahnya persatuan Indonesia.
Jadi menjawab pertanyaan "mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila, penulis berpendapat karena sasaran mereka adalah memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Mereka tahu Pancasila adalah alat pemersatu bangsa Indonesia. Jika Indonesia bisa mereka pecah belah, mereka lebih mudah untuk "menguasai".
Sinyalemen penulis di atas, dikuatkan langkah awal reformasi adalah mencabut Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Mereka tahu nilai-nilai Pancasila itu menjiwai Batang Tubuh UUD 1945 yang akan mereka amandemen dan alat pemersatu bangsa Indonesia.
Dengan demikian, ajakan Presiden cintailah produk lokal, hendaknya kita tangkap secara luas. Artinya, kita cintai pula demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila. Bolehlah kaget setelah tahu dampak buruk dan tujuan demokrasi yang kita impor, yakni demokrasi liberal yang individualistis tersebut.
Tetapi setelah tahu, jangan masa bodoh. Apalagi jika kita semua mengakui Pancasila adalah dasar negara Indonesia dan falsafah bangsa Indonesia. Mari kita selamatkan bangsa dan negara bersama-sama, sebelum pecah untuk "Kembali ke Demokrasi Pancasila".
Apakah benar setelah 75 tahun ‘politik dinasti’ bangkrut sebagaimana yang disampaikan kawan penulis JA di atas? Untuk mengetahui jawabannya, apakah politik dinasti bangkrut atau justru menjamur, silakan baca pada artikel lanjutan bagian ke-3.
(dam)