Cintai Produk Lokal, Kenapa Impor Demokrasi Individual (Bagian 2)

Senin, 19 April 2021 - 15:35 WIB
loading...
A A A
JA : Iya, benar begitu, tapi kalimatnya masih terlalu abstrak, sudah dibahas sebelum 2021. Sekarang harus dirinci dalam ribuan buku ilmu pengetahuan, sehingga dalam praktek muncul parlemen, kebebasan berpendapat dan berorganisasi, adanya Parpol, peradilan independen. Bahkan muncul MK, sistem fixed presidentil, larangan bubarkan parlemen dalam sistem presidentil tapi ada mekanisme impeachment, dsb. Semua butuh pelembagaan, tetapi tantangan yang dihadapi tradisi budaya.

Maka setelah 75 tahun, yang bangkrut dalam praktik malah politik dinasti. Karena para pemimpinnya cuma sibuk rebutan, mengambil dan menikmati secara transaksioanal bukan peduli, berbagi, menyumbang untuk transformasi pelembagaan politik untuk peradaban bangsa dalam jangka panjang.

P : Apalagi dengan dasar demokrasi liberal. Siapa kuat segala-galanya (duit dan kekuasaan) pasti menang. Coba jika sistem Pancasila kita bikinkan “saringan” untuk milih calon anggota dewan dan calon presiden dan wakil presiden seperti memilih calon Taruna masuk Akademi Militer atau Akademi Kepolisian, kita akan menemukan sosok yang “nggenah” dan konflik perpecahan bangsa terhindari.

Dari chating di atas, kita ambil tiga pendapat JA yang menarik untuk dibahas: (1) Pembatasan masa jabatan Presiden, sebagai meteri esensial demokrasi konstitusional. (2) Dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. (3) Setelah 75 tahun yang bangkrut justru politik dinasti.

Pertama, penulis sependapat, urusan masa jabatan presiden itu bukan urusan teknis yang mudah diutak-atik sesuai selera. Tetapi urusan esensial demokrasi konstitusi. Penentuan masa jabatan presiden harus melalui kajian dari banyak faktor sosial budaya bangsa. Sebagaimana ‘Founding fathers’ telah merumuskannya dalam UUD 1945, tentu sudah menghitung dari berbagai aspek sosial budaya.

Penulis yakin, hitungan "founding fathers" tidak ada faktor hitungan emosional, kekeluargaan, kekerabatan dan lain-lain yang sebangsanya. Karena itu, masa jabatan Presiden dari setiap negara bisa berbeda. Konstitusi yang sudah mengaturnya, jarang terjadi diutak-atik di tengah jalan, karena selera politik.

Kedua, pendapat dari JA, bahwa dalam sistem presidensial harus "fixed term" dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Pertanyaan penulis, apa iya esensi demokrasi Pancasila tidak mengatur pergantian Presiden yang "fixed term"?

Menilik arti kata demokrasi dan definisi demokrasi dari tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln, Charles Costello, John L Esposito, Hans Kelsen, Sidney Hook, CF Strong, Hannry B Mayo dll, tidak satu pun yang menyinggung esensi demokrasi itu dengan penekanan harus adanya "giliran kekuasaan".

Hampir semua mendefinisikan demokrasi itu seputar sistem pemerintahan yang seluruh rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Rakyat yang mana, rakyat dewasa.

Unsur yang digunakan dalam definisi seperti rakyat pemegang kekuasaan, rakyat memiliki hak mengatur, rakyat sumber kekuasaan atas dasar sistem perwakilan, kesamaan politik dalam suasana kebebasan, dlsb.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1660 seconds (0.1#10.140)