Corona Dianggap Pemberontak yang Harus Dinegosiasikan dengan Jalan Damai

Kamis, 21 Mei 2020 - 09:02 WIB
loading...
Corona Dianggap Pemberontak yang Harus Dinegosiasikan dengan Jalan Damai
Tim Mojo Tanggap COVID-19 (MTC-19) melaksanakan sosialisasi pencegahan Covid-19 dan masa PSBB di wilayah Kelurahan Mojo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5/2020). Foto/SINDOnews/Ali Masduki
A A A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menganggap, munculnya tagar #IndonesiaTerserah adalah sindiran publik kepada pemerintah. Salah satu sindiran ini adalah kegagalan pemerintah dalam menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam melawan virus corona atau Covid-19 .

Menurut Uchok, kegagalan PSBB bukan karena rakyat tidak patuh dengan program pemerintah tersebut. Rakyat malahan sangat taat dan patuh dengan PSBB. "Sebelum PSBB diterapkan, banyak rakyat yang tidak keluar rumah, meskipun masih sebatas imbauan dari pemerintah," ujar Uchok kepada SINDOnews, Kamis (21/5/2020).

Malahan, menurut Uchok, setelah munculnya PSBB, baru mulai terlihat rakyat tidak patuh dan taat kepada PSBB yang diterapkan pemerintah. Saat ini, jalan-jalan protokol sudah mulai ramai dan macet, supermarket dan pasar tradisional ramai, bahkan sudah ada yang berdesak-desakan tanpa peduli dengan protokol kesehatan.

Apalagi, pada hari ini, Jakarta sebagai episentrum Covid-19 mulai bergeliat dan berjalan normal. "Seperti tidak ada lagi virus corona yang ditakuti. Dan rakyat sepertinya masa bodoh dengan PSBB, berani melawan PSBB yang sudah diterapkan pemerintah," tutur dia.

Akibatnya, lanjut dia, 20 Mei 2020 bisa dibilang bukan Hari Kebangkitan Nasional, tapi akan dicatat sebagai 'Hari Kebangkitan Para Virus'. Karena, pada hari itu kenaikan positif Covid tertinggi dibandingkan hari sebelumnya. Ada 693 kasus baru yang diumumkan pada 20 Mei 2020. ( ).

Menurutnya, dengan kelakuan rakyat demikian berarti jangan menyalahkan rakyat yang mulai tidak patuh dan taat kepada PSBB. Ketidakpatuhan rakyat kepada PSBB pada saat ini, disebabkan pejabat negara seperti gubernur, menteri, dan presiden selalu mengumbar statement yang ironi. "Kemudian ada juga di antara mereka saling bantah tanpa mau peduli apa akibatnya," kata pendiri LSM Fitra ini.

Di sisi lain, hal ini bisa dilihat dari pernyataan Presiden Jokowi bahwa pulang kampung dan mudik itu sangat berbeda artinya. Tetapi penyataan Presiden Jokowi ini, langsung dibantah dengan menggebu-gebu oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, bahwa pulang kampung dan mudik itu artinya sama.

Selain itu, sambung dia, pemerintah lantang menyatakan 'kita harus melawan Covid-19'. Namun belum melakukan apa apa, tiba-tiba dikejutkan oleh pernyataan mereka sendiri yaitu pemerintah dengan entengnya menyatakan, 'kita sudah harus damai dengan Covid-19'. "Virus corona dianggap seperti pemberontak yang harus dinegosiasikan dengan jalan damai. Ini tentu sangat fatalistik," ucap dia. ( ).

Menurut Uchok, dengan sudah mengangkat wacana damai, berarti pemerintah sudah menyerah. Bahkan, terkesan minta ampun kepada Covid-19. Karena, jika pemerintah terus-menerus melakukan perlawanan kepada Covid-19 akan berakibat pada kekosongan kas negara.

Jika kosong kas negara, pemerintah bisa cilaka duabelas karena tidak bisa bayar gaji pegawai, menyediakan anggaran fasilitas mewah pejabat, dan bayar pokok dan bunga utang negara. Tetapi kalau kita bisa berdamai dengan Covid-19, secara pelan pelan dan pasti, kas negara akan terisi secara maksimal. Meskipun memang korban terus berjatuhan dengan virus corona. Masa bodoh dengan jatuhnya korban.

Di samping itu, Uchok menilai, inkonsistensi pemerintah adalah mengizinkan moda transportasi umum untuk kembali beroperasi, tetapi mereka mengklaim hanya akan mengangkut penumpang dengan kriteria tertentu mulai Kamis 7 Mei 2028. Padahal sebelumnya, pemerintah menghentikan operasional transportasi umum dari dan ke zona merah Covid-19, seperti Jabodetabek. (Baca Juga: Waspada Cuaca Buruk hingga 22 Mei 2020: Potensi Banjir di Beberapa Wilayah).

Penyebab lain PSBB gagal, kata Uchok, adalah pemerintah tidak bisa menjamin hak hidup rakyat untuk tinggal di rumah seperti pemberian sembako yang tidak merata, maupun jaminan sewa perumahaan. Untuk pemberian sembako, pemerintah tidak punya data akurat dan valid. Ditambah lagi pemberian sembako ini tidak merata, amburadul, dan banyak yang salah sasaran.

Terakhir, jaminan perumahan. Pemerintah benar-benar tutup mata atas bantuan jaminan perumahan atau sewa kontrak rumah. Jaminan atau bantuan sewa perumahaan tidak masuk dalam radar program PSBB. Padahal, rakyat itu hidup di kota banyak yang kontrak rumahnya. "Ketika PSBB, ketika rakyat harus di rumah, rakyat tidak mau. Mereka harus cari duit untuk bayar kontrak," ujarnya.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1204 seconds (0.1#10.140)