Pertempuran Sungai Nil, Perebutan Energi Sumber Daya Alam
loading...
A
A
A
Saat ini sedang terjadi ketegangan di kawasan. Ini dipicu oleh pengisian waduk raksasa GERD oleh Ethiopia beberapa waktu yang lalu. Mesir sejak awal menentang pembangunan waduk itu. Perundingan segitiga antara Mesir–Sudan–Ethiopia hampir buntu. Mesir mengeskalasi dengan mencoba melibatkan PBB, Uni Eropa, Uni Afrika dan Amerika Serikat. Bahkan Presiden El-Sisi pun bertelepon langsung ke Donald Trump waktu itu untuk mengintervensi. Sudan sebetulnya lebih memilih win-win solution, tidak seperti Mesir yang kebakaran jenggot. Lebay.
El Sisi tahu betul sejarah bahwa menyangkut Sungai Nil tidak boleh ada kompromi. Itu adalah bagian integral isu keamanan nasional. Jatuhnya Presiden Mursi satu dekade lalu yang kemudian digantikan oleh El Sisi yang mantan Panglima Angkatan Bersenjata Mesir, antara lain adalah karena Mursi dianggap berkompromi dengan Ethiopia hal waduk ini.
Untuk menaikkan tekanan, Mesir dan Sudan baru baru ini melakukan latihan bersama yang melibatkan skuadron pesawat tempur utama. Satuan komando dan pesawat tempur Mesir pun saat ini pun ditempatkan di sana menunggu perintah atau entah sekadar mengintimidasi. Belum lagi satuan intelijennya yang bergerilya di Ethiopia. Untuk mencegah eskalasi yang mengarah perang, Rusia buru-buru menawarkan diri sebagai mediator.
Tetapi Etiopia tidak boleh dipandang sebelah mata. Memang negara itu masih tergolong miskin karena pernah terperangkap perang saudara. Negara yang tidak mempunyai akses ke laut (land lock) di tanduk Afrika ini memiliki akar historis cemerlang. Pernah dengar Ratu Balqis dari Sheba yang mengunjungi Raja Nabi Sulaiman? Ya, itulah Etiopia.
Keturunan Raja Sulaiman ini memerintah di Kerajaan Ethiopia kuno pada abad 12-13, kira-kira seangkatan dengan zaman Majapahit di Indonesia. Karena perang saudara yang berlarut larut, mulai tahun 1980-an, orang-orang Yahudi Ethiopia berangsung angsur kembali ke Israel. Di abad modern ini, dengan teknologi canggih Israel pula, Etiopia yang dulu dikenal sebagai negara miskin dengan kasus kelaparan, saat ini adalah negara unggul pertanian di Afrika.
Pemerintahan saat ini dipimpin Perdana Menteri Abiy Ahmed. Beliau seorang PhD berlatar intelijen dan pemenang hadiah nobel perdamaian 2019 berkat jasanya mengakhiri perang dengan tetangga Eritrea yang menutup akses ke laut Arab. Ethiopia lebih memilih diskusi langsung tanpa harus menginternasionalisasinya. Etiopia bersedia berunding, dan membuka diri terhadap jadwal pengisian waduk. Justru Mesir yang tidak mau terbuka mengenai jadwal dan jumlah kebutuhan air yang diperlukan bendungan Aswan miliknya.
Teknologi yang digunakan dalam membangun waduk diragukan Sudan dan Mesir kualitas konstruksinya. Pada hal pengawasan pembangunan itu juga dalam supervisi konsorsium internasional. Kontraktor pembangunan GERD bukan kontraktor kaleng-kaleng. Mantan Perdana Menteri Ethiopia Meles Zenawi yang menginisiasi pembangunan bendungan ini pada tahun 2011, dalam satu konferensi International Hydropower Association (IHA) menjuluki para penentang proyek ini sebagai ekstrimis hidropower dan kriminal perbatasan. LSM peliharaan. Pemerintah dan Perusahaan Utilitas Etiopia sejak awal membuka diri dan IHA menyambut mereka sebagai Sustainability Power Partner (Mitra untuk energi berkelanjutan).
Layar telah terkembang, bendera telah dikibarkan. Bagi Etiopia ini adalah point of no return. Mereka pun siap berperang jika terpaksa. Rawe–rawe rantas malang-malang putung. Segala hambatan harus disingkirkan. At any cost. Kita sedang menunggu bagaimana posisi Joe Biden, juragan baru Amerika Serikat yang getol mempromosikan energi bersih dan energi terbarukan. Akankah mereka memihak Etiopia atau bermain mata dengan sekutu politik lamanya Mesir untuk menghambat project ini. Atau melihat ini sebagai proxy medan perang baru dengan Rusia atau China yang telah lebih dulu menancapkan pengaruhnya di sana dengan uluran dana pembangunan waduk.
Sebagai orang tua, saya mau kutip pepatah lama, metmet pe bulung jior metmetan do bulung bane. Tung toho pe hata tigor, dengganan do na mardame (artinya berdamai dan berkompromi itu lebih baik). Sebab, kalau yang bertetangga ribut, petitih kuno mengingatkan andalu pasitik, manuk ni halak butongan (kalau yang bertetangga ribut, pihak ketiga yang memancing manfaat). Habis arang, besi binasa.
El Sisi tahu betul sejarah bahwa menyangkut Sungai Nil tidak boleh ada kompromi. Itu adalah bagian integral isu keamanan nasional. Jatuhnya Presiden Mursi satu dekade lalu yang kemudian digantikan oleh El Sisi yang mantan Panglima Angkatan Bersenjata Mesir, antara lain adalah karena Mursi dianggap berkompromi dengan Ethiopia hal waduk ini.
Untuk menaikkan tekanan, Mesir dan Sudan baru baru ini melakukan latihan bersama yang melibatkan skuadron pesawat tempur utama. Satuan komando dan pesawat tempur Mesir pun saat ini pun ditempatkan di sana menunggu perintah atau entah sekadar mengintimidasi. Belum lagi satuan intelijennya yang bergerilya di Ethiopia. Untuk mencegah eskalasi yang mengarah perang, Rusia buru-buru menawarkan diri sebagai mediator.
Tetapi Etiopia tidak boleh dipandang sebelah mata. Memang negara itu masih tergolong miskin karena pernah terperangkap perang saudara. Negara yang tidak mempunyai akses ke laut (land lock) di tanduk Afrika ini memiliki akar historis cemerlang. Pernah dengar Ratu Balqis dari Sheba yang mengunjungi Raja Nabi Sulaiman? Ya, itulah Etiopia.
Keturunan Raja Sulaiman ini memerintah di Kerajaan Ethiopia kuno pada abad 12-13, kira-kira seangkatan dengan zaman Majapahit di Indonesia. Karena perang saudara yang berlarut larut, mulai tahun 1980-an, orang-orang Yahudi Ethiopia berangsung angsur kembali ke Israel. Di abad modern ini, dengan teknologi canggih Israel pula, Etiopia yang dulu dikenal sebagai negara miskin dengan kasus kelaparan, saat ini adalah negara unggul pertanian di Afrika.
Pemerintahan saat ini dipimpin Perdana Menteri Abiy Ahmed. Beliau seorang PhD berlatar intelijen dan pemenang hadiah nobel perdamaian 2019 berkat jasanya mengakhiri perang dengan tetangga Eritrea yang menutup akses ke laut Arab. Ethiopia lebih memilih diskusi langsung tanpa harus menginternasionalisasinya. Etiopia bersedia berunding, dan membuka diri terhadap jadwal pengisian waduk. Justru Mesir yang tidak mau terbuka mengenai jadwal dan jumlah kebutuhan air yang diperlukan bendungan Aswan miliknya.
Teknologi yang digunakan dalam membangun waduk diragukan Sudan dan Mesir kualitas konstruksinya. Pada hal pengawasan pembangunan itu juga dalam supervisi konsorsium internasional. Kontraktor pembangunan GERD bukan kontraktor kaleng-kaleng. Mantan Perdana Menteri Ethiopia Meles Zenawi yang menginisiasi pembangunan bendungan ini pada tahun 2011, dalam satu konferensi International Hydropower Association (IHA) menjuluki para penentang proyek ini sebagai ekstrimis hidropower dan kriminal perbatasan. LSM peliharaan. Pemerintah dan Perusahaan Utilitas Etiopia sejak awal membuka diri dan IHA menyambut mereka sebagai Sustainability Power Partner (Mitra untuk energi berkelanjutan).
Layar telah terkembang, bendera telah dikibarkan. Bagi Etiopia ini adalah point of no return. Mereka pun siap berperang jika terpaksa. Rawe–rawe rantas malang-malang putung. Segala hambatan harus disingkirkan. At any cost. Kita sedang menunggu bagaimana posisi Joe Biden, juragan baru Amerika Serikat yang getol mempromosikan energi bersih dan energi terbarukan. Akankah mereka memihak Etiopia atau bermain mata dengan sekutu politik lamanya Mesir untuk menghambat project ini. Atau melihat ini sebagai proxy medan perang baru dengan Rusia atau China yang telah lebih dulu menancapkan pengaruhnya di sana dengan uluran dana pembangunan waduk.
Sebagai orang tua, saya mau kutip pepatah lama, metmet pe bulung jior metmetan do bulung bane. Tung toho pe hata tigor, dengganan do na mardame (artinya berdamai dan berkompromi itu lebih baik). Sebab, kalau yang bertetangga ribut, petitih kuno mengingatkan andalu pasitik, manuk ni halak butongan (kalau yang bertetangga ribut, pihak ketiga yang memancing manfaat). Habis arang, besi binasa.
(kri)