Pertempuran Sungai Nil, Perebutan Energi Sumber Daya Alam

Jum'at, 16 April 2021 - 10:22 WIB
loading...
Pertempuran Sungai Nil, Perebutan Energi Sumber Daya Alam
Penulis dan Praktisi Energi serta Alumni Lemhannas RI, Sampe Purba. Foto/SINDOnews
A A A
Sampe Purba
Penulis dan Praktisi Energi,
Alumni Lemhannas RI.

SUNGAI NIL, panjangnya lebih dari 6 ribu kilo meter (setara jarak dari Sabang–Dili Timor Leste), membelah 10 Negara, berhulu di Danau Victoria Tanzania (Nil Putih). Di pertengahan – di Sudan menerima pasokan air melimpah dari sungai sungai yang bersumber di Ethiopia (Nil Biru).

Sesungguhnya Mesir hanya pemanfaat akhir, dan tidak berkontribusi untuk pelestarian pasokan ke sungai legendaris ini. Sudan dan Mesir adalah daerah kering kerontang dengan curah hujan minim dan hutan yang ranggason (tidak lebat). Namun membicarakan Sungai Nil, orang umumnya langsung mengasosiasikannya dengan Mesir. Ya, memang peradaban dan keberlangsungan Mesir tidak terlepas dari kiprah sungai terpanjang kedua di dunia tersebut.

Lebih dari 95% kebutuhan air di Mesir dipasok Sungai Nil. Pertanian, ketenagalistrikan dan pariwisata. Ini terutama setelah bendungan Aswan yang dibangun zaman Abdul Nasser tahun 1960 dengan bantuan Soviet beroperasi. Anda tahu tarian belly dance putri Mesir yang erotis menggairahkan terukur itu? Ya, itu juga bagian dari paket wisata Nile night cruise yang digandrungi banyak orang.

Tahun 1959, Mesir dan Sudan menandatangani Nile Water Agreement yang memberi kedua negara tersebut hak maritim eksklusif atas Nil. Perjanjian ini kelanjutan yang melestarikan perjanjian perjanjian pra kolonial sebelumnya. Perjanjian pra Kolonial yang diratifikasi secara internasional, mengatur pemanfaatan Sungai Nil sekitar 80% untuk Mesir dan 20% untuk Sudan. Perjanjian tersebut juga memberi hak veto kepada Mesir untuk melarang pembangunan di negara lain di hulu yang dianggap mengganggu pasokan air Sungai Nil.

Etiopia menganggap perjanjian perjanjian pra kolonial tersebut tidak adil. Hampir 85% air Sungai Nil yang bermuara ke Mesir dipasok dari sungai-sungai negara Etiopia. Setelah tertunda puluhan tahun, pada tahun 2011 Ethiopia membangun waduk raksasa di Sungai Nil biru untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA- hydropower), dengan total kapasitas listrik terpasang 6,45 gigawatt.

Proyek Bendungan dan Pembangkit Listrik yang diberi nama Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) berbiaya USD5 miliar. Mengantisipasi perlawanan dan lobi lobi Mesir yang kemungkinan termasuk menghalangi sumber pendanaan, sejak awal proyek ini dirancang menggunakan pinjaman pemerintah. Sebesar 65% menggunakan obligasi internasional, sisanya diperoleh dengan skema pembiayaan dari RRC.

Kontraktor utama bendungan raksasa yang berlokasi di pebukitan sekitar 45 km di perbatasan Timur Sudan ini adalah perusahaan Italia–Salini Impregilo. Sistem pemipaan kelistrikannya dipercayakan kepada perusahaan Italia lainnya Tratos Cavi SPA, turbinnya menggunakan teknologi Francis turbine. Seluruh konstruksi beton yang menghabiskan 10 juta meter kubik semen menggunakan bahan bahan lokal.

Bendungan raksasa ini dapat dikerjakan tepat waktu, sekalipun pada tahun 2018 Project Manajernya bernama Smignew Bekele–Insinyur Sipil Etiopia terbunuh misterius. Saat ini konstruksi telah selesai. Waduknya dapat menampung 74 miliar kubik air. Waduk diiisi bertahap selama lebih kurang 5 tahun untuk menggerakkan 16 turbin yang ada. Ini dilakukan dengan mempertimbangkan musim penghujan, juga untuk menjaga debit air Sungai Nil, serta mencari pasar untuk ekspor listrik. Pada saat beroperasi penuh Proyek GERD akan menjadi PLTA terbesar di Afrika dan ketujuh terbesar di dunia.

Visi Pemerintah Etiopia jelas. Sumber daya alam harus digunakan secara optimal untuk membangkitkan ekonomi negeri. Pertumbuhan ekonomi Etiopia termasuk yang tertinggi di Afrika, di atas 10% sebelum bencana wabah COVID-19. Negara itu bertekad menjadi hubungan/penghubung untuk industri alat-alat listrik di Afrika. Selain untuk memenuhi kebutuhan energi bersih dalam negeri, listrik yang dihasilkan akan diekspor melalui jalur transmisi ke negara negara tetangga seperti Sudan dan Kenya.

Saat ini sedang terjadi ketegangan di kawasan. Ini dipicu oleh pengisian waduk raksasa GERD oleh Ethiopia beberapa waktu yang lalu. Mesir sejak awal menentang pembangunan waduk itu. Perundingan segitiga antara Mesir–Sudan–Ethiopia hampir buntu. Mesir mengeskalasi dengan mencoba melibatkan PBB, Uni Eropa, Uni Afrika dan Amerika Serikat. Bahkan Presiden El-Sisi pun bertelepon langsung ke Donald Trump waktu itu untuk mengintervensi. Sudan sebetulnya lebih memilih win-win solution, tidak seperti Mesir yang kebakaran jenggot. Lebay.

El Sisi tahu betul sejarah bahwa menyangkut Sungai Nil tidak boleh ada kompromi. Itu adalah bagian integral isu keamanan nasional. Jatuhnya Presiden Mursi satu dekade lalu yang kemudian digantikan oleh El Sisi yang mantan Panglima Angkatan Bersenjata Mesir, antara lain adalah karena Mursi dianggap berkompromi dengan Ethiopia hal waduk ini.

Untuk menaikkan tekanan, Mesir dan Sudan baru baru ini melakukan latihan bersama yang melibatkan skuadron pesawat tempur utama. Satuan komando dan pesawat tempur Mesir pun saat ini pun ditempatkan di sana menunggu perintah atau entah sekadar mengintimidasi. Belum lagi satuan intelijennya yang bergerilya di Ethiopia. Untuk mencegah eskalasi yang mengarah perang, Rusia buru-buru menawarkan diri sebagai mediator.

Tetapi Etiopia tidak boleh dipandang sebelah mata. Memang negara itu masih tergolong miskin karena pernah terperangkap perang saudara. Negara yang tidak mempunyai akses ke laut (land lock) di tanduk Afrika ini memiliki akar historis cemerlang. Pernah dengar Ratu Balqis dari Sheba yang mengunjungi Raja Nabi Sulaiman? Ya, itulah Etiopia.

Keturunan Raja Sulaiman ini memerintah di Kerajaan Ethiopia kuno pada abad 12-13, kira-kira seangkatan dengan zaman Majapahit di Indonesia. Karena perang saudara yang berlarut larut, mulai tahun 1980-an, orang-orang Yahudi Ethiopia berangsung angsur kembali ke Israel. Di abad modern ini, dengan teknologi canggih Israel pula, Etiopia yang dulu dikenal sebagai negara miskin dengan kasus kelaparan, saat ini adalah negara unggul pertanian di Afrika.

Pemerintahan saat ini dipimpin Perdana Menteri Abiy Ahmed. Beliau seorang PhD berlatar intelijen dan pemenang hadiah nobel perdamaian 2019 berkat jasanya mengakhiri perang dengan tetangga Eritrea yang menutup akses ke laut Arab. Ethiopia lebih memilih diskusi langsung tanpa harus menginternasionalisasinya. Etiopia bersedia berunding, dan membuka diri terhadap jadwal pengisian waduk. Justru Mesir yang tidak mau terbuka mengenai jadwal dan jumlah kebutuhan air yang diperlukan bendungan Aswan miliknya.

Teknologi yang digunakan dalam membangun waduk diragukan Sudan dan Mesir kualitas konstruksinya. Pada hal pengawasan pembangunan itu juga dalam supervisi konsorsium internasional. Kontraktor pembangunan GERD bukan kontraktor kaleng-kaleng. Mantan Perdana Menteri Ethiopia Meles Zenawi yang menginisiasi pembangunan bendungan ini pada tahun 2011, dalam satu konferensi International Hydropower Association (IHA) menjuluki para penentang proyek ini sebagai ekstrimis hidropower dan kriminal perbatasan. LSM peliharaan. Pemerintah dan Perusahaan Utilitas Etiopia sejak awal membuka diri dan IHA menyambut mereka sebagai Sustainability Power Partner (Mitra untuk energi berkelanjutan).

Layar telah terkembang, bendera telah dikibarkan. Bagi Etiopia ini adalah point of no return. Mereka pun siap berperang jika terpaksa. Rawe–rawe rantas malang-malang putung. Segala hambatan harus disingkirkan. At any cost. Kita sedang menunggu bagaimana posisi Joe Biden, juragan baru Amerika Serikat yang getol mempromosikan energi bersih dan energi terbarukan. Akankah mereka memihak Etiopia atau bermain mata dengan sekutu politik lamanya Mesir untuk menghambat project ini. Atau melihat ini sebagai proxy medan perang baru dengan Rusia atau China yang telah lebih dulu menancapkan pengaruhnya di sana dengan uluran dana pembangunan waduk.

Sebagai orang tua, saya mau kutip pepatah lama, metmet pe bulung jior metmetan do bulung bane. Tung toho pe hata tigor, dengganan do na mardame (artinya berdamai dan berkompromi itu lebih baik). Sebab, kalau yang bertetangga ribut, petitih kuno mengingatkan andalu pasitik, manuk ni halak butongan (kalau yang bertetangga ribut, pihak ketiga yang memancing manfaat). Habis arang, besi binasa.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2007 seconds (0.1#10.140)